Mohon tunggu...
Agung Yudha
Agung Yudha Mohon Tunggu... -

Penulis merupakan individu yang saat ini menjadi pengajar di salah satu kampus di Denpasar, Bali. Seorang musisi Rock serta sutradara film. Selebihnya hanya warga biasa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Awas! Wabah Pentol Korek Mengintai

22 Desember 2016   09:30 Diperbarui: 22 Desember 2016   09:45 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemikiran ini bermula setengah dekade yang lalu ketika saya baru saja menyelesaikan pendidikan strata satu di sebuah universitas di Bali. Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana, sejenak diri ini mendapatkan lebih banyak waktu untuk menengok ke segala sisi dan menelisik lebih jauh tentang apa yang terlewat semasa dahulu sibuk berkutat dengan tugas kuliah, organisasi, maupun berbagai kegiatan berguna dan tak berguna lainnya. Dengan kata lain, selepas acara wisuda, waktu saya menjadi lebih banyak lowong sambil menyambi kerja di sebuah organisasi seni di bilangan daerah wisata di Bali.

Sebagai seorang pemuda yang hidup di tanah yang memiliki pergolakan global dan lokal yang ketat, Bali, pandangan saya kala itu tertuju pada keadaan Indonesia. Negara sekaligus rumah dimana saya lahir dan (mungkin) mati kelak. Pandangan saya tentang Indonesia sangatlah plural. Ya, Plural. Beragam. Seperti slogan negara ini, Bhinneka Tunggal Ika. 

Berbeda – beda tapi tetap satu. Saya merasakan kekaguman lebih pada Indonesia. Entah karena saya lahir dan besar di antara cerita heroik perjuangan pahlawan negara ini dalam mencapai kemerdekaannya atau sudah terbiasa hidup berdampingan dengan lingkungan yang berbeda suku, agama serta ras. Dalam radius 500 meter, saya memiliki teman Muslim, Kristen dan Budha. Oh ya, by the way, KTP saya bertuliskan Hindu. Berjalan lebih jauh lagi, sangat mudah menemukan bule maupun turis asia dan bercengkrama dengannya. Ketika bersekolah, tidak sedikit teman berbeda suku yang pada akhirnya menjadi kawan berbincang dan bercanda.

Semuanya berjalan dengan baik. Walaupun ada yang saling berbeda pendapat, kami menganggap itu adalah hal biasa. Sebuah proses pendewasaan. Bukan hanya pada poin berbeda pendapatnya saja namun ketika kita menerima pendapat berbeda sambil tetap didasari pada nuansa pertemanan yang tetap terjalin. Baik ketika berdiskusi dengan teman lama maupun kawan baru. Kita, yang berbeda warna kulit serta keyakinan ini sadar, hal terpenting adalah menjaga kerukunan di antara kita. Melihat semua persoalan sebagai sebuah hal yang perlu dicarikan solusi. Solusi bersama. Bukan sebuah versi yang dimana satu menang maupun satu kalah. 

Topik permbicaraan pun menjadi beragam. Dari hal yang masih bisa diantisipasi melalui logika baik itu membicarakan isu sosial sekitar atau sekedar menjalankan ritual mengamati kawan terdekat dan menelisik total (Baiklah, kadang ngegosip) ataupun membicarakan hal yang diluar kuasa logika. Kenapa agamamu bisa begitu, aku begini? Tuhan itu seperti apa ya? Berapa luas angkasa ini ya? Kapan kita akan diserang alien. Dan sebagainya. Dan sebagainya.

Dunia saya simpel. Bagi saya, kerukunan dan persatuan adalah utama. Perbedaan itu biasa. Pemaksaan sama sekali bukan landasan kebenaran. Setiap permasalahan pasti ada solusi. Simpel dan sempitnya dunia saya ternyata dimiliki juga oleh orang lain. Namun sayangnya dengan substansi yang berbeda. Mereka adalah individu yang merasa terzalimi akan sesuatu yang tak akan kunjung selesai. Terhadap sesuatu yang mengancam sehingga mereka perlu yang namanya perlindungan. Mereka tidak tinggal di area konflik namun merasa perlu bertempur dengan orang yang berbeda penalaran dengannya. 

Mereka sebenarnya bisa rukun namun entah mengapa selalu berucap kata yang mengarah pada perseteruan. Mereka adalah pihak - pihak yang nyaman menyalahkan orang di luar lingkungannya. Di luar pemikiran. Di luar suku. Di luar agama serta ras mereka. Hingga mungkin menganggap yang berbeda itu adalah bukan manusia yang patut diajak (walau) sekedar berdiskusi. Mereka gemar melakukannya. Tanpa gemar introspeksi ke dalam. Seakan melihat bahwa diri dan pemikirannya maha sempurna. Padahal mereka tahu mereka tidak (seperti itu).

Berbagai fenomena turut berjalan berdampingan (bahkan terlanjur mesra) terhadap hal ini. Sebutlah organisasi massa yang mengatasnamakan agama, suku dan ras tertentu mulai bermunculan. Tumbuh subur bak jamur di musim penghujan. Isi kitab suci diumbar dan dipakai sebagai bahan pembenaran. 

Jika merujuk pada konsep kemanusiaan nan logis yang bertentangan dengan pemikiran ‘sucinya’, hanya satu kata: LAWAN. Ini bukan hanya merujuk pada satu agama dan keyakinan namun pasti karena pemahaman yang mulai bergeser bahwa kepercayaan dan keyakinan pribadi telah boleh diatur dalam konstruksi massa yang lebih luas. Semacam pola penegasan yang tumbuh dan berkembang dari mayoritas yang dibekali cita – cita masa lalu akan kejayaan agama maupun komunitas minoritas yang berusaha lepas dari “jeratan” pihak lain yang telah membawa hidup mereka menjadi tertekan setara menuju nista.

Pola kita semua korban menjadi sangat trendi. Mereka adalah pelakunya. Mereka siapa? Tentu yang berbeda dari yang merasa dirinya korban. Berbeda keyakinan, suku, agama hingga ras. Menjadi super sensitif. Merasa diri superior namun merasa terancam jika bertemu dengan sesuatu yang bertentangan. Benar – benar terancam. Cara satu – satunya adalah menghilangkan ancaman tersebut. Tiada lagi upaya negosiasi. Jangankan kepada orang lain bahkan diri sendiri pun tidak mengenal yang namanya penerimaan perbedaan pendapat. Hal yang mencengangkan lainnya, ternyata ini tersebar hampir merata di setiap elemen kehidupan kita di Indonesia. 

Oh ya, jangan lupakan media yang beralih fungsi dari mencerahkan rakyat menjadi mencelakakan rakyat. Jumlah mereka tidak kalah besar dan turut menyumbang kemunduran berfikir warga negara kita yang tercinta ini lewat konten click bait. Media yang seharusnya dapat menjadi mediasi berfikir masyarakat menjadi arena tumpah ruah dalam menunjukan kekuatan lewat kata – kata pembenaran merujuk kolot, pemelintiran kebenaran hingga penghinaan melalui caci maki yang tercermin terbalik dari pendidikan tinggi yang dianut oleh individu terkait.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun