Mohon tunggu...
Anggi
Anggi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa stiem Bongaya Makassar semester lima
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Ingin menjadi org berguna bagi banyak orang dan berbakti pada kedua org tua

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

K13 dan Kurikulum Merdeka Mentok karena Mengabaikan PISA

9 Februari 2024   16:41 Diperbarui: 9 Februari 2024   17:47 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Hasil  penelitian Programe for International Student Assesment (PISA) tahun 2022 yang diumumkan  tanggal 5 Desember 2023 lalu yang dirilis oleh "Media Indonesia" pada tanggal 18 Desember 2023. Assesment yang dilaksanakan Organisation Economic Council Development (OECD) di tingkat internasional dan diikuti 81 negara. Indonesia berasa di peringkat 68 dengan skor: matematika (379), sains (398), dan membaca(371) . 

Negara yang bergabung sebagai anggota OECD sebanyak 81 dilakukan tes PISA setiap 3 tahun sekali, Indonesia mulai tahun 2009 pada usia peserta didik 15 tahun, sekitar kelas x SMA. PISA 2021 tertunda karena pandemi Covid 19, jadi dilaksanakan tahun 2022 yang merupakan hasil terbaru saat ini di negara kita. 

OECD tidak mementingkan peringkat nilai tes tetapi yang diutamakan adalah skor nilai yang menjadi standar ambang batas yaitu nilai skor 400 untuk tiap bidang yaitu literasi ( membaca) , matematika dan sains. Selain skor juga diutamakan adalah level, level tertinggi yaitu level 7 , mengenai level anak sekolah Indonesia hasil PISA 2022  levelnya 2-3 level terendah. 

PISA ini tidak semata - mata hanya mengukur kemampuan siswa namun lebih kepada pengembangan sistem pendidikan di setiap negara dengan mengadaptasi kurikulumnya terlebih dahulu sebelum penelitian dilakukan. Arahan PISA buat pendidikan di Indonesia adalah memfokuskan kepada peningkatan kompetensi guru secara berkesinambungan agar pendekatan dan metode ajar yang dilakukan guru bisa meningkatkan daya kritis, pemecahan masalah dan mampu berpikir tingkat tinggi (HITS). Tetapi Kemdikbud ristek mengabaikan itu semua sehingga menciptakan kurikulum Merdeka sebagai prototipe dengan langsung menerapkan aplikasi Merdeka Belajar atau dikenal PMM sekarang. 

Guru saat diterapkan begitu saja tanpa ada sosialisasi atau diklat, bimtek merasakan beban yg mengganggu tugas utama sebagai pengajar dan mendidik. 

K. Merdeka juga ini terlalu berbelit dan hanya membuat istilah baru pada desain pembelajaran yang sebenarnya sudah ada pada K 13 yang belum dikuasai secara optimal oleh semua guru, karenan kurangnya pelatihan, hanya mengandalkan guru penggerak dan sekolah penggerak akhirnya pelaksanaannya mentok karena terasa menjadi beban aplikasi yang oleh sebahagian guru dianggap rumit sebab mereka masih banyak gaptek, sementara banyak aplikasi online yang digunakan masih dipelajari secara mandiri. 

Sebaiknya Kemdikbud ristek tetap saja  pada K 13 yang dioptimalkan dengan aplikasi online jika memang dibutuhkan. Jangan setiap ganti menteri ganti kurikulum juga, gurunya yang pusing hingga tidak mampu lagi laksanakan tugasnya sebagai guru. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun