[caption id="attachment_359719" align="aligncenter" width="630" caption="illustrasi-dok.pribadi"][/caption]
Budaya latah ternyata terjadi hampir di semua sektor kehidupan, kalau biasanya hanya berkisar pada gaya dandanan seorang artis yang menjadi panutan kini mulai merebak ke bidang yang lain. Tak hanya sekedar baju atau cara bicara seorang selebrity yang diikuti penggemarnya tapi kini menaikkan harga makanan siap santap juga tiba tiba dibuat serentak mulai dari restaurant di mall sampai warung tenda kaki lima. Masyarakat (baca penjual) seperti tak punya pendirian, sikap memanfaatkan keadaan masihlah lekat dan dekat dengan keseharian. Negara kita yang konon terkenal dengan sikap tepo seliro (saling menghargai) ramah dan murah senyum kini mulai berubah menjadi saling tak peduli dan mementingkan diri sendiri. Budaya latah telah merajalela di mana mana, andai saja latah dalam hal positif syah syah saja. Misalnya latah untuk datang ke kantor lebih awal, latah menggenjot motivasi untuk lebih besar kontribusi di tempat kerja, atau latah dalam hal mendisiplinkan diri untuk mengajari anak perihal tata krama dan sopan santun. Atau kalau latah dalam arti sebenarnya seperti artis Mpok Ati yang sering dikageti kemudian latah menirukan ucapan atau gaya orang yang mengerjai, akan lebih bermanfaat apabila distel latah dalam mengucap kalimat yang positif. Namun latah yang akan saya kupas pada tulisan ini adalah latah yang menguntungkan diri sendiri dan tentu berdampak kurang mengenakkan orang lain, pendek kata kalau latahnya latah negatif maka siapa yang meghendaki.
Moment terkini yang sedang terjadi di tengah masyarakat adalah dampak kenaikan gas elpiji tabung isi 12 kg, harga tabung biru itu update terkini sudah menembus angka di atas seratus ribu. Tanpa dinyana ternyata berhasil mengerek naik semua harga makanan jadi tanpa pandang tempat, warung kecil yang sebenarnya bukan sasaran dari kenaikan ini tak mau ketinggalan ikut ambil bagian berpatisipasi. Kenaikan harga yang selayaknya hanya terjadi di rumah makan besar seperti di Pujasera sebuah Mall, di rumah makan besar sekelas RM Padang yang mengambil pasar menengah ke atas atau di cafe yang segelas kopi seharga tigapuluh lima ribu kita memaklumi, namun yang terjadi ternyata imbasnya tak bisa dibendung. Restaurant dan tempat makan kalangan atas memang menjadi target sekaligus pengguna gas elpiji isi tabung 12 kg, jadi wajar tempat tempat ini menyesuaikan harga.
[caption id="attachment_359720" align="aligncenter" width="608" caption="illustrasi-dok.pribadi"]
Nah kalau yang terjadi di warung tenda , warung nasi uduk, mie ayam yang notabene gas yang dipakai adalah tabung isi 3 kg maka saya jadi bertanya atas dasar apa? seorang tukang pecel ayam di pinggir jalan yang jelas jelas memakai tabung bewarna hijau muda itu dengan enteng menjawab "memang semua warung sudah naik harganya". Bagi yang mendengar mungkin bingung akan melanjutkan pertanyaan, atau mencoba saja berempati karena posisi penjual yang seperti berada dipersimpangan, kalau bertahan dengan harga lama resikonya dia harus berhadapan dengan sesama penjual makanan sejenis, kalau menaikkan harga resikonya harus berhadapan dengan pembeli. Pilihan kedua atau menaikkan harga menjadi pilihan karena konsumen yang sedang membutuhkan makan karena sudah lapar akan tak ambil pusing toh naiknya duaribu tiga ribu. Alhasil pembeli atau konsumen yang harus menelan pil pahit atas dampak kenaikan harga elpiji, ibarat kata yang disuntik siapa yang sakit siapa. Bagi ibu rumah tangga selalu dituntut kreatif dalam menyikapi dampak kenaikan ini, harus menekan pengeluaran dengan cara mengurangi kebiasaan membeli lauk pauk di luar rumah. Semua yang dikonsumsi kalau bisa dimasak sendiri, bahkan (kalau perlu) sang suami bawa bekal untuk makan siang di kantor.
Kenaikan harga yang terjadi ditengah masyarakat biasanya mendahului penetapan kebijakkan pemerintah, ketika di media sudah mengabarkan rencana kenaikan harga, maka dalam hitungan hari para pedagang langsung menyesuaikan. Pertimbangan yang biasa dikemukakan adalah kalau tidak naik sekarang mereka akan kesulitan membeli gas ketika harga sudah baru, padahal mereka (penjual kaki lima) bukan pemakai tabung gas biru yang akan dijadikan target kenaikan. Itulah fenomena yang terjadi ditengah tengah masyarakat kita, sikap peduli sesama mulai menipis saja. Maka jangan heran kalau nongkrong entah di kedai mie ayam, bubur ayam, soto ayam, dengan minum segelas teh hangat, bubur kacang hijau, es campur atau jeruk hangat musti mengeluarkan uang lebih dari satu atau dua minggu yang lalu. Pemerintah punya PR baru musti mencari solusi agar dampak dampak psikologis yang cenderung latah ini bisa direm, sehingga tak semua masyarakat ikut menanggung beban kebijakan yang ditelurkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H