Cerpen ini ditulis oleh Muhammad Ali, penulis kelahiran Surabaya, 23 April 1927, yang karyanya antara lain 5 Tragedi (1954), Persetujuan dengan Iblis (1955), Dua Drama (1966), Buku Harian Seorang Penganggur (1976), Ibu Kita Raminten (1982), Sastra dan Manusia (1986). Cerpen ini termasuk dalam kumpulan cerpen Kumpulan Cerpen Gerhana karya Muhammad Ali. Jakarta, 1996, Penerbit Pustaka Utama Grafiti. Menjadi kontroversial karena dilampirkan dalam buku Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan Kelas VII, terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Buku wajib untuk pelajaran bahasa indonesia SMP kelas 7 seluruh Indonesia! Kontroversi ini, pertama kali saya temukan di http://news.detik.com/read/2013/08/31/150447/2345948/10/buku-bahasa-indonesia-smp-berisi-kalimat-tak-pantas-beredar-di-garut?nd772204btr. Saya membaca cerpen ini tidak dari buku kumpulan cerpen tersebut secara langsung namun pada lampiran buku Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan.
Judulnya Gerhana. Namun di keseluruhan karangan tidak menceritakan mengenai gerhana sama sekalai. Bahkan, kata gerhana hanya muncul satu kali yaitu di judulnya tersebut. Justru cerpen ini mengisahkan seseorang bernama Sali yang mati karena pohon pepayanya ditebang orang. Saya tidak tahu apakah cerpen ini benar-benar berjudul Gerhana atau karena diambil dari Kumpulan Cerpen Gerhana. Yang jelas judul dan isinya tidak nyambung.
Mengenai jalannya cerita, banyak hal terlalu dilebih-lebihkan. Misalnya, bagaimana penulis mengumpamakan pohon pepaya yang ditebang sebagai manusia yang dibacok, digorok .... , pepaya yang pecah serupa "tempurung kepala bayi-bayi yang remuk ditimpa penggada raksasa..." dan "Getahnya yang meleleh menetes-netes, di matanya persis darah segar kental, mengingatkannya pada cerita-cerita penyembelihan yang mengerikan" Betapa mengerikan! Terutama buat anak seusia SMP Kelas 1.
Alur cerita juga tidak logis. Bagaimana seseorang bisa sedemikan marah dan kecewa karena pohon pepayanya ditebang orang. Bagaimana dia bisa membawa ke kelurahan, kecamatan dan kantor polisi sebatang pohon pepaya lengkap dengan daun dan buahnya yang masih menempel di situ. Bagaimana aparat kepolisian bisa membentak seseorang dengan kata-kata yang tidak pantas ... di buku resmi milik negara lho! Bagaimana seorang perempuan (istri Sali) bisa menebang pepaya malam-malam sendirian ... dengan alasan "...karena anak-anak sering memanjatnya.."
(He he he... saya curiga penulis cerpen ini tidak tahu bagaimana pohon pepaya. Atau .... waktu kecil alim dan tidak nakal. Sebagai anak nakal, yang suka mencuri buah tetangga, kita pasti tahu bahwa pepaya bukanlah favorit kita. Lebih baik jambu, jambu biji, belimbing, rambutan ..... bahkan kersen lebih favorit dibanding pepaya. Memanjat pohonnya? Amit-amit deh ... Licin, tidak bercabang, gampang patah, bergetah, getahnya bau dan kalau kena baju susah hilangnya.)
Mengenai pemilihan kata, ini yang paling membuat kontrovesi. Berikut ini cuplikannya kalimat yang diucapkan Pak Polisi tanpa alasan jelas:
“Bangsat! Kurang ajar! Bajingan! Sambar geledek lu! Kiramu aku pokrol bambumukah? Ini adalah tempat paling sopan di muka bumi. Dan sekali-kali bukan tempat untuk mengadukan hal yang bukan-bukan. Yoh, lekas angkat kakimu dari tempat ini. Nyah, nyahlah kau selekasnya dari sini sebelum kutembak mati....”
(Pelajaran yang bagus buat anak-anak seusia SMP Kelas 1! .... untuk menjadi preman! .... atau pengacara ...... he he he).
Beberapa kata juga terdengar aneh. Seperti ngosel .... entah apa artinya dan dari bahasa apa.
Secara umum, cerpen ini tidak bermutu dan tidak menarik sama sekali. Minimal menurut saya. Jauh lebih bermutu cerpen yang dimuat di Kompas Minggu. Pertanyaannya adalah, mengapa dilampirkan dalam buku resmi negara ...... untuk anak-anak kita? Masa depan kita?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H