Mohon tunggu...
Agung Sw
Agung Sw Mohon Tunggu... lainnya -

membaca,menulis dan menggambar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jokowi Punya Teman yang Terus Diobok-obok

4 September 2013   20:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:21 751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PERSEKONGKOLAN Ahok dan Jokowi tergolong unik dan cepat. Bagaimana tidak? Mereka dipertemukan seperti perjodohan kilat, dan mesti segera menikah. Hal-hal yang mengenai perjodohan dikerjakan dengan cara (tak terlalu) seksama dan meski dalam tempo seingkat-singkatnya.

Majalah Tempo, sempat kecolongan, karena tak memuat Joko Widodo sebagai calon gubernur DKI Jakarta, dan praktis tanpa Basuki Tjahja Purnama. Kenapa bisa? Sebagai Majalah Berita Mingguan yang deadline akhir pekan, sudah “mendapat bocoran” siapa-siapa yang akan maju dalam Pilkada Gubernur DKI Jakarta. Namun di saat majalah naik cetak, saat-saat itu terjadi pergantian politik cepat di kepala para elite Partai PDI Perjuangan dan Gerindra. Yakni dengan Joko Widodo dimajukan untuk berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama.

Perang memanas ketika memasuki putaran kedua, pasangan Jokowi-Ahok melawan Foke-Nara. Dan kadang kuping terasa panas, termasuk oleh awak media tertentu yang ngeblok ke pasangan incumbent. “Apa jadinya Jakarta dipimpin Ahok. Jokowinya sih nggak apa-apa.” Aneh. Jokowi-Ahok pasangan sah didaftarkan ke KPU DKI Jakarta, dan mana mungkin dipisahkan?

Aroma Ahok sebagai minoritas, jelas sasaran empuk begitu pasangan ini menang, dan mulai menjalankan tugas. Karena bibit-bibit tak sehat dimuncratkan oleh mereka – jauh sebelum pasangan Jokowi-Ahok menang – seperti  Nara saat “debat terbuka” yang disiarkan TV secara langsung  dengan sapaan, “Hayya …Ahok!”

Sebagai teman, Jokowi, dalam hal seperti itu jelas tidak bisa banyak berbuat. Namun ia akan mendukung apabila sisihannya itu telah bekerja dengan baik, namun masih saja dipersalahkan. Semisal sehabis acara Rapat Kerja Ahok dengan para pimpinan di Dinas Pekerjaan Umum, karena acara itu menggegerkan setelah diunggah ke You Tube. Sehingga Ahok dianggap arogan. “Ya, ndak apa-apa. Bagus toh? Biar masyarakat luas tahu,” tutur Jokowi kepada wartawan yang meminta pendapatnya.

Jokowi dan Ahok berbeda cara. Namun ada kesamaan yang cukup hakiki, yakni suka  transparansi. Ini yang kerap dianggap kebablasan dari mereka yang suka sembunyi-sembunyi alias main belakang. Sehingga klop keduanya meluncurkan pajak secara online. Di sinilah keunggulannya, dan bahkan dipuji oleh Faisal Basri ekonom yang sekaligus mantan Cagub DKI Jakarta jalur independent, “Baru kali ini saya dengan mudah dapatkan APBD yang terinci. Warga Jakarta mayoritas bakal mendukung kalau memang orientasinya kepentingan publik.”

Dan yang tak boleh dilupakan, Ahok belajar di Manajemen, Jakarta. Artinya, ia bekerja dengan parameter yang terukur. Bukan seperti tuduhan mereka yang tak suka hingga kelewatan kesannya, “Ahok perlu diperiksa ke psikiater.”

Lagi-lagi, dalam hal seperti ini, Jokowi tak bisa membela temannya yang satu ini. Karena harus dengan cara bagaimana? Meski di luar sepengetahuan media yang sering menguntit kedua news maker ini, Jokowi menghiburnya. Walau, Ahok tetap dengan gayanya yang lebih meledak-ledak dibandingkan lelaki asal Solo ini yang lebih low profile – padahal suka Mettalica, group musik sangar.

Ahok, memang menjadi sasaran empuk, ketika Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta yang bisa lebih diterima orang kebanyakan. Meski bukan berarti sebagai Wakil Gubernur dimusuhi secara mutlak, kecuali bagi kalangan yang merasa dirugikan. Baik langsung maupun tidak langsung. Di samping sebagai etnis minoritas dan non-Muslim.

Jika pasangan ini “awet”, tepatnya kompak, karena mereka punya niatan yang sama. Bekerja, walau dengan cara harus menghadapi pihak-pihak yang kadang kelewat sulit untuk dinalar. Kalau tak ingin disebut dengan cara bukan orang yang hidup di Jakarta yang mestinya sebagai ibukota Negara sebagai parameter modernitas negeri ini.

Persekongkolan Jokowi-Ahok, hingga hampir setahun ini sudah teruji. Setidaknya, tetap kompak dan sudah cukup lumayan menghasilkan “sesuatu”. Dan itu tak bisa dinafikan begitu saja, termasuk peran teman Jokowi yang terus diobok-obok. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun