Mohon tunggu...
Agung Digung
Agung Digung Mohon Tunggu... -

None

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Komite Sekolah vs BP3 Bag. 1

1 Agustus 2013   16:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:44 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Note: Bagian Pertama sebelumnya dihapus mas momod karena selangnya kurang dari satu jam. Jadi saya posting lagi.



Bagian Pertama

Saya masuk SMP tahun 1984. Waktu itu karena kondisi keuangan keluarga yang sedang krisis, impian saya untuk masuk SMP swasta favorit (jaman dulu, tidak seperti sekarang, SMP favorit kebanyakan swasta) mesti kandas. Sebagai gambaran, untuk masuk ke SMP favorit saya itu setidaknya perlu RP 20.000,- s.d. Rp 35.000,- sebagai uang gedung dan SPP kelas 1 minimal Rp 1.000,- Karena itu saya mendaftar ke sekolah negeri paling top di kota kami. Dalam bayangan orangtua, sekolah negeri bebas uang masuk dan SPP yang ringan serta kemungkinan mendapat bebas SPP karena ayah saya seorang veteran perang yang tergabung dalam LVRI.

Jadi, singkat cerita, masuklah saya di SMP negeri tersebut. Awalnya tidak ada uang masuk. SPP juga ditetapkan sebesar Rp 700,-, lebih murah dari minimal SPP SMP swasta favorit saya. Namun, belum sebulan saya sekolah, ada undangan untuk orangtua saya dalam rangka rapat orangtua murid dengan BP3. Mahkluk apakah BP3 itu saya tidak tahu. Kepanjangannya pun saya tidak tahu. Sampai sekarang.

Sepulang dari rapat itu, ayah saya marah-marah..... "Aku ini orangnya negara ... puluhan tahun berbakti pada negara. Sekarang menyekolahkan anakku di sekolahan punya negara pun disuruh bayar ....." Ributlah suasana rumah saat itu. Selidik punya selidik, ternyata hasil rapat (Note: Sebenarnya bukan rapat tapi cuma pemberitahuan saja. Istilah sekarang sosialisasi. Hasil akhirnya sudah diputuskan beberapa hari sebelumnya.) mengharuskan setiap siswa harus menyumbang Rp 25.000,- untuk pembangunan tempat ibadah. Dan, iuran BP3 ditetapkan sebesar Rp 750,- setiap bulannya.

Walah Mak! Jadi pakai uang gedung juga toh? Dan tiap bulan harus bayar SPP Rp 700,- + BP3 Rp 750,- = Rp 1.450,-. Jauh lebih mahal dari SPP SMP swasta favorit saya.

Ayah saya memutuskan tidak akan membayar uang gedung tersebut. Dan untuk memperingan biaya, saya mengajukan bebas iuran dengan status anak veteran. Setelah montang-manting ke sana-sini, akhirnya dapat persetujuan bebas biaya ... SPP. Aneh sekali iuran SPP bebas tetapi iuran BP3 tetap harus bayar. Apa boleh buat. Orang kecil seperti kami tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikutinya.

Akhirnya saya menjalani proses belajar mengajar di sekolah tersebut. Setelah hampir tiga tahun, beberapa bulan menjelang EBTANAS, Kepala Sekolah memanggil saya. Di Ruangan Kepsek, saya dimarahi, dituduh menggelapkan uang pemberian orangtua untuk Sumbangan BP3 yg Rp 25.000,- itu. Saya tidak suka sama sekali dituduh seperti itu. Sepulang sekolah saya lapor ke ayah saya. Paginya Ayah saya menemui Kepala Sekolah di ruangannya. Ayah saya marah-marah kepada Kepala Seolah tersebut dan tanpa memberi kesempatan Kepala Sekolah, ayah saya meninggalkan uang Rp 5.000,- di meja Kepala Sekolah dan pulang. Untunglah insiden itu tidak berpengaruh dalam proses belajar mengajar saya. Saya tetap dapat mengikuti ujian dan lulus dari SMP negeri tersebut.

Mengenai BP3, sepanjang saya sekolah di situ, tidak sekali pun saya pernah melihatnya. Seperti hantu yang tidak kelihatan. Tidak ada kantornya, tidak ada pula batang hidungnya. Hanya uang saja yang dia sedot setiap bulan dari kantong kami yang sudah kering. Kelas dua, iurang BP3 sebesar Rp 800,- /bulan dan kelas tiga Rp 850,-/bulan. Naik Rp 50,- tiap tahunnya. Hasil kerjanya apa? Tidak usah ditanyakan. Wong penampakannya saja tidak pernah kelihatan. Siapa anggotanya, siapa ketuanya dan bagaimana rupa wajahnya. Saya tidak pernah tahu.

Mengenai ruang ibadah yang menjadi tujuan sumbangan BP3 itu? Sampai dengan saya lulus, tidak satu pun batu diletakkan untuk memmulai pembangunan ....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun