Mohon tunggu...
Agung Yudha
Agung Yudha Mohon Tunggu... -

Penulis merupakan individu yang saat ini menjadi pengajar di salah satu kampus di Denpasar, Bali. Seorang musisi Rock serta sutradara film. Selebihnya hanya warga biasa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Awas! Wabah Pentol Korek Mengintai

22 Desember 2016   09:30 Diperbarui: 22 Desember 2016   09:45 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apakah pemikiran saya skeptik? Hanya berfikir tentang kemungkinan negatif semata? Mari saya pikirkan. Hmm.. Tidak juga. Coba terka apa yang terjadi pada Indonesia beberapa waktu terakhir. Isu apa yang hangat dan gampang menjadi trending topic di dunia maya yang luas ini? Tentunya selain hal penting yang patut direspon layaknya alam, pendidikan, pembangunan karakter dll, hal yang populer dan membuat semua orang menjadi sahih saat berkomentar pastinya hal yang berhubungan dengan Suku, Agama dan Ras.

Ketika semua mengkonsepkan diri layaknya pentol korek (berkepala tapi digesek dikit, Nyala), bahkan hal sederhana mampu menjadi sebuah pemicu api. Salah kata. Video yang diedit. Masalah orang beda suku yang jualan di warung. Pahlawan yang dulu berjuang memerdekakan Indonesia yang kini tersimbolisasi dalam uang menjadi sebuah arena debat baru. Tidak munculnya karakter pahlawan dari daerah tertentu dalam nominal uang lama menjadi sebuah cela bagi keberlangsungan hidup (satu atau beberapa) masyarakat di daerah tersebut. 

Lain nada sama lagu. Sekumpulan orang di daerah lain merasa dilecehkan akibat perwujudan gambar pahlawan yang pakaiannya tidak sesuai dengan anjuran dari keyakinan mereka yang terpampang dalam lembaran uang kertas. Tentunya wajah pendahulu kita terpampang karena jasanya memerdekakan negara dari penjajahan bangsa lain. Sebuah bukti kongkrit dimana kemanusiaan dan hak merdeka harus ditebus mahal bahkan hingga beratus tahun lamanya. Sebuah karya nyata demi kemerdekaan negara Indonesia. Jika pada masa tersebut pahlawan kita hanya memikirkan Suku, Agama dan Ras mereka, apa mungkin kita sekarang bisa menghirup udara kemerdekaan?

Sebuah pola kata penuh khianat kerap terlontar pada eksistensi dasar negara, Pancasila. Keraguan yang terucap keras lewat TOA  yang dikendalikan oleh para pemimpin organisasi Suku, Agama Ras tertentu memperlihatkan bahwa negara sebaiknya (jika boleh dibilang, Harus) mengikuti aturan agama tertentu agar semua menjadi baik. 

Sejarah coba dibelokkan. Perjuangan pendahulu kita coba dicoreng. Dengan lantangnya mereka menyumpah serapah kan segala aspek kenegaraan dan daruratnya negara jika suara mereka tidak didengar. Mereka siap menurunkan presiden! Mereka siap kudeta! Berawal dari kepentingan Suku, Agama dan Ras menuju Permakzulan? Sekarang anda tahu kemana pola dari seluruh kejadian ini.

Saya percaya Indonesia itu kaya. Indonesia itu indah dan diperebutkan oleh siapa saja. Kita saja yang terlanjur terlena hidup di negara yang asri ini. Sehingga kita kadang lupa bahwa kita hendak diadu domba bagi mereka yang ingin mengambil keuntungan dari negara ini. Apa yang mereka bisa buat untuk membuat kita tidak mencintai tanah air? Banyak. Angkat saja isu sensitif, agama misalnya, lalu benturkan dengan agama sebelah. Atau mau yang lain? Angkat isu tentang pendatang lalu kembangkan menjadi sentimen skala provinsi? Seketika lebarlah jurang dari tanah kerukunan yang dahulu mati – matian diperjuangkan oleh pendahulu kita. Mungkin menyiratkan sebuah utopia tingkat tinggi? Menginginkan merdeka sendiri tanpa tahu sulitnya mengelola sebuah negara.

Di sini saya tidak berbicara yang mana agama yang lebih dan yang tidak. Mana suku terhebat maupun bukan atau ras yang superior maupun kebalikan. Siapa juga yang tahu kita akan lahir di suku dan ras apa? Apakah selama kita hidup kita akan memupuk kebencian lantaran perbedaan warna kulit atau bentuk wajah dan dialek semata? 

Kita semua tahu bahwa semua agama juga mengajarkan kebaikan. Mengajarkan kemanusiaan. Memanusiakan manusia. Membuat manusia menemukan jati diri menjadi manusia yang, ya, manusiawi. Bukan menjadikan agama sebagai perisai untuk mendobrak keyakinan ataupun bergulat dengan agama lainnya. Setahu saya agama dan keyakinan adalah urusan personal manusia dan Tuhannya. Itu saja sudah cukup sejuk untuk dilakukan. Rasanya tidak perlu kita menurunkan konsep agama dengan membawanya kedalam konflik duniawi.

Kita adalah manusia. Manusia yang memiliki hak sama untuk mempertahankan rumah, Indonesia, dari segala ancaman yang berpotensi mengusik kerukunan yang terjalin baik selama ini. Manusia yang lahir hidup dan (nanti) mati di Indonesia. Kita memiliki kepala yang pastinya bertujuan membuat sejuk dan memberikan aspek positif pada dunia ini. Bukan hanya terbatas pada Agama, Suku dan Ras semata. Tidak. Karena kita adalah manusia yang hakikatnya bisa berfikir panjang setidaknya dalam level berbangsa dan bernegara. Kita bukan pentol korek yang kepalanya digesek lalu nyala. Bukan Ckrek dan Buzzzz….

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun