Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepenggal Kisah

19 Desember 2014   10:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:59 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14189354191081423737

[caption id="attachment_383889" align="aligncenter" width="609" caption="wisuda-dokpri"][/caption]

Sinar Pagi menyapa pori pori, lelaki muda dengan langkah bergegas menghampiri Halte. Jadwal rutin setiap awal hari, menuju gudang furniture tempat mengabdikan diri. Usia yang belum genap duapuluh bungsu pula, tak menjadi alibi untuk memanjakan badan. Saat teman sebaya hanya sibuk dengan diktat, Hanafi merangkum kampus dan tempat kerja menjadi satu. Keputusan yang tidak ringan memang, tetapi tak ada pilihan baginya. ketegasan harus dijalani, karena hidup terlalu membosankan apabila mendatar saja.

Kondisi ekonomi orang tua menjadi pangkal, perasaan sensitivenya malah membajakan semangat. Ayah pensiun guru ibu pedagang di pasar, cukup sudah beban mereka. Tak lagi dirusuhi bayar kost dan  sekolah. Toh enam anak  yang diurusi, sudah mengisi daftar panjang pengorbanan itu.

"Kamu kalau bayar uang kuliah, ngomong ya le" pesan ibu dan ayah

"Enggih Pak...Buk..saya pasti ngomong" balasnya sopan.

Percakapan di ambang senja, terus terngiang dibenak. Namun selalu ada yang aneh, setiap pulang  tenggorokan seperti disumbat.

"kapan kamu bayar sekolah" tanya ayah

"Belum, masih lama" Hanafi  meyakinkan

"seingatku sejak daftar kuliah, kamu belum minta duit lho" kening ibu mengkerut

"karena belum waktunya bayar buk" berusaha menyembunyikan gugup

Begitu terjadi setiap pulang kampung, tanggungan sekolah tetap  di atas pundak. Perasaan hampa yang menggelayuti, tak ada pilihan lain kecuali dihadapi. Ketika badan berselimut lelah, pernah membanding dengan saudara tua. Mereka kuliah saja kala seusianya, namun cepat dihapus racun itu diganti pikiran baru.

Meski sedarah tak sama jalan ditempuh, setiap orang membawa sendiri takdirnya. Masing masing diri akan mendapati hasil, dan menjumpa dengan nasibnya. Kerasnya kehidupan musti dijalani, mumpung darah muda mengalir deras. Masa akan segera berganti, peluh kan berubah menjadi indah nostalgi. Perjuangan hidup  sesungguhnya adalah pembuktian siapa yang lebih kuat menahan sabar. (salam)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun