Seks di Timur dimaknai sebagai keindahan. Ia, seks itu, dipelajari untuk diperoleh keabadian keindahan itu. Dengan demikian bisa jadi cara memperoleh pengetahuan di Timur nampak absurd. Seks yang demikian terselubung di antara mitos-mitos yang terus diproduksi dan bahkan kadang terasa konyol:
“…Kaisar Shih Tsung dan Kaisar Kuan Tsung di zaman Dinasti Ming, mati karena menenggak ramuan untuk membuatnya ereksi. Kemudian Kaisar Mu Tsung di zaman dinasti yang sama, malah ereksi berhari-hari setelah meminum ramuan untuk ‘kesehatan’-nya itu. Akibat ereksinya yang demikian lama maka sang kaisar pun terpaksa mengurung diri di kamar.”
Kita bisa bayangkan betapa kasihannya kaisar Mu Tsung karena obsesinya pada keindahan abadi. Ia korban dari malapraktik para tabibnya. Dan sampai kini obat-obat kuat ala Cina itu sampai juga di Indonesia: ada banyak korban dari sebuah mitos tentang seksualitas.
Perkara seks ini masih belanjut dalam Perempuan Bernama Arjuna 2. Dalam novel keduanya ini Remy memaparkan bagaimana seks di Timur adalah bagian dari rasa keindahan dan cinta. Hal ini nampak bagaimana orang Timur mengekspresikan seks dengan bahasa yang seharusnya sopan dan lembut.
“…istilah xiang jiao (bersetubuh) kadarnya lebih sopan, terhormat, beradab, dan berbudaya, ketimbang sejumlah kata yang dipakai secara lisan oleh banyak orang Indonesia di pelbagai kota antero negeri. Kata-kata yang dipakai lisan oleh orang-orang Indonesia tersebut mengarah pada bahasa sosial yang justru tidak sosial dan bahkan kasar dan primitif serta lepas dari isyarat-isyarat objektif etika.Taruh misalnya di Bandung sini, istilah itu disebut ‘ngewe’. Di Surabaya disebut ‘ngencuk’. Di Makassar disebut ‘gandrang’. Di Manado disebut ‘cuki’. Di Jakarta disebut ‘ngentot’.” (hlm. 17)
Seks dalam ungkapan orang Indonesia seperti itu, menurut Remy:
“..memperjelas sifat kesemena-menaan dan bahkan kekurangajaran yang entah hewan entah setan dalam naluri lelaki, menjadikan perempuan sebagai objek pelampiasan nafsu seksnya” (hlm. 2)
Ungkapan kebahasaam soal seks di Indonesia dipengaruhi oleh sopansantun dan agama-agama samawi yang bermuasal dari budaya Semit di mana lelaki berifat patriarkal yang mengakibatkan perempaun menjadi second sex atau “kanca wingking” dalam pengetahuan Jawa.
Tapi posisi perempuan yang demikian, menurut, Remy sifatnya kodrati:
“…perempuan tidak pernah menjadi sempurna sebagai wanita tanpa hadirnya seorang lelaki dalam hidupnya. Saya sadar, adanya seorang lelaki dalam hidup perempuan, akan membuat wanita menjadi istri, menjadi nyonya, menjadi ibu, meneteki anak setelah lebih dulu diteteki suami.” (hlm, 23).
Batasan moralitas dan akal sehat yang tidak boleh dilakukan adalah ketika lelaki sebagai subyek yang menjadikan perempuan sebagai obyek.