[caption id="attachment_361193" align="aligncenter" width="630" caption="illustrasi-dokpri"][/caption]
Saya masih ingat sebuah kalimat mujarab dari Buya Hamka yang saya dapati waktu acara Nangkring di Kantor Kompasiana lt.6 Jl. Palmerah Barat Jaksel, lebih kurang intinya "Menulislah dan biarkan saja tulisanmu mengalir mengikuti nasibnya". Kalimat ini lumayan menghunjam dan menyita benak sampai beberapa waktu, sekaligus memacu untuk mempersembahkan yang terbaik dalam setiap postingan di wall K. Saya yakin setiap rekan K-ers pasti mempersiapkan tulisan terbaik, sebelum disuguhkan ke publik melalui wall Kompasiana. Selasa sore kemarin tanggal 23 Sep'14 saya membaca dan menyimak artikel Mbak Weedy K berjudul "Haruskah Kami Stop Buat Berita Tentang Luar Negeri??", tentang tanggapan atas artikel Mbak Nur admin Kompasiana. Tulisan panjang beliau saya baca sampai titik terakhir, kemudian muncul rasa penasaran untuk membaca artikel yang dimaksud agar setidaknya menyeimbangkan sudut pandang agar tidak dari satu sumber. Sebelum saya menggunakan mesin searching untuk mencari nama mbak Nur, scroll saya arahkan ke bawah artikel dan membaca satu persatu komentar yang masuk. Sekian komentar sudah terposting dan saya ikut berkomentar diurutan kesekian. Kemudian saya amati ada nama yang sedang dicari mengisi jajaran komentar di bawah artikel, kemudian saya klik nama berwarna biru.
Akhirnya ketemu artikel yang dimaksud, kemudian tanpa bermaksud mengulas isi artikel sekaligus tanggapan saya justru menemukan sudut pandang lain dan unik dari kedua tulisan. Sampai disini saya melihat kekhasan tulisan Mbak Weedy K melalui setiap artikel beliau memiliki gaya bercerita yang mengalir dan enak diikuti sampai kalimat terakhir. Saya cukup mengikuti ketika beliau mengulas tentang kue ultah untuk anjing peliharaan, orang Jepang yang susah bilang tidak, atau kebaikan seorang bapak menalangi biaya parkir. Kemudian ketika saya baca tulisan mbak Admin "Negriku dan Negri Orang Bahagia" saya juga menemukan kekhasannya melalui pemilihan kalimat dan diksi yang menarik (menurut saya). Masing masing artikel jujur saya akui bagus dan masing masing memiliki ciri khas, tak bisa membandingkan dua buah tulisan ibarat aple to aple.
Saat melihat jumlah klik atau yang membaca artikel sang admin ada 60 klik, 0 komentar, dan 0 penilaian (saya buka tg 23/9'14 sekitar jam 16.00 - 17.00). Sementara artikel yang berkilau di HL bisa ratusan sampai ribuan pengunjung, pun hal serupa terjadi di TA. Akhirnya sampailah pada sebuah kesimpulan bahwa tulisan yang sepi pengunjung bukan berarti tulisan itu tidak bagus, dan tulisan yang menembus HL atau TA bukan berarti mengungguli tulisan yang sepi pengunjung. Pernah saya membaca tulisan seorang K-ers di kolom fiksiana yang perbandingan jumlah klik tak seperti di kolom politik atau hiburan. Tapi tulisan Puisi yang tidak sampai lima menit selesai saya rampungkan itu membuat bulu kuduk merinding. Ada sebuah tulisan di kolom catatan harian berkisah tentang seorang tukang becak di Jogjakarta, komentar dibawahnya juga tak terlalu berderet panjang. Namun artikel ini berhasil membuat saya terharu dan menemukan kearifan dari sudut pandang penulis terhadap bapak tua yang mengayuh becak itu. Jadi saya semakin sepakat dengan artikel rekan K-ers sebelumnya yang mengajak meluruskan niat untuk jangan jadikan HL sebagai ambisi, atau ada yang mengajak kalau mau menulis ya menulis saja. Ada juga yang menjadikan menulis sebagai kawah candradimuka agar "sense of writing" semakin terasah, sedang HL dan TA biarlah menjadi bonus.
[caption id="attachment_361194" align="aligncenter" width="630" caption="dokpri"]
Kini saya menegasi sekali lagi pada diri sendiri khususnya, bahwa tak perlu berkecil hati dengan sedikitnya pengklik atau pembaca. Karena itu bukan indikasi bahwa artikel tersebut tidak berkualitas. Atau memang tulisan tersebut masih akan mengalir mencari nasibnya sendiri. Sementara sebagai penulis harus konsisten untuk terus menulis dan menulis, bagai seorang anak kecil untuk bisa berjalan dengan menjejak kuat perlu sekian kali jatuh dan jatuh. Pun dengan tulisan untuk menggapai nasib baik sebuah tulisan harus terus dan terus belajar tanpa henti, siapa yang tahu digoresan yang keberapa sebuah tulisan akan berkilau. Happy writing sahabat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H