Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Senyum Penjual Gado Gado

10 Desember 2014   12:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:38 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_381700" align="aligncenter" width="614" caption="Penjual Gado Gado (dokpri)"][/caption]

Selasa ini saya ada keperluan meeting dengan rekan kerja,tepatnya diseputaran daerah Ragunan Jakarta Selatan.Siangmatahari tak begitu terik, tergeser cuaca mendung yang mendominasi.Titiktitik kecil hujan mulai turun malu malu, saya menghentikan roda motor di teras sebuah masjid.Karena sholat duhur tertunaikan sudah sejam yang lalu, maka keperluan merapat untuk sekedar berteduh. Setidaknya agar baju tak berubah basah, atau yang agak lebih "gawat" bisa masuk angin.Jam di dinding dalam masjid berdentang sekali, jarum pendek tepat diangka satu. Seperti tersadar perut protes minta perhatian, setelah hampirlima jam usai sarapan belum juga diisi.

Tak jauh dari masjid sebuah gerobak tampak, posisi persisnya ada disebrang jalan. Demi memberi hak pada lambung agar tak melilit, di bawah rintik yang tak begitu deras saya bergegas. Hujan masihlah bersahabat pada siang itu, baju yang saya pakai tak terlalu basah gegara menyebrang jalan.

[caption id="attachment_381701" align="aligncenter" width="561" caption="Jalur arah Ragunan (dokpri)"]

14181629091930668446
14181629091930668446
[/caption]

Ibu penjual Gado gado yang duduk segera bangkit, begitu melihat kedatangan konsumennya. Seporsi gado gado lontong saya pesan, "Pedas atau sedang Pak" pertanyaan standart ibu gado gado terlontar.

"sedangan saja Buk" balas saya sopan.

Tak lama setelah saya duduk pembeli lain datang, mengantre pesan dua bungkus dibawa pulang. Ibu penjual mengerjakan pesanan pertama, perlu beberapa saat menyelesaikan. Setelah seporsi gado gado selesai diracik, segera disajikan di meja depan saya. Kesibukkan penjual berlanjut, membuat adonan bumbu untuk ibu pemesan yang menunggu. Wajah sang penjual serius mengulek bumbu, meracik sayuran plus tempe dan tahu. Semua yang dilakukan beruntun, tahapannya seperti dihapal diluar kepala.

Saya sempat mengikuti prosesi sang penjual, ketika melayani pesanan makan siang saya tadi. Dua bungkus pesanan sudah selesai, setelah dimasukkan plastik diserahkan kepada pembeli. Begitu seterusnya yang dikerjakan, kepada beberapa pembeli yang menghampiri lapaknya. Tangan yang dari tadi sibuk sejurus berhenti, bersama suapan terakhir masuk ke mulut saya. Hajat makan siang sudah selesai bagi saya, memberi hak pada lambung untuk diisi makanan. Masih ada satu prosesi agar tenggorokan tak kesereten, adalah minum menjadi penutup makan siang.

[caption id="attachment_381702" align="aligncenter" width="614" caption="Gerobak Gado gado (dokpri)"]

1418163026490417225
1418163026490417225
[/caption]

Ibu penjual gado gado duduk di dekat gerobaknya, matanya menerawang ke jalanan. Sambil menghabiskan segelas teh hangat, saya melihat ada yang berbeda tampilan gerobaknya. Sebuah stickerLembaga Amil Zakat tertempel, nama ibu penjual ada juga di tengah tengah. Karena penasaran melihat gerobak jualan, ibu yang sedang duduk saya ajak berbincang. Barulah Bu Karti nama penjual bercerita, senyum dibibirnya tak menghapus sayu di wajahnya. "ini dapat sumbangan dari kantor zakat Pak" Bu Karti membuka cerita.

Saya mendengarkan dengan seksama tanpa menyela, karena yakin masih ada deretan kalimat selanjutnya. "waktu itu saya memang menghadap petugas di kantor zakat, tak lama ada yang datang untuk survey" lanjutnya

Bu Karyati sendiri sudah berjualan Gado gado selama enam tahun, kendala modal membuatnya kadang bisa jualan kadang juga tidak. Sang suami yang petugas jaga di sebuah komplek perumahan, berpengasilan tak seberapa. Bahkan ada yang berniat kasih pinjaman, tapi ujung ujungnya berbunga. Wajah sendunya mengemuka saat bercerita bagian ini, seolah mengingat pedih yang telah dijalani.

"kalau dari kantor Zakat ini petugasnya baik Pak" air muka Bu Karti sedikit berubah "saya dikasih modal " semangatnya seperti terbit

"Alhamdulilahhhhh..Pak" ucapan syukur dalam tergambar dari tekanan bagian belakang kalimat.

"Ibu musti nyicil ga buk" tanya saya penasaran.

"enggak bayar apapun Pak" Bu Karti menepis ketidaktahuan saya," Petugas Zakat kalau datang cuma tanya perkembangan jualan saja" setiap kalimat terasa menyimpan rasa haru.

Bu Karti mendapat bantuan dari Lembaga ini baru beberapa bulan yang lalu, rona bahagia jelas saya tangkap ketika penjual ini bercerita keberuntungan itu.

Senyum yang terbit di bibir Bu Karti, semoga menjadi ladang pahala bagi penderma. Ternyata di tengah berita tentang koruptor, masih ada manusia berbudi yang menempuh kebaikan. Jaman (yang kata orang) sudah sedemikian penuh intrik, tak sepenuhnya benar terbukti masih ada yang hatinya terjaga.

[caption id="attachment_381703" align="aligncenter" width="614" caption="Bu Karti (dokpri)"]

1418163113288187693
1418163113288187693
[/caption]

Titik hujan masih mulai semakin jarang saja, meski mendung masih cukup bergelayut tebal. Satu pembeli datang lagi memesan,

"Bu nanti saya ambil ya mau beli es campur dulu" ujar perempuan muda memesan

"Iya Mbak" Balas Bu Karti sembari bangkit dari duduknya.

Siang itu pikiran saya masih berkelana, antara kagum takjub dan aneka perasaan yang berbaur. "kalau petugas Zakat datang hanya untuk ngontrol saja buk" saya melanjutkan introgasi.

"Iya Pak.., mereka tanya bagaimana jualan apa ada kendala" jawabnya sambil mengulek bumbu.

"tapi saya punya pikiran selalu sisihin uang jualan buat sedekah di kantor zakat" lanjut Bu Karti.

"Subhanalohhhhh...."saya menjerit dalam hati. Seorang Bu Karti yang memikirkan biaya sehari hari masih kesulitan, yang terpikir di kepalanya justru sedekah.

Pada kalimat "bersedekah" seperti menampar nampar saya, kesadaran berbagi memang bukan urusan banyak atau sedikitnya uang. Tapi apakah hatinya terketuk atau tertutup, "Ya Tuhaannn...."pekik saya dalam hati.

Tak lama perempuan muda yang tadi memesan datang, membawa tentengan plastik kecil ditangannya. Menghampiri gerobok gado gado Bu karti. Pernyataan terakhir tentang sedekah, terus terang membuat saya speachless. Ada perasaan malu pada bu Karti, dan yang lebih besar adalah malu pada diri sendiri. Untuk menghilangkan perasaan bersalah pada diri, saya mohon pamit sambil ijin membagi kisahnya melalui tulisan. Bu Karti dengan ringan hati tak keberatan, ketika beberapa sudut gerobak saya ambil gambarnya.

Gerimis mulai lenyap dan mendung masih gelap, saya meninggalkan gerobak gado gado dengan sejumput hikmah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun