[caption id="attachment_385160" align="aligncenter" width="453" caption="ilustrasi (dokpri)"][/caption]
Merasa diri sedikit ilmu, justru menjadi pintu pembuka. Untuk tak henti belajar, tak puas mereguk keluasannya. Betapa sesungguhnya ketidaktahuan manusia, tak sebanding dengan pengetahuannya. Dunia yang menampung kekayaan beragam, berbanding "njomplang" dengan yang diketahui manusia. Dalam sebuah majelis ilmu yang saya hadir, tersebut perumpamaan manusia dengan pengetahuan. Laksana setetes air di tengah samudra, yang dikuasai manusia bagai setetes air ditengah samudra luas.
Bagi penghaus ilmu yang konsisten, laksana dianugerahi obor penuntun gelap menuju terang. Bagi yang membarengi ilmu dengan pengamalan, pada merekalah amanah keilmuan akan tersampaikan.
Dalam medan kehidupan yang universal, keseharian ibarat peperangan benarmelawan tidakbenar. Hukum alam memiliki mekanisme kerja otomatis, hanya kesejatianlah yang ditakdirkan unggul. Dalam skala lebih personal, setiap pilihan ibarat kancah perebutan antara ruh (baik) melawan nafsu (buruk). Kedalaman mengenali diri akan menuntun kecenderungan pilihan, ruh yang memegang kuasa atau justru nafsu yang meraja.
Alam berjalan dengan sebegitu adilnya, setiap manusia mendapati yang diperbuat. Segigih manusia mengerahkan daya, tenaga dan pikiran, niscaya berbanding lurus dengan perolehan. Hidup mengunggulkan siapa saja yang pantas diunggulkan, hidup berlaku tak pandang bulu pada semua manusia.
********
Untuk apa harus menulis? (*) Pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh diri sendiri. Tak ada yang memaksa untuk menulis, dan tak ada yang memaksa untuk menghentikan pena. Pertanyaan itu persis seperti, mengapa harus makan, mengapa harus minum, mengapa harus bersosialisasi, mengapa harus bekerja. Semua yang dikerjakan akan menuai hasil, semua keputusan akibatnya akan ditanggung sendiri.
Kalau saya boleh menjawab pertanyaan bertanda (*), dengan menulis apa yang ada dalam pikiran bisa tersampaikan (versi saya). Syukur syukur bermanfaat bagi yang berkenan membaca, sehingga peluang untuk memiliki andil dalam kebaikan (versi saya lagi).
Pilihan menulis bersifat tidak memaksa, semua boleh dilakukan boleh tidak. (Kecuali bagi orang yang bekerja atau berprofesi khusus, kalau tidak menulis akan kena sangsi). Memilih menulis seperti naik motor atau mobil, tidak ada yang memaksa harus membawa SIM atau STNK.
Berkendara tanpa SIM dan STNK, sama artinya dengan menyediakan diri kena tilang. Kalaupun beruntung sedang tidak ada operasi polantas, minimal menyediakan diri "deg degan" saat bersebelahan dengan polisi. Orang yang membawa surat lengkap saat berkendara, akan lebih relaks dibanding yang tidak membawa.
*******
Indikasi bagi pemenang, adalah yang menguasai ilmunya. Seorang samurai akan menaklukkan lawannya, ketika ilmu pedang ada digenggaman. Seorang petarung handal mampu meng-KO rivalnya, setelah jurus dan taktik bersilat dikuasai. Seorang pebisnis ulung akan mampu melejitkan hasil, ketika ilmu membangun relasai dan management bisnis ditaklukkan. Hal serupa berlaku pula bagi penulis, tajam pena musti mampu digerakkan dengan baik. Musti menguasai pemilihan kata, merangkaiakan kalimat, mendalami materi tulisan, rajin riset, dan total menuliskannya menjadi sedikit bagian yang musti ditempuh. (mungkin ada tahap lain silakan ditambah sendiri)
Semua yang tersaji di dunia ada ilmunya, mau menjadi pedagang yang sukses ada ilmunya, menjadi Jaksa yang adil ada ilmunya. Menjadi dosen, menjadi dokter, menjadi pemadam kebakaran, menjadi karyawan, menjadi wirausaha dan semua bidang profesi semua ada ilmunya.Orang yang dahaga ilmu, seperti pejuang kehidupan. Hanya dengan Ilmulah, terhantar pemahaman pemahaman baru.
Mengutip kalimat indah dari Rasulullah usai perang badar, "peperangan yang paling berat adalah mengalahkan ego dalam diri". Ketika keahlian yang dimiliki justru meninggikan hati, tanda kegagalan ada didepan mata. Semakin tinggi ilmu, semestinya semakin membumikan pekerti. Seperti ilmu padi, semakin merunduk ketika semakin berisi.
Kemarin, hari ini dan esok adalah rangkaian proses, masing masing tak bisa berdiri sendiri. Setiap waktu dan kejadian dari hari ke hari, menjadi rangkaian benang merah yang terus berkelanjutan.Spiritbelajar yang lahir dari dalam hati, membawa pelakunya pada perolehan yang maksimal. Tak perlu terlalu banyak teori, tindakan nyata lebih utama dari sekedar kata kata.
Maka mari menulis, apabila membuat sumbatan di kepala menjadi lapang. Maka mari menulis, agar hari ke hari menorehkan sejarah bagi keindahan. Mari menulis mari membuat sejarah yang baik, semoga setiap tulisan yang bermanfaat menjadi ladang pahala. Semoga kelak, menjadi kenangan abadi bagi anak dan cucu kita (wassalam)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H