Mohon tunggu...
Agung Nurwanto
Agung Nurwanto Mohon Tunggu... -

Hanya ingin menulis berbagai cerita.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Jawaban Sederhana

8 November 2014   14:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:19 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kersak... kersak...

Suara daun yang kuinjak sepanjang jalan ini terdengar ramai di telingaku, berbaur dengan: desik daun yang tertiup angin, ranting-ranting pohon yang patah terinjak, kicauan dari burung yang tak kuketahui namanya, dan beberapa suara yang tak dapat kuketahui sumbernya. Kesemua suara itu mengalun lembut di telingaku, membentuk sebuah melodi indah yang takkan pernah bisa kujumpai di tengah kota.

Mengambil cuti kerja dan bervakansi ke tempat-tempat yang jauh dari pusat kota seperti ini memang sangat mengasyikkan. Untuk sejenak aku bisa mengistirahatkan otakku dari pekerjaan—yang sering kali memusingkan—sebagai auditor senior di sebuah kantor akuntan publik. Biarlah mata ini menikmati sesuatu yang lebih menyegarkan dari lembaran-lembaran kertas kerja pada layar komputer.

Dari sekian banyak tempat yang pernah kukunjungi, pegunungan di sebuah pulau kecil ini adalah tempat favoritku. Dengan tidak begitu banyaknya pendaki lain, rasanya hanya aku saja manusia yang menikmati indahnya pemandangan hutan hujan dan sungai yang tenang dan jernih di kaki gunungnya, belum lagi saat aku sampai di tempat rahasiaku, aku bisa melihat pemandangan laut yang tak kalah menyejukkan. Ah, betapa nikmatnya ....

Saat berjalan dan menikmati alam, terkadang waktu sampai terlupakan olehku. Kutengadahkan kepala ke langit, mengukur sudah seberapa tingginya matahari bersinar hari ini. Tengah hari. Tanggung jika istirahat sekarang karena sebentar lagi aku akan sampai di sungai. Aku berjalan kembali beberapa menit sebelum sampai di sungai. Sesampainya di sana, aku langsung melapor ke pos pendakian dan duduk di tepian sungai dangkal yang airnya sangat jernih ini. Saking jernihnya, aku bisa melihat ikan-ikan berenang dengan jelas. Kumasukkan kedua kakiku ke dalam air dan membiarkannya sebentar. Ada kenikmatan tersendiri saat merendam kaki di sungai setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan.

Dari dalam tas gunung biru di sampingku, kuambil sebotol air minum dan kutenggak hingga tersisa setengah botol lagi. Ah, segarnya! Air minum yang diminum ketika matahari bersinar terik seperti ini memang terasa lebih nikmat. Kemudian aku mengambil sesuatu lagi dari dalam tasku. Buah apel. Kugigit apel itu dan rasanya benar-benar segar. Memakan buah setelah berjalan cukup jauh benar-benar menyegarkan. Selagi memakan apel di tangan, aku melepas topi yang kukenakan di kepala lalu mengipas-ngipaskannya di depan wajah sambil menyapu pandang ke sekeliling.

Selain aku, ternyata ada sekelompok pendaki lain—tiga orang pria dan dua perempuan—yang baru sampai di tepian sungai ini. Jika dilihat dari penampilannya, tampaknya mereka adalah pendaki pemula. Lihat saja, ada yang menenteng kantong tidur di tangannya, padahal saat melakukan pendakian, tangan harus bebas dari barang bawaan semacam itu. Bayangkan saja ketika saat berjalan, tiba-tiba kau terperosok ke jurang dan tanganmu tak sanggup menggapai akar pohon atau tangan temanmu karena ada kantong tidur itu. Kemudian, lihatlah tas punggung salah satu dari mereka, ada panci yang tergantung di sana. Karena medan pendakian yang sulit—terutama jika kau belum tahu medan yang akan ditempuh—tak ada yang boleh tergantung di luar, kecuali botol minum. Itu bisa mengganggu perjalanan, bisa terjatuh, tersangkut-sangkut di pohon, dan semacamnya. Dan kurasa mereka tak menyiapkan diri jika hujan tiba-tiba turun. Tas gunung mereka saja tak dilapisi pelindung. Aku berani bertaruh kalau pakaian yang mereka bawa di dalam tas juga tak dilapisi plastik.

Risi dan geregetan melihat para pendaki pemula itu, tapi entah mengapa aku merasa iri. Rindu dan mendambakan sesuatu yang tak lagi kumiliki saat ini.

Ah, sudahlah! Aku membasuh mukaku dengan air sungai. Segar! Kukenakan lagi topi hangat yang bentuknya seperti kupluk ini dan mengecek barang bawaanku. Kini aku siap untuk melanjutkan perjalanan.

Aku memulai kembali perjalananku dengan berjalan ke utara, melawan arus sungai di sampingku. Aku terus berjalan hingga sampai pada papan penunjuk arah yang mengarahkan pada jalan setapak menuju pos pendakian berikutnya. Kalau mengikuti jalan tersebut, aku bisa bermalam di pos dan sampai pada puncak pegunungan besok pagi, tapi tujuan utamaku kali ini bukanlah puncak yang dituju para pendaki. Saat melihat burung putih yang tak asing lagi di mataku bertengger di ranting pohon, aku bersiul padanya, memberi tanda. Dengan cepat ia menoleh dan menyahut panggilanku. Tak lama, ia terbang mendekatiku. Begitu ia hinggap dengan santai di atas ranselku, aku melangkahkan kaki kembali. Melangkah tidak mengikuti petunjuk arah, tetapi mengikuti arah matahari terbenam, ditemani nyanyian merdu Elisa si burung putih.

~ *** ~

Saat langit mulai berganti warnanya menjadi gelap, sambil duduk bersandar pada sebatang pohon paling besar yang berdiri di pinggiran tebing ini, pelan kumainkan harmonika yang selalu kubawa setiap kali bepergian. Kumainkan alunan berbagai nada sambil menutup mata. Tak ada lagu khusus yang kuhafal dan kumainkan. Biarlah hati ini yang melantunkan keinginannya. Selagi kumainkan alat musik tiup kebanggaanku ini, beberapa temanku duduk melingkar dan mendengarkannya dengan saksama.

“Berapa kali pun kaumainkan benda itu, aku tak pernah bosan mendengarkannya.” kata seekor tupai terbang yang tengah memakan semacam kacang-kacangan. “Ayo mainkan lagi!”

“Tunggu, Eduardo,” Kali ini seekor kucing hutan yang berbicara. “Kalau dia memainkan lagu lagi, kapan dia mau bercerita? Sudah lama sekali aku tidak mendengar cerita kehidupan manusia.”

“Ah, kau benar juga, Selia.” Eduardo kemudian memanjat ke pundakku dan memohon di telingaku. “Ayolah, ceritakan kehidupanmu akhir-akhir ini.” Aku memang menjanjikan beberapa cerita untuk dibagikan saat terakhir kali aku ke sini, namun saat ini aku saja bingung harus mulai dari mana.

“Kalian ingin dengar cerita tentang apa?”

“Bagaimana dengan pekerjaanmu yang membosankan itu?” Beruang grizzly yang sejak tadi diam tiba-tiba mengangkat tangan—kaki depannya—dan bersuara.

Oh, iya, pekerjaan. “Oh, ayolah, Igor .... Aku sengaja pergi jauh dari kantor untuk melupakan pekerjaan, tolong jangan ingatkan aku tentang itu.” Igor yang pendiam itu tiba-tiba menundukkan kepalanya. Aku jadi tak enak hati. “Baiklah, aku cerita sedikit saja ya. Aku baru dapat klien baru. Sebuah perusahaan yang menjual dan membeli teh. Di sana banyak sekali masalahnya. Saat kutanyakan bermacam-macam hal yang aneh, mereka tidak tahu. Bahkan aku yang diminta untuk mencari tahu. Secara tertulis memang penugasannya untuk audit umum, tapi kenyataannya seperti jasa akuntansi. Pekerjaanku jadi semakin banyak dan ditambah lagi asistenku mendadak mengundurkan diri. Argh!! Itu semua membuatku pusing, karena itu aku langsung teringat pada kalian dan kembali ke sini.”

Pusing, tangan kananku langsung saja mengambil beberapa buah anggur dari sekumpulan buah buni—yang dibawakan oleh teman-teman hutanku—dan memakannya satu per satu. Suasana kemudian menjadi hening. Aku baru tersadar kalau nada bicaraku tadi agak meninggi. “Ah, maafkan aku, teman-teman. Kalian juga pasti tidak mengerti apa yang kubicarakan.”

Aku jadi merasa bersalah, tapi suasana hening ini akhirnya pecah ketika Eduardo bertanya, “Teh itu seperti apa? Apakah itu makanan? Apakah itu enak?”

Aku tergelak mendengar pertanyaan itu. Wajar jika mereka tidak tahu. Setahuku, di sekitar sini tidak ada pohon teh. Kalaupun ada, belum tentu juga mereka tahu bagaimana cara menikmatinya sebagai minuman. Sekarang aku jadi punya bahan untuk bercerita. Kuterangkan pada mereka tentang minuman teh. Dari raut muka mereka, bisa kulihat kalau mereka sangat tertarik pada setiap kata yang keluar dari mulutku. Sayang saja aku tak membawa contoh minuman teh yang bisa kubagikan. Ah, mungkin lain kali.

“Lalu sudah ke mana saja kau akhir-akhir ini?”

Hmm .... Aku berpikir sejenak. Dalam setahun terakhir, aku sudah mengunjungi beberapa tempat. Gunung, pantai, tempat wisata. Banyak yang bisa kuceritakan, aku hanya perlu menyusun urutannya di kepalaku. Oh, iya, aku juga sengaja membawa kartu memori yang berisi foto pemandangan tempat-tempat yang kukunjungi. Akan kuperlihatkan itu semua pada teman-temanku di sini.

“Hmm ... ada yang aneh pada koleksi fotomu ini.”

Alisku terangkat, heran. “Hah? Apanya yang aneh, Felix?” tanyaku pada seekor rubah yang tengah memandangi layar pada kamera digitalku di tangannya.

“Di kamera ini ada banyak sekali gambar pemandangan yang menakjubkan, tapi kenapa tidak ada gambar dirimu sama sekali? Aku sering memerhatikan para pendaki di sekitar sini dan tak sedikit dari mereka yang mengambil foto diri di lokasi pendakian, bergantian dengan temannya. Kenapa kau tidak melakukan hal yang sama?”

Aku menggaruk-garuk kepalaku meski tak gatal. “Errr ... mau bagaimana lagi ya? Soalnya aku selalu pergi sendirian ... dan sering menjauh dari kumpulan orang. Lagi pula aku tak bisa meminta bantuan pada hewan yang belum pernah kutemui kan? Lagi pula tak semua hewan bisa memegang kamera dengan baik.” Yah, jujur saja karena aku selalu bepergian seorang diri, jadi sulit untuk mengambil foto di tempat yang sepi. Meminta tolong pada hewan asing juga pasti mereka tidak mau, yang ada mereka berlarian dan ketakutan ketika tahu ada manusia yang bisa berbicara pada mereka. Aku sudah pernah mencobanya.

“Kalau begitu kenapa tidak pergi dengan teman-temanmu saja? Bukankah bepergian dengan teman itu lebih mengasyikkan?”

Aku tidak mengerti kenapa Felix menanyakan hal itu, seolah-olah ia tidak ingat dengan apa yang pernah kuceritakan soal teman dan sahabat. “Felix, bukankah sudah pernah kubilang kalau di dunia ini tidak ada yang namanya teman sejati?” Cukup sudah aku dikecewakan oleh pertemanan palsu di masa lalu, tambahku dalam hati.

Saat isi kepalaku sedang terbang entah ke mana, tiba-tiba seekor kelinci putih naik ke pangkuanku. “Jadi, apa kau tidak menganggap kami sebagai teman?” Pertanyaan itu diikuti oleh sorotan beberapa pasang mata yang tertuju padaku.

Aku mengulas senyum sebelum menjawab pertanyaan itu. “Tentu saja kalian semua teman terbaikku. Dalam beberapa hal, hati kalian lebih suci dari hati manusia yang pernah kutemui sejauh ini.” Aku memeluk kelinci putih itu. Tak lama, teman-teman ikut berangkulan padaku. Di detik ini, aku merasakan sebuah kehangatan suci yang tak pernah kurasakan ketika aku bersama dengan teman-teman lamaku.

“Tapi ini tak masuk akal.” Felix bersuara kembali, memecah suasana. “Kau tidak mungkin sendirian terus kan? Paling tidak kau harus punya pasangan hidup. Sebagai makhluk hidup kau harus berkembang biak untuk meneruskan keturunan.”

Sial, rubah yang satu ini tak ada basa-basinya sama sekali. Tapi apa yang ia katakan itu memang benar, hanya saja aku belum berpikir jauh hingga ke sana. “Hei, hei ... soal yang satu itu ..., agak rumit dalam budaya kami—manusia. Jadi ....” Belum sempat aku selesai bicara, Eduardo sudah membuka mulutnya dengan cepat.

“Kau benar! Aku juga sering menguping obrolan manusia yang mendaki di sini. Sebelum berkembang biak, mereka harus menjalani yang namanya pernikahan dulu. Namun, sebelum itu mereka harus menjalin hubungan dengan seorang—yang mereka sebut dengan—kekasih. Dan ....” Eduardo terus berbicara mengenai apa yang ia ketahui tentang hubungan percintaan manusia. Bahkan sepertinya ia yang lebih banyak tahu ketimbang aku.

“Huh, ribet sekali ya? Untung saja aku tidak terlahir sebagai manusia.” Dengan suaranya yang berat, Igor menambahkan. Ya, kau harus bersyukur karena tidak harus berurusan dengan kemelut kehidupan manusia.

“Jadi, apa kau sudah punya kekasih?”

Pertanyaan itu rasanya menusuk langsung ke jantungku. Mungkin karena sering bergaul denganku, cara berpikir mereka pun mulai seperti manusia.

“Tidak,” jawabku singkat. Biarlah mereka berkutat dan berbagi pikiran, sementara aku hanya meringkuk di sini, tak tahu ingin berbuat apa.

Di saat rasa kantuk mulai menyelimuti mataku, Edgar si burung hantu tiba-tiba mendekat dan berbisik, “Hei, daripada susah-susah mencari kekasih, bagaimana kalau kaujadikan wanita yang di sana itu sebagai kekasihmu?” Edgar mengarahkan sebelah sayapnya ke arah di bawah tebing.

“Ah, ada-ada saja kau. Mana ada wanita di tengah hutan seperti ini? Yang kaulihat bukan hantu kan?” Aku meringkuk lebih erat. Mendadak bulu kudukku berdiri.

“Kau meragukan penglihatan tajamku? Kalau tidak percaya, kautengok saja sendiri. Kau pasti bisa melihat lampu senter yang dipegangnya.

Aku melongokkan kepalaku ke pinggir tebing yang berjarak sekitar lima belas meter dengan tanah yang lebih rendah. Aku membenarkan apa yang dikatakan Edgar. Dari sini—samar-samar—aku bisa melihat ada sinar lampu senter dari balik rimbunnya pepohonan.

~ *** ~

“Hoi! Apa ada orang di sana?”

Aku berteriak, tapi tak ada respons. Aku yakin dalam jarak yang tak begitu jauh ini, seharusnya siapa pun yang berada di bawah sana bisa mendengar suaraku. Aku mengambil senter dari dalam tasku dan menyalakannya, mengarahkan sinarnya ke dalam pepohonan. Setelah sekian detik, orang di bawah sana melihat cahaya dari lampu senterku. Ia kemudian mengarahkan senternya ke atas tebing, mengenaiku.

Ia berjalan keluar dari kumpulan pepohonan, sehingga sosoknya kini bisa dengan jelas terlihat. Seperti yang Edgar bilang, ia adalah seorang wanita. Wanita itu berpostur cukup tinggi dengan rambut panjang—yang sepertinya—merah kecokelatan, membawa tas gunung berwarna kuning di punggungnya, senter di tangan kanan, dan tongkat untuk berjalan di tangan kiri. Apakah dia tersesat? Yang kutahu, hampir tidak ada wanita yang mendaki sendirian, kecuali wanita tomboi, dan sosok yang ada di bawah tebing ini penampilannya tak terlihat seperti wanita tomboi. Aku tanyakan hal itu padanya, tapi ia tak kunjung bersuara, hanya lampu senter yang beberapa kali ia hidup dan matikan. Aku kenal pola itu. Sandi morse.

“Syukurlah ada seseorang. Tolong, aku tersesat!” katanya dalam sandi morse melalui senter. Ternyata benar ia tersesat. Semoga saja ia benar manusia, bukan hantu.

“Apa kau mau kuantar ke pos terdekat?” Aku berteriak lagi, tapi ia tak segera menjawab. Ia malah menggunakan sandi morse lagi dari senternya.

“Maaf, aku tak bisa mendengarmu,” katanya.

Jadi dia ingin bermain dengan sandi ya? Baiklah! Dengan penuh semangat, kuulangi pertanyaanku tadi dengan sandi melalui senter. Selama ini aku hafal sandi morse yang sederhana ini, hanya saja belum pernah kugunakan sama sekali kecuali saat pramuka di masa sekolah dulu.

Setelah aku selesai dengan pertanyaanku, Ia menjawab dengan gelengan kepala, lalu lampu senternya kini berkata bahwa ia ingin naik ke atas tebing ini. Wanita itu kemudian berjalan ke arah undak-undakan di bagian tebing yang agak landai. Saat ia hampir sampai, aku mengulurkan tangan untuk membantunya naik. Ia meraih uluran tanganku dan kedua bola mata hijau mudanya itu menatapku lekat. Entah mengapa, aku terpatung saat ia menatapku seperti itu.

Dan aku baru tersadar ketika Eduardo yang hinggap dengan tenang di pundakku ini tiba-tiba berkata, “Dia itu cantik ya?”

Aku menolehkan kepalaku sedikit ke arahnya, dan menjawab. “Hush ... diam! Suaramu itu keras sekali. Kalau dia dengar bagaimana?”

“Biar saja,” jawab Eduardo. “Lagi pula, yang bisa mendengar kami berbicara hanya kau seorang, kan?” Eduardo kemudian merangkak ke lengan kananku dan kembali mengoceh, “Mau sampai kapan kalian berpegangan tangan?”

Aku tersentak. Ternyata sedari tadi tangan kananku masih berpegangan pada tangan wanita itu. Sontak, kulepaskan genggaman tangan itu. Anehnya, dia tidak marah. Ia malah tersenyum sambil memiringkan kepalanya, menatap Eduardo yang menempel terus di tanganku. Raut wajahnya kembali menunjukkan kekaguman saat matanya menatap lurus ke arah di belakangku, di mana di sana teman-teman hutanku sedang berkumpul, mengobrol satu sama lain. Ia berjalan pelan, mendekati mereka. Dari jauh aku bisa mendengar teman-temanku mulai takut saat ada manusia lain mendekat, tapi Eduardo sudah keburu melompat dari pundakku dan memberi tahu mereka bahwa wanita ini orang baik. Aku pun ikut mendekat ke kerumunan itu.

“Errr ..., perkenalkan, ini teman-temanku. Eduardo, Selia, Edgar, Felix, Elisa.” Aku memperkenalkan teman-temanku pada wanita asing ini, sambil mencari-cari sosok Igor dan Miki si kelinci putih. Ah, pasti mereka bersembunyi karena takut dengan manusia asing.

“Hmmm ..., sepertinya dia cocok untuk jadi kekasihmu.” kata Felix tiba-tiba, sambil menatap lurus padaku. “Lihat saja, dia sepertinya seumuran denganmu, badannya bagus, dan juga terlihat sehat.”

Aku hampir saja meninju rubah cerewet satu ini kalau aku lupa jika pembicaraan hewan-hewan ini hanya bisa didengar olehku. Tapi ternyata tak hanya Felix yang bersuara. Elisa pun mengatakan hal yang serupa.

“Dengan wajah dan senyum secantik itu, aku yakin sifatnya juga baik, cocok sekali untukmu.” Si burung putih itu mengedipkan sebelah matanya padaku, memberi semacam tanda. Aku pun hanya bisa diam sampai Selia ikut berbicara.

“Aku berani bertaruh kalau namanya juga cantik.”

Ah iya, nama. Bagaimana aku bisa lupa menanyakan soal nama? Aku ikut duduk di sampingnya sambil mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri. Wanita itu meraih uluran tanganku dan melepasnya kembali sebelum menyebutkan namanya. Ia meletakkan ransel yang dibawanya ke tanah dan mengeluarkan buku kecil dan alat tulis. Setelah menuliskan sesuatu, ia menyobek kertas dari bukunya tersebut dan memberikannya padaku. Dengan cahaya yang sangat minim, samar-samar bisa kulihat di kertas itu tertuliskan satu buah kata. Itu sebuah nama! Kertas itu bertuliskan: Sophie.

Setelah memberikan kertas itu padaku, tangannya bergerak di udara, seolah-olah menggambarkan sesuatu. Aku tidak begitu begitu mengerti apa yang ia lakukan sampai jarinya menunjuk ke telinganya dan diakhiri dengan kedua tangan yang disilangkan. Edgar si burung hantu pandai dan bijaksana ini kemudian membisikkan sesuatu, dan ternyata kesimpulan kami berdua sama. Wanita ini tak bisa mendengar. Dan ia pun mengangguk.

Sophie menggunakan bahasa isyarat dengan tangannya lagi, tapi aku hanya bisa terbengong-bengong di hadapannya. Tak butuh waktu lama sampai Sophie akhirnya menyadari kebutaanku terhadap bahasa isyarat. Ia mengambil sebuah buku dari dalam tasnya. Sebuah buku bersampul kuning dengan judul “Kamus Sistem Isyarat” terlukis besar di atasnya dan hiasan gambar beberapa bentuk isyarat tangan meyakinkan siapa pun bahwa ini adalah buku tentang bahasa isyarat.

Wanita ini membawa buku seperti ini dalam pendakian?

Sophie mengulangi lagi gerakan tangannya dengan perlahan sambil aku mencari-cari artinya di buku ini. Ini sulit. Aku hampir tak bisa membedakan sistem isyarat yang satu dengan yang lainnya. Dan pada akhirnya kututup buku itu dan menyalakan kembali senterku.

“Seterusnya, pakai senter saja ya! Lebih praktis.” Sophie tersenyum dan mengangguk setelah membaca kode dariku.

“Salam kenal! Senang bertemu kamu dan teman-temanmu,” balas Sophie, juga dengan senter. Aku mengulangi lagi perkenalanku dan juga teman-temanku di sini, mengingat saat berkenalan tadi ia tak bisa mendengar suaraku.

“Hei, kawan, kenapa tidak kau rayu saja si Sophie ini? Biarpun dia tidak sesempurna wanita lain, tapi dia terlihat cukup baik. Cocok untukmu.” Eduardo kembali berbisik di telingaku.

“Ah, sudahlah! Aku tidak biasa berada dalam keadaan seperti ini. Lagi pula, kenapa kalian tidak tidur saja? Sekarang sudah gelap kan?” Makhluk kecil yang satu ini sepertinya sudah cukup banyak tahu kehidupan manusia. Aku harus berhati-hati dalam bersikap di depan mereka nantinya.

Baru saja aku selesai berbicara dengan Eduardo, Sophie menyalakan senternya kembali sambil tertawa memperhatikanku. “Kamu aneh. Berbicara dengan hewan.”

Memang sudah biasa aku disebut aneh karena berbicara dengan hewan, tapi ketika Sophie yang mengatakan itu, rasanya ini tidak seperti biasanya. Ia seperti kagum, jadi kujelaskan saja kalau aku mencoba memahami bahasa tubuh setiap hewan untuk dapat mengerti mereka. Kujawab begitu karena aku yakin Sophie takkan percaya jika kuberi tahu bahwa aku memang bisa berkomunikasi dengan mereka.

“Eh, kamu tersesat kan? Kuantar ke pos ya. Temanmu pasti mencarimu.” Ya, tidak mungkin ia pergi sendiri. Terlalu riskan, apalagi dengan keterbatasan yang ia miliki. Aku mencoba bangkit, namun tangannya menahan tangan kiriku. Kemudian ia menggelengkan kepala.

“Aku sedang ingin sendiri,” katanya. Sophie yang sedari tadi menampakkan wajah yang ceria, seketika menjadi muram. “Mereka takkan mencariku,” tambahnya.

“Kenapa?” Sophie tertunduk dalam diam. Aku menunggu jawabannya, tapi kali ini ada jeda waktu yang cukup panjang. Apakah ada masalah dengan teman-temannya? Apakah teman-temannya memperlakukannya dengan buruk? Ataukah ia diajak mendaki dan hanya dimanfaatkan? Jangan-jangan ia sengaja ditinggalkan. Tunggu, sebelumnya Sophie menyebutkan bahwa teman-temannya takkan mencarinya, kan? Kalau dilihat dari sudut pandang lain, bisa saja mereka tidak mencari Sophie jika mereka meninggal dalam pendakian. Dibunuh? Atau jangan-jangan Sophie ini pembunuh?

Ah, lagi-lagi aku membayangkan terlalu jauh. Sebagai seorang auditor, aku memang dituntut untuk harus selalu berpikir skeptis dan memikirkan banyak kemungkinan. Hanya saja kebiasaan ini sering terbawa ke luar lingkungan kerja. Di saat pikiranku masih berada di awang-awang, Sophie sudah siap dengan senternya. Ah, semoga saja dia bukan pembunuh.Aku memohon dalam hati.

“Sahabatku .... Sejak, ia kenal dengan pria itu, aku seperti ditinggalkan. Mungkin sudah tiga bulan ini mereka saling kenal, selama itu pula kami jarang bicara. Waktu kebersamaan kami menghilang. Ia kebanyakan menghabiskan waktu bersama pacar barunya itu. Apakah lebih untung bergaul dengan yang terlahir sempurna? Aku tahu itu sejak awal, tapi semua baru terasa saat dia menjauh. Kupikir, mungkin akulah yang egois, tak mengerti keadaan. Jadi aku ingin minta maaf dan ajak dia melakukan sesuatu yang belum pernah kami lakukan ... mendaki gunung.

“Kupikir semuanya akan berjalan baik, tapi tak ada yang berubah. Seharian, ia hanya mengobrol dengan pacar dan teman yang lain ..., bercanda ..., tertawa ..., seolah-olah aku tak ada. Tadi siang, sebelum sampai di sungai, aku sengaja melambatkan langkah. Aku berada di paling belakang, aku ingin tes apakah mereka sadar kalau aku hilang. Dan ternyata yang kutakutkan benar terjadi. Mereka tak sadar. Mereka asyik bermain air sungai walau aku tak ada.

“Aku sedih .... Aku berjalan tanpa arah di hutan. Kepalaku pusing penuh pikiran. Akhirnya aku tersesat dan kau menemukanku.”

Dadaku mendadak terasa sakit saat membaca sinar dari senter Sophie. Jarang sekali ada orang yang tiba-tiba mencurahkan isi hatinya ke orang asing yang belum ada satu jam dikenalnya. Dan kebetulan aku tahu persis apa yang ia rasakan saat ini ..., karena hal itu juga pernah terjadi padaku.

“Menurutmu, aku harus bagaimana?”

Aku harus bagaimana? Pertanyaan yang sama juga pernah kulontarkan pada diriku sendiri ketika sahabatku pergi karena lebih memilih untuk bersama teman-teman barunya. Ya, sama seperti Sophie, pada waktu itu aku menjadi sangat sedih, hingga akhirnya aku tersadar pada suatu kenyataan bahwa tidak ada yang namanya teman/sahabat sejati karena pertemanan itu ada selama adanya kepentingan. Ketika kepentingan itu hilang, maka pertemanan juga akan hilang. Karena itulah aku memilih untuk menyendiri.

Contoh mudahnya adalah teman-temanku saat duduk di bangku sekolah dulu. Ya mereka memang temanku karena kami berada di kelas yang sama. Begitu naik kelas dan kelas kami diacak kembali, mereka bertemu teman baru, membuat sebuah pertemanan baru di kelas itu, sementara hubungan pertemanan di kelas sebelumnya mulai memudar karena kepentingan akan teman satu kelas—seperti membuat kelompok untuk tugas, belajar bersama, dan lainnya—telah tergantikan dengan kelas yang baru, dan hal ini terjadi pada setiap orang. Begitu pun ketika aku mulai memasuki sekolah menengah atas, dan puncaknya ada pada saat di perguruan tinggi yang lalu, di mana aku benar-benar sendirian.

Kini, saat aku sudah memperbaiki diri, memulai kehidupan yang lebih baik, banyak orang-orang yang mengaku teman lamaku datang mendekat. Mereka yang dulu dengan jijik melihatku berpenampilan berantakan—lelaki berambut panjang tak terurus layaknya preman,—diam, terkesan misterius, buruk dalam setiap pelajaran di sekolah, dan bukan seseorang yang cocok untuk dijadikan panutan—apalagi kekasih—tiba-tiba berusaha mendekat. Kenapa? Kenapa sekarang? Kenapa tidak sejak dulu saat aku masih berantakan? Tanpa harus menjadi auditor yang selalu berpikiran skeptis pun aku sudah menduga kalau mereka datang karena adanya kepentingan tertentu. Meminta pertolongan? Uang? Atau hanya sekadar mengobrol? Ya, bahkan orang yang tidak pernah ada kabarnya sama sekali tiba-tiba menghubungi dan menanyakan kabar mungkin saja karena dia sedang jenuh dan mencari seseorang untuk diajak mengobrol. Itu juga sebuah kepentingan, bukan? Ya, kepentingan untuk mencari teman mengobrol. Karena itulah kepercayaanku pada orang lain memudar dan sekarang aku lebih memilih untuk berteman dengan para hewan yang polos dan tak termakan nafsu dunia.

Aku yakin pikiranku ini bisa jadi jawaban yang tepat untuk permasalahan Sophie, toh apa yang kami alami tidaklah jauh berbeda. Tapi pikiran ini juga tak mungkin kuberikan pada Sophie. Nanti aku hanya akan membuatnya semakin depresi. Meskipun apa yang kami alami sebenarnya sama, tapi sebenarnya ada satu hal yang belum terlambat untuk dilakukan Sophie. Semoga saja ini berguna untuknya.

“Yang bisa kusarankan, jangan dipikirkan apakah dia menganggapmu sahabat atau bukan, yang penting perlakuanmu padanya. Kalau kau merasa dia sahabatmu, berikanlah yang terbaik untuknya. Ini tak hanya berlaku untuk sahabatmu itu, tapi juga semua orang yang kauanggap teman. Perlakukan mereka sebagai sahabatmu, nanti kau sendiri akan menemukan siapa yang benar-benar teman sejatimu dan siapa yang hanya memanfaatkanmu di saat kau berada di sisi atas roda kehidupan tapi menghilang saat kaujatuh.”

Jujur, aku tak sadar apa yang merasukiku sampai bisa menyampaikan hal itu. Begitu selesai, aku baru tersadar kalau apa yang kukatakan barusan itu cukup keren dan patut untuk dicoba, tapi sayangnya aku keras kepala dan tak mudah untuk dimotivasi dengan kalimat-kalimat semacam itu, apalagi karena itu muncul dengan sendirinya di kepalaku. Tapi, setidaknya aku berharap jawaban itu bisa menyelesaikan masalahnya.

“Hapus air matamu.” Kusodorkan saputangan dari saku jaket yang warnanya senada dengan tas gunungku saat kulihat air mata menitik dari sebelah mata Sophie. Sophie meraih saputanganku dan mengusap matanya yang berair, setelah itu ia menghadapku, tersenyum, sambil menggerakkan bibirnya, mengucapkan sesuatu tanpa bersuara. Gerak bibir itu sekilas terlihat seperti mengucapkan kata “terima kasih”. Meski tak sepenuhnya yakin, aku tetap membalasnya dengan senter. “Sama-sama.”

~ *** ~

“Bintangnya bagus ya? Ada banyak kunang-kunang pula. Ini sungguh indah!” Sepertinya berjam-jam sudah kami duduk dalam keheningan di pinggir tebing ini, ditemani suasana malam yang takkan pernah terasa sama dengan malam-malam lain yang kuhabiskan di tengah kota. Meski suasananya sepi, tapi obrolan kami sama sekali tidak berhenti. Kami terus bercerita satu sama lain melalui sinar dari lampu senter. Kalau saja aku mengerti dan hafal bahasa isyarat, kami tak perlu mengobrol panjang dengan kode morse yang melelahkan ini. Menekan tombol pada lampu senter berkali-kali membuat sebuah lekukan tercipta di jempolku. Lagi pula tak pernah terlintas dalam pikiranku kalau suatu saat aku akan bertemu dengan orang tunarungu seperti ini, meski aku pernah belajar huruf braille untuk berjaga-jaga jika suatu saat aku menjadi tunanetra.

“Begitulah. Ini tempat favoritku. Karena tempatnya jauh dari rute pendakian, aku bisa menyendiri tanpa ada gangguan. Kau harus lihat sewaktu pagi nanti. Kau bisa lihat sisi pantai yang sangat indah dari sini. Bisa dilihat dari puncak juga, tapi rasanya beda karena dari sini sudutnya lebih bagus.”

“Eh, aku boleh tanya? Kenapa mendaki sendiri? Temanmu di mana?”

“Tidak ada,” jawabku singkat dan diselingi jeda yang agak lama, sambil memikirkan alasan apa yang cocok untuk mendukung jawabanku tadi. “Aku penyendiri, kebetulan rekan kerja di kantor tak ada yang suka mendaki gunung.”

Aku memang petualang yang penyendiri, tapi bukan berarti aku tak pernah pergi bersama orang lain. Kalau kebetulan ada kenalan lama yang mengajakku bepergian, tentu aku terima, karena bagaimanapun juga, pergi bersama orang lain bisa mengurangi biaya perjalanan.

Dari sudut mata, kulihat Sophie menguap lebar. Tanpa terasa hari sudah semakin larut malam, tapi mataku belum juga mengantuk. “Kau tidur saja. Besok pagi, secepatnya, kutemani kau ke pos. Aku yakin sahabatmu itu pasti khawatir.”

“Oke! Tapi boleh nih pinjam kantong tidurmu ini? Kau tidak kedinginan?”

“Tidak apa, teman besarku ini sangat hangat, aku takkan kedinginan,” kumainkan senter sambil menunjuk pada Igor yang meringkuk di belakangku.

Saat Sophie menyebutkan bahwa ia tidak punya kantong tidur dan tendanya dibawa oleh sahabatnya, aku tak enak hati membiarkannya tidur kedinginan. Susah juga nanti kalau ia sampai hipotermia. Karena itu, kupinjamkan ia kantong tidurku, sementara aku memanggil Igor—yang sejak tadi bersembunyi di balik pohon—dan memintanya untuk menjadi kasur hangatku malam ini. Jika ia tidur meringkuk, aku bisa bersandar di perutnya. Bulu cokelat tebalnya itu sangat lembut dan hangat, jadi aku tak perlu khawatir soal udara dingin malam ini.

Setelah mengucapkan “selamat tidur!” Sophie mematikan senternya dan menarik ritsleting pada kantong tidur hingga menutupi seluruh badannya. Sementara itu, aku bersandar pada Igor, menatap kosong langit malam yang bersinarkan rembulan dan bertabur bintang, bebas tanpa terhalang oleh awan sama sekali. Mataku belum terasa berat, tapi juga tak tahu mau berbuat apa selain merenung.

“Tak bisa tidur?”

Itu suara Edgar. Ia terbang dari salah satu pohon dan bertengger di atas tubuh Igor, dekat dengan kepalaku. Aku menoleh sedikit sebelum kembali menatap langit. Ia mendekatiku seperti bisa membaca pikiranku saat ini. “Iya,” jawabku dengan pelan, tak ingin mengganggu tidur Sophie.

“Kalau ada yang ingin kauutarakan, katakan saja. Kau tak perlu khawatir rahasiamu bocor.” Aku tertawa pelan menanggapinya. Jelas saja tak akan bocor, memangnya mau dibocorkan ke siapa?

“Aku hanya iri pada Sophie. Meski dia saat ini merasa ditinggalkan, tapi setidaknya dia masih punya teman dekat. Sudah lama aku tak mempunyai sahabat seperti itu. Apa yang kukatakan pada Sophie tadi ..., itulah yang tidak kulakukan dulu. Saat sahabatku pergi, aku sedih ..., murung ..., hingga aku sampai pada sebuah kesimpulan. Sejak saat itu, aku selalu beranggapan bahwa tak ada yang namanya ‘teman sejati’ di dunia ini. Keras kepala memang, tapi sejauh ini teoriku ini terbukti, dan aku akan selalu berpikir begitu sampai kutemukan satu orang yang bisa membuktikan bahwa pendapatku itu salah.” Yah ... sayangnya dalam kurun waktu sepuluh tahun ini tak kujumpai satu pun orang yang seperti itu.

“Ada satu hal yang ingin kutanyakan padamu.” Aku menoleh ke Edgar. Mata bulat khas burung hantu itu tak bergerak, memandang lurus ke arah Sophie yang terlelap di dalam kantong tidur. “Bagaimana kau bisa menemukan teman sejatimu kalau kau sendiri tak mulai mencarinya?”

Deg! Pertanyaan sederhana Edgar tadi seolah-olah menusuk ke dalam jantungku. Aku tak pernah mencoba mencari .... Ya, aku tak pernah mencari! Selama ini aku terjebak dalam teoriku sendiri, mengharapkan sesuatu yang sebenarnya mungkin, tapi terlalu pasif dan keras kepala. Aku malah melarikan diri. Dan sekarang kepalaku pening, tak bisa berpikir. Barulah kini mataku mulai terasa berat. Ah, biar kupikirkan lagi besok.

~ *** ~

“Sophie!”

Suara teriakan itu membahana di telingaku. Setelah semalaman kami mengobrol dalam diam dan teman-temanku sudah banyak yang tertidur, suara teriakan di pagi ini seolah-olah telah membuka gendang telingaku yang tertutup kotoran telinga.

Pagi setelah Sophie terbangun dari tidurnya, aku langsung mengantarkannya ke pos terdekat. Kalau ternyata rombongan Sophie adalah sekelompok orang di sungai kemarin siang, kemarin mereka pasti bermalam di pos ini. Dan dugaanku itu tepat sekali. Sebelum berangkat, aku meminta temanku yang bisa terbang, Elisa, untuk pergi ke pos dan mengecek keadaan. Di sana hanya tersisa satu kelompok pendaki, karena pendaki yang lain pasti sudah berangkat lebih pagi, bahkan sudah berangkat sejak subuh agar bisa melihat matahari terbit. Kalau ada kelompok pendaki yang melewatkan hal itu, kemungkinan karena temannya belum bangun atau menghilang.

Salah seorang dari mereka—perempuan—berteriak histeris dan berlari ke arah Sophie. Aku membaca ekspresi perempuan itu. Sophie tak perlu khawatir akan kehilangan sahabatnya karena teriakan dan air mata itu tidak terlihat seperti ekspresi yang palsu. Setelah wanita itu berlari, teman-temannya yang lain ikut menghampiri Sophie yang berdiri dalam diam. Setelah itu aku tak tahu apa yang mereka sampaikan melalui bahasa isyarat. Tampaknya tugasku di sini telah selesai. Aku membalikkan badan, hendak pergi, tapi Eduardo menggigit telingaku.

“Aww! Kau ini kenapa sih? Sejak kapan kau mengikutiku? Kau menyelinap di dalam tasku lagi ya?” Aku menggaruk-garuk telinga kananku yang gatal setelah digigit teman kecilku ini.

“Kau mau pergi ke mana? Aku sengaja mengikutimu karena aku ingin tahu bagaimana kisah ini berakhir, dan kau malah mau pergi begitu saja?” kata Eduardo sambil merangkak ke atas kepalaku.

“Ini sudah berakhir kan? Sophie tersesat, aku mengantarkannya, dan ia bertemu kembali dengan teman-temannya. Memangnya kau mengharapkan apa lagi?”

“Kenapa tidak ada pelukan dan ciuman seperti pendaki-pendaki lain yang pernah kutemui?”

Aku tidak mengerti apakah tupai ini terlalu polos atau terlewat pintar. Tapi, karena dia tak dibekali otak yang seperti manusia, aku bisa memakluminya. “Kalau kau mau ciuman, kenapa tidak kau saja yang pergi dan mencium dia?”

“Ah, kau ini tidak bisa diajak bercanda ya? Itu kan hanya perumpamaan.” Oke, ternyata tupai ini pintar, dan aku jadi terlihat bodoh di depannya. “Aku tahu kau tak punya banyak teman, karena itu kan kau mau berteman dengan kami? Nah, sekarang adalah kesempatan bagus yang sayang untuk dilewatkan. Ada orang yang bisa jadi teman terbaikmu—atau bahkan kekasih—tapi kau malah mau pergi begitu saja. Belum tentu kesempatan seperti ini akan datang lagi di kemudian hari.”

Aku diceramahi oleh seekor tupai terbang. Tapi, aku jadi teringat apa yang dikatakan Edgar semalam. Kau takkan pernah menemukan teman sejatimu kalau kau tak berusaha mencarinya. Memang benar apa yang dikatakan burung hantu itu semalam. Selama ini aku terlalu keras kepala sampai melupakan satu hal yang sangat penting: memulai. Hanya berdiam diri dan menunggu tentu takkan ada hasilnya. Para penemu di zaman dahulu juga kalau tak mencoba sesuatu, mereka takkan bisa menghasilkan penemuan yang berguna bagi kita semua yang hidup di masa setelahnya, bukan?

Kupikir itulah jawaban dari pikiran bodoh ini. Di saat aku masih berkutat dengan pikiranku, sebuah tangan menepuk pundak kananku. Aku membalikkan badan, dan di sana kutemukan Sophie berdiri dengan senyuman lebar di wajahnya. Ia memberikanku selembar kertas dengan beberapa kata tertulis di atasnya.

“Ayo kita ke puncak sama-sama. Pasti sepi kalau pergi sendirian.”

Aku hampir menurunkan tas gunungku untuk mengambil senter, tapi aku teringat bahwa di pagi ini cahaya senter takkan banyak membantu, karena itulah Sophie menggunakan media kertas. Ia menyerahkan pulpen hitam di tangannya padaku.

Sebelum menulis jawabanku di kertas, kalimat-kalimat Edgar dan Eduardo terlintas silih berganti di kepalaku, dan dengan singkat kujawab, “Maaf, tapi besok aku harus segera kembali bekerja di kota.”

Jawabanku tadi sepertinya menurunkan keceriaan di wajah Sophie, tapi dengan cepat warna muka itu kembali berubah seiring dengan tinta hitam yang mengalir di atas kertas.

“Aku masih ingin mengenalmu lebih lanjut. Setelah ini maukah kau bertemu denganku lagi? Kutunggu panggilanmu, ya!”

Di bawah kalimat itu tertera sederetan nomor—nomor telepon! Saat membacanya, tanpa sadar aku tersenyum. Rasanya aku bisa merasakan Edgar yang tersenyum menatapku dari kejauhan karena ia tahu keputusan apa yang akan kuambil kali ini.

Sophie menggunakan bahasa isyarat kepadaku. Meski aku tak tahu apa yang ia maksudkan, tapi ia yakin aku mengerti. Itu sebuah isyarat untuk ucapan “terima kasih.” Aku mengikuti gerakan yang ia lakukan tadi sebelum ia berbalik dan mengikuti teman-temannya menuju puncak gunung.

Sepertinya, pada akhirnya, aku memang benar-benar menemukanmu. Aku hanya perlu memulai untuk percaya pada sesuatu yang menjadi musuhku sejak lama. Dan tampaknya aku perlu belajar bahasa isyarat. Harus!

~ *** ~

Fin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun