Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Siapa Menabur Siapa Menuai

7 Januari 2015   12:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:39 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_389016" align="aligncenter" width="458" caption="illustrasi (dokpri)"][/caption]

Ini adalah tahun ketigadilalui, menjadi episode pedih dalam hidup Haryanto. Lelaki usia 50 th-nan yang dulu berbadan gagah, bermata sipit dengan tinggi menjulang. Semasa jaya masalah penampilan sangat diperhatikan, baju yang dipakai berbahan halus dengan corak berkelas. Sepatu kulit hitam mengkilap, mencitrakan harga "wah". Pergelangan tangan kiri melekat jam bermerk, iklannya sering muncul di televisi atau majalah segmenhigh class. Pergaulannya luas mulai kalangan professional, pejabat teras ibukota bahkan sampai Daerah. Senyumnya mengembang lebar, menyamarkan wataknya yang keras dan perfecsionis.

Kini lelaki yang sama berada dihadapan Hanafi, dengan kondisi berbanding terbalik. Badannya kurus kering, kaos warna merah marun yang dikenakanbukti kejayaannya. Kaos berlogo merek ternama, pernah dilihat Hanafi di etalase sebuah hotel berbintang.Saat kunjungan ke kota Gadang, Hanafi mewakili kantor presentasi di hadapan pejabat daerah. Selama tiga hari berkunjung, menginap di hotel yang sama dengan Haryanto. Kebetulan yang memfasilitasi pertemuan, agency pemenang tender iklan yang dimiliki Haryanto. Bolak balik berjalan melintasi loby hotel, tampak kaos yang saat ini terlihat di depan mata. Angka yang tertera di bandrol putih, senilai lima kali bahkan lebih harga kaos Hanafi. Siang yang mendung penampilan kuyunya, tak terbias oleh merek baju yang dipakainya.

"Apa kabar mas?"Sapa Haryanto.

Tangannya mengenggam telapak tangan Hanafi, bagai sahabat yang lama tak bersua.

“Baik Pak” sahut Hanafigelagapan.

Hanafi tersenyum dipaksa lebar, sembari menyembunyikan rasa heran. Berjuta pertanyaan terlipat di benak, tanpa tahu bagaimana mengurainya. Hampir tiga tahun lost contact, beberapa hari lalu Haryanto menelpon. Ada sebuah project iklan sedang diprospek, ingin menyertakan Hanafi di dalamnya. Tanpa berpikir panjang Hanafi meng-iya-kan, sebuah janjian disepakati. Sempat ada pertanyaan dalam hati, kenapa meeting tidak di kantor. Dulu ketika janjian sesekali di daerah Cinere, tempat kantor agency Haryanto berdomisili. Siang ini janjian di daerah Ciledug, berada di sebuah perumahan pula. Namun diredam segala keheranan Hanafi, "yang penting ketemu dulu" begitu yang ada di kepalanya.

Tiga tahun bukan waktu yang sebentar, tetapi juga belum terbilang lama. Namun sepanjang masa itu, telah merubah drastis perjalanan hidup seseorang. Haryanto lelaki mualaf berdarah Cina Jawa ini, terlihat sedang terpuruk dalam titik nadir hidupnya. Sisa kegagahan tak berbekas, sorot matanya redup garis diwajahnya tak secerah dulu. Meskipun tak terlalu akrab, Hanafi cukup mengenal istri Haryanto. Beberapa acara yang dihadiri, mempertemukan Hanafi dengan belahan jiwa partner kerjanya. Kini lelaki yang dulu gagah dan wangi, mengajak bertemu di halte dekat mall. Alasannya cukup masuk akal, dia mengabarkan ada keperluan membeli barang. Jadi bisa sekalian beriringan, kebetulan Haryanto juga memakai roda dua.

"kita ke rumah yuk mas" ajak Haryanto mencairkan suasana

"Mari Pak" balas Hanafi

Berdua beranjak meninggalkan halte, motor Hanafi mengikuti dari belakang. Jalanan perumahan kelas menengah, terlihat lapang dan rimbun. Memiliki cluster cluster dengan nama kota dunia, rumah minimalis dengan ukuran tanah sekitar 90 meter. Selera Haryanto yang masih terjaga, tergambar dari pemilihan lingkungan tinggal. Posisiperumahan yang tidak sulit untuk di cari, namun lelaki ini mengakui masih mengontrak.

Cuaca semakin pekat, segelap beban disandang Haryanto.Perjalanan dari halte menuju rumah, hanya sekitar lima sampai sepuluh menit. Dilingkungan komplek yang relatif asri, kontrakan Haryanto terlihat lengang dan sepi. Daun kering berjatuhan di jalanan luar pagar, memberi kesan jarang disentuh ujung sapu. Carpot berlapisi semen paving blok, terlihat ditumbuhi lumut dan rumput di sisi sisinya. Teras mungil khas perumahan hometown, terlihat sisa percikan percikan air sisa hujan dan belum dihapus kain pel.

"mari masuk mas" ajak Haryanto setelah membuka pagar.

Motor Hanafi parkir bersebelahan dengan motor Haryanto, titik hujan mulai menyapa dedaunan. Tak ingin tekena basah, Hanafi segera bergegas melangkah ke teras. Tak lama kemudian pintu ruang tamu dibuka, Haryanto mempersilakan masuk tamunya.

"Ayo mas, jangan sungkan sungkan" sang tuan rumah mempersilakan

"Trimakasih Pak" balas Hanafi sopan

Hanafi duduk di kursi kayu setengah lingkaran, diplitur mengkilat menonjolkan garis kayunya. Empat kursi melingkari sebuah meja bundar mungil, designnya cocok untuk rumah gaya minimalis. Sepi dan sepi itu yang kesan yang tertangkap, untung ada yang menyelamatkan keadaan. Radio yang memperdengarkan lagu slow, distel dengan volume sedang. Ruangan menjadi bersahabat tak benar senyap, membuat kesan nyaman dan krasan.Tak ada sepatah pertanyaanpun meluncur, ketika sudah berada di ruang tamu.

"mau minum teh apa kopi mas ?" Haryanto mengajukan penawaran

"teh saja Pak" jawab Hanafi singkat.

Dengan sigap Haryanto beranjak menuju dapur, pertanyaan di kepalapun bertambah panjang. Tentang keberadaan istri, yang dulu pernah dijumpai di beberapa acara. Ruangan dapur bersebelahan dengan ruang tamu, terlihat betapa cekatannya tangan Haryanto. Menuang air panas dan teh celup, dan mengaduk dengan gula pasir.

Situasi demi situasi berseliweran di depan mata, Hanafi mencoba merangkum semua. Segenap rasa penasaran disimpan rapat, dibiarkan menjadi koleksi pertanyaan saja. Hanafi membiarkan suasana mengalir apa adanya, tanpa berusaha mencari tahu yang sebenarnya. Tak butuh waktu lama di dapur, Haryanto keluar dengan cangkir kecil di kedua tangannya.

"susah gak mas cari tempat ketemuan tadi" Haryanto memecah kebekuan

"Enggak Pak, saya sering lewat sini kalau ke Tangerang Kota" balas Hanafi

Suasana mulai cair dengan sendirinya, obrolan mengalir seputar pekerjaan. ada sebuah tender Pemda yang sedang diincar, namun Haryanto tak memakai nama PT yang terdahulu. Kini dipinjam nama perusahaan agency, milik teman yang kebetulan kenal akrab. Seperti project terdahulu, media Hanafi menjadi tempat pemasangan iklan. Keterlibatan Hanafi sebatas presentasi, berkaitan dengan produk media. Urusan tender dan lain sebagainya, menjadi tanggung jawab Haryanto.

Enam marketing di kantor media ini, hanya Hanafi yang sanggup meladeni keras kepala Haryanto. Karakternya yang meledak mudah tersulut, membuat orang lain tak betah. Namun demi pekerjaan pula Hanafi bertahan, ketika dibentak dibalas dengan diam. Ketika Haryanto sedang mencaci, Hanafi menyimpan kesalnya rapat. Esok hari ketika nomor telepon haryanto masuk, Hanafi enggan mengangkat.Namun semua biasanya kembali biasa lagi, setelah kesal dan jengkel sudah hilang.

Kurang lebih 2 jam bicara tentang pekerjaan, tak sedikitpun menyinggung persoalan pribadi, Sampai diakhiri pamit pulang, sembari mengatur waktu pertemuan berikutnya. Hasil pertemuan siang ini, akan segera disampaikan kepada management. Kelanjutan kerjasama yang dirancang, tergantung pada persetujuan pimpinan.

Hujan di luar berangsur pergi, medung perlahan kembali cerah. Tetes air sisa hujan bergerak ragu, tanda reda segera mengganti. Adzan sholat ashar berkumandang, mengiringi roda dua meninggalkan rumah Haryanto.

*********

Hari berlalu Hanafi larut dalam kesibukan, konsentrasi dan energi tak terfocus pada satu hal saja. Keheranantentang Haryanto terbang begitu saja, pertanyaan dibenak lenyap karena tak ada kaitan dengan dirinya. Rencana kerjasama dengan Haryanto, mendapat lampu hijau dari Pak Boss. Sesuai kesepakatan pada pertemuan pertama, minggu ini Hanafi kembali mengunjungi Haryanto.
Kali kedua
datang Hanafi langsung ke tujuan, posisi rumahnya masih diingat dengan baik. Tiga tahun yang lalu, cafe atau resto di mall bergengsi menjadi tongkrongan Haryanto. Plaza Senayan, Senayan City, Plaza Indonesia, Pondok Indah mall adalah tempat janjian dengan hanafi. Meski berkantor di Cinera, Haryanto lebih suka bertemu di Mall elite.

Siang ini Haryanto terlihat lebih relaks, suasana obrolan lebih cair dari sebelumnya. 30 menit tak terasa kerjasama promosi akhirnya deal.Secercah kebahagiaan terlihat, dari cahaya dan senyum Haryanto. Kulit wajah yang berkerut, menambah kesan tua dari usia sebenarnya. Urusan pekerjaan selesai sudah, kalaupun Hanafi pamitan tak menjadi masalah.

Suasana hening menjelma menguasai, Haryanto menarik nafas panjang memberi jeda. Ada topik baru hendak diucapkan, Hanafi tak paham dan takbereaksi.

“Kaget lihat saya sekarang?” Haryanto tersenyum

Hanafi diam tak menjawab, dan sebuah pertanyaan tak selamanya membutuhkan jawaban. Tanpa diminta Haryanto mulai bercerita, tentang kehancuran sedang dialami. Kejanggalan demi kejanggalan yang disimpan, siap terurai tanpa diminta. 15 tahun pernikahan Haryanto dan istri, kandas karena KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Tabiatnya yang ringan tangan, membuat samg istri menggugat cerai. Selama masa perkawinan, pernah istrinya mengandung. Tapi keguguran karena kandungan lemah, selain itu siksaan batin. Sejak gonjang ganjing di rumah tangga, Project dari Pemda semua gagal. Karena kurang focus, perusahaannya bangkrut kena tipu rekan kerja. Rumah yang dimiliki semasa menikah , sudah dijual menjadi harta gono gini.

[caption id="attachment_389018" align="aligncenter" width="565" caption="illustrasi (dokpri)"]

14205818851556564645
14205818851556564645
[/caption]

Cerita mengalir begitu derasnya , tanpa sedikitpun terpotong pertanyaan atau sanggahan. Hanafi hanya mendengar, imaginasinya meloncat diatas buih buih cerita.Membayangkan betapa kehendak NYA adalah sebuah keniscayaan, orang yang dulunya makmur dengan segala kepemilikan. Dalam waktu sekejap bisa berubah dratis, menjadi tak punya apa apa. Tak segera diambil kesimpulan siapa salah siapa benar, cerita dari lelaki berumur masih sepihak. Melihat alotnya hati dan sikap, rasanya setimpal dengan yang didapati kini.

Sampai titik terakhir cerita, Hanafi masih tak paham. Mengapa sampai dijadikan tempat cerita. Meski tak semua disampaikan, tapi apa untungnya mengabarkan. Atau mungkin Haryanto sedang meluruskan keadaan, mungkin tepatnya membela diri. Hanafi tak ingin terlalu pusing, melibatkan diri yang bukan urusannya. Sepertinya Haryanto hanya ingin bercerita saja, tanpa minta pendapat atau saran.

Pertemuan sore itu ditutup, sebulan lagi pergi ke Daerah pemilik project iklan. Presentasi akan dijadwalkan dengan pejabat terkait, teknis pelaksanaan akan diatur kemudian.

******

Sebagai marketing hari ke hari diisi janjian, dengan calon pemasang iklan. Dalam dunia marleting berlaku rumus, semakin banyak meeting sama dengan banyak kemungkinan pasang iklan. Kalau sedang banyak janjian, sehari bisa tiga atau empat. Tapi pulang ke rumah bisa larut, dan badan terlalu capek. Hanafi memilih angka aman, dua atau tiga meeting dalam sehari.

Progres mingguan dan bulanan direkap rapi, sehingga ketauan prioritas follow up client. Hampir empat minggumeeting dengan Haryanto, saatnya mencari tahu perkembangan. Beberapa kali jari hanafi memencet pesawat telepon, terdengar suara operator bahwa nomor anda salah. Demi meyakinkan telepon receptionis dipinjam, agar nomor yang dipencet tampak didisplay monitor. Namun suara operator lagi lagi terdengar, mengabarkan hal yang sama.

Tak mau pendek akal keesokan hari, hanafi mendatangi rumah Haryanto. Sesiang ini rumah dalam kondisi tergembok, daun kering berserakan dan rumput tumbuh semakin liar. Sambil berjalan perlahan, dihampiri pos satpam di ujung jalan. Baru didapat sebuah informasi, kalau hampir seminggu rumah yang baru disambangi kosong.Baru dua hari petugas PLN datang, aliran listrik diputus karena nunggak tiga bulan. Hanafi langsung lunglai, tak tahu kemana mencari jejak Haryanto. Tak ada pilihan lain kecuali kembali ke kantor, dengan hasil dan harapan hampa.

Sampai di kantor segera dibuka laptop, berselancar di dunia maya menghilangkan gelisah. Dari sebuah portal berita terdapat headline, Pejabat di sebuah daerah berurusan dengan "Komisi Anti Rasuah". Setelah dibaca lengkap berita, diketahui kalau pejabat berasal dari dinas yang akan didatangi Hanafi dan Haryanto. Senyum kecut muncul dibibir hanafi, bingung harus senang atau sedih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun