Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Mendadak Nasionalis

18 Agustus 2014   15:35 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:15 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengejar momentum 17 agustus selalu sarat dengan pernik merah putih dan aneka kegiatan yang berkaitan dengan kemerdekaan, ingin saya posting tulisan ini agar (setidaknya) ikut menorehkan sesuatu yang masih "berbau" nasionaliisme. Memang ide muncul secara tiba tiba, kalau saya tunda untuk memposting besok bisa bisa sudah lupa atau kemungkinan kedua momentnya sudah hilang dan berbeda. Pada acara nangkring beberapa hari yang lalu saya beruntung mendapat buku tulisan Kang Pepih Nugraha yang berjudul Ibu Pertiwi Memanggilmu Pulang, setelah saya menyelesaikan membaca novel yang saya baca sebelumnya dan tinggal beberapa bab segera giliran buku kang Pepih saya baca lembar ke lembar berikutnya, saya seolah terbawa pada perjalanan pengalaman yang pernah saya alami menyangkut nasionalisme

Peristiwa ini terjadi beberapa tahun yang lalu ketika mendapat kesempatan pergi ke Luar Negri untuk suatu keperluan dalam jangka hitungan minggu, rasa bungah jelas menguasai pikiran dan perasaan kala itu. Kota Istambul Turky menjadi tujuan perjalanan sekaligus menjadi pengalaman pertama pergi ke Luar Negri. Meskipun urusan ke ibukota Turkey itu tak murni sekedar jalan jalan tetap saja ada kesempatan untuk mengunjungi beberapa tempat untuk melepaskan dahaga keingintahuan sekaligus refreshing dari kegiatan utama, beberapa tempat yang sempat singgah selama di Istambul adalah masjid Ayub al Anshari , Hippodrome square,St, Shopia & Topkapi palace, MiniaturkMuseum, Pierre Lotti, Eyup Square dan beberapa tempat lainnya. Benar benar luar biasa bisa mengunjungi lokasi lokasi menarik tersebut tetapi mungkin saya tidak akan terlalu bercerita tentang apa dan bagaimana tempat indah di Istambul itu.

[caption id="attachment_355111" align="aligncenter" width="630" caption="sudut Istambul (dok.pribadi)"][/caption]



Lain Ladang Lain Belalang

Pepatah lain ladang lain belalang lain lubuk lain ikannya, tepat sekali untuk menggambarkan perasaan saat itu, kegamuman terhadap kebersihan kota Istambul didukung dengan keteraturan jalur transportasi beserta kedisplinan pengemudi saat menunggu lampu merah berhenti kemudian berjjalan saat lampu hijau benar benar membulatkan pesona itu, nihil kemacetan terjadi Istambul tak seperti di ibukota tercinta Jakarta, sepanjang sungai di bawah jembatan bosphorous sangat bersih dari sampah tak seperti sungai Ciliwung. Penduduknya mayoritas menggunakan transportasi umum yang nyaman, bahkan untuk kereta atau semacam traincity jalur relnya berada dipinggir jalan beraspal tanpa pagar pembatas tapi sepanjang pengamatan tak ada masyarakat yang menyebrang seenaknya atau berlalu lalang ketika kereta hendak melintas.

Satu yang mulai membuat saya gelisah adalah menu makan, waktu kedatangan di hari pertama saat jam makan siang tersaji menu roti gandum kemudian ada semacam acar tanpa ada sebutirpun nasi, dengan menghibur diri saya menyatakan nanti akan terbiasa tetapi menjelang malam makanan yang sudah masuk ke dalam lambung tak terasa "nendang". Semua makanan utama yang disajikan selama di turkey terasa asing di lidah, maka saya lebih senang mengonsumsi buah buahan dan setelah selesai di meja makan masih juga menyambar beberapa butir buah seperti anggur, apel atau pisang dibawa kedalam kamar minimal sebagai persiapan kalau malam hari perut terasa lapar. Begitu selanjutnya dan selanjutnya sampai akhirnya perut bisa beradaptasi dengan asupan yang masuk dan diserap tubuh, untuk menyiasati sementara ketika pergi ke minimarket buah dan susu menjadi tujuan utama untuk konsumsi karena hanya buah dan susu yang cukup akrab di perut dan toh beberapa hari kedepan acara akan segera selesai dan bisa kembali ke Jakarta, namun yang tak bisa dipungkiri adalah rasa kangen akan nasi mulai menyeruak datang tanpa diundang selain kangen akan keluarga tentunya. Tiba tiba ditengah kegelisahan yang berbaur dengan kangen tiba tiba muncul perasaan sebagus apapun negri orang tetap saja lebih terasa nikmat di negri sendiri.

[caption id="attachment_355112" align="aligncenter" width="686" caption="dok.pribadi"]

14089540781380001411
14089540781380001411
[/caption]

Mendadak Nasionalis

Tugas di istambul masuk di hari terakhir perasaan tak sabar bercokol hadir, barang bawaan sejak pagi sudah dipacking tinggal baju yang dibadan dan satu yang disiapkan untuk pulang sengaja tak turut masuk ke dalam koper. Perjalanan menuju bandara bagaikan perjalanan menyusuri detik detik tetapi terasa bagai hitungan jam ke jam, di boarding lounge yang megah terasa tak nyaman dan bertambah gelisah ketika pengumuman keberangkatan pesawat Turkey airline tak segera diumumkan. Menunggu saat saat masuk kedalam pesawat seperti menunggu saat istri melahirkan hingga rasa lega menjalar dalam syaraf ketika sebuah panggilan penumpang pesawat menuju jakarta diminta memasuki burung besi itu.

Diperjalanan mulai sedikit lega ingin rasanya tidur selama diperjalanan sambil berharap ketika bangun bandara Sukarno Hattalah yang ada di depan mata namun nyatanya tak bisa juga, rasa kantuk yag tak sepenuhnya meguasai selama perjalanan membuat saya berulang saya menyalakan televisi kecil di depan tempat duduk memastikan jalur rute pernerbangan sambil berkalkulasi berapa waktu akan kembali menjejakkan tanah air. Detik detik penantian tiba juga ketika sebuah pengumuman dari suara merdu pramugari memenuhi seluruh ruangan pesawat yang menyatakan beberapa saat lagi pesawat akan landing, sebuah kalimat yang menggugah keharuan adalah ketika sang pramugari bule mengucapkan "WELCOME IN INDONESIA" ada perasaan memiliki yang sangat akan negri ini, perasaan menjadi penuh sesak bercampur antara rasa haru dan bahagia, bahwa inilah rumahku sesungguhnya disinilah darahku tumpah pertama kalinya. Perjalanan sealigus pengalaman pertama itu berulang terjadi dan lagi ketika pada kesempatan berikutnya ada urusan ke negara yang lainnya. ah negriku bagiamanapun engkau rasa cinta dalam hati tak bisa dipungkiri, saya pribadi salut dengan sahabat teman dan kompasianer yang tinggal dalam waktu lama di luar Negri pasti rasa nasionalisme akan erat terpatri. Dirgahayu Indonesia Tercinta....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun