Mohon tunggu...
Agung Sw
Agung Sw Mohon Tunggu... lainnya -

membaca,menulis dan menggambar

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

[FFA] Sepatu Kemenangan

20 Oktober 2013   17:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:16 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh  Agung SW

No.250

MUSIM penghujan. Jalan menuju sekolah pun selalu becek. Maka pemandangan anak-anak menenteng sepasang sepatunya ke SD Pekunden pun tak bisa dihindari. Mereka akan ditegur oleh Guru Kelas, bila lantai ruangan kotor. Bahkan ada yang lebih marah. Yaitu teman-teman yang diberi tugas membersihkan ruang kelas.

Tugas anak-anak membersihkan dengan menyapu lantai, masih berlaku di SD terkenal kebersihannya itu.  Dua orang anak, membersihkan lantai dan papan tulis. Juga meja guru yang harus dilapisi tamplak meja yang dibawa salah seorang anak yang bertugas hari itu.

Banto, salah seorang anak yang kerap membawa kotoran tanah. Jalan dari rumah ke sekolah, paling becek di antara jalan yang dilalui teman lain. Dan ia yang kali ini hampir terlambat, mengotori lantai. Ditegur.

“Jangan masuk dulu, Banto!” tegur Kurdi yang hari itu bertugas membersihkan ruang kelas.

Saat itu, muncul Pak Rustam. Guru berkumis itu pun membenarkan kata-kata Kurdi. “Bersihkan dulu, sebelum masuk,” katanya.

Kurdi tampak senang mendapat dukungan Pak Rustam.

Pelajaran hingga jam istirahat, berlangsung lancar. Namun saat akan ke luar ruang kelas, Kurdi mengejek Banto yang selalu bersepatu kotor selama musim penghujan.

“Makanya, sepatumu harus dua. Itu kalau tidak ingin menyusahkan teman yang sedang bertugas membersihkan ruang kelas,” sindir Kurdi.

Banto yang pendiam, tak menyahut. Ia meninggalkan Kurdi.

“Haaaiii … diajak ngomong kok ngeloyor saja!” seru Kurdi yang dikenal suka meremehkan teman-teman.

“Maumu apa sih, Kur?” Banto menjawab, tenang. “Aku bisa ke sekolah dengan sepatu lebih bersih daripada sepatumu.”

Kurdi garuk-garuk kepala. Namun ia menjentikkan jarinya.

“Benarkah?”

“Ya!”

“Kalau begitu, kita berlomba saja.”

“Berlomba bagaimana?” Banto mengernyitkan kening.

“Siapa yang sampai di sekolah dan sepatunya lebih bersih, dia yang menang. Sedangkan yang kalah, seminggu berturut-turut membersihkan ruang kelas?”

Perlombaan aneh itu segera menarik perhatian anak-anak kelas lima SD Pekunden. Mereka yang akan menjadi saksi persaingan antara Kurdi dan Banto.

“Yang menang, yang sepatunya lebih bersih, dan tidak ditenteng sampai di depan kelas kita,” kata Suryono, Ketua Kelas. “Sedangkan sebagai pengawas, Ely dan Wati. Ely mengawasi Kurdi dan Wati mengawasi Banto dari rumah masing-masing.”

Malam itu hujan turun. Sudah pasti, esok akan membasahi tanah sepanjang jalan menuju SD Pekunden. Kurdi cukup senang. Ia sudah tahu jalan dari rumah Banto akan lebih becek. Setidak-tidaknya dibandingkan dengan jalan dari rumahnya ke sekolah.

“Aku bakal menang, dan Banto seminggu membersihkan ruang kelas,” kata Kurdi dalam hati.

Pagi itu sebagian besar anak-anak kelas lima SD Pekunden sudah menunggu kedatangan Kurdi dan Banto.

“Itu Kurdiiii …!” seru anak-anak kelas lima.

Kurdi berjalan diikuti Ely. Ia dari gerbang sekolah hingga depan ruang kelas lima, berjalan memilah-milah tanah yang diinjaknya. Hingga kemudian tiba di depan teman-teman, ia berteriak sambil mengangkat tangan.

“Kalian lihat, sepatu yang spesial kupakai hari ini. Cukup bersih, kan?” katanya sambil mengangkat kaki kanan untuk diperlihatkan ke teman-teman.

“Lumayan ….!”

“Jangan hanya lumayan. Pasti menang. Lha, jalan dari rumah Banto kalau hujan seperti semalam? Bisa dibayangkan,” ujar Kurdi, yakin. Ia akan menang.

Mereka pun menunggu kedatangan Banto. Sebagian membenarkan kata-kata Kurdi. Banto akan kalah, dan bakal menyapu lantai ruang kelas selama seminggu. Ohoi!

“Kita awasi bersama. Bagaimana nanti dia menyapu ruang kelas. Seminggu …!” seru Kurdi.

Saat itulah, dari arah gerbang melenggang Banto. Wajahnya tampah sumringah. Di belakangnya,  Wati tak mampu menahan tartawa. Karena Banto berjalan seperti robot. Kaki seperti keberatan.

“Saya datang, dan saya menang …!” kata Banto sambil membuka bungkus kaki dari plastik yang rapat. Dua-duanya. “Sepatu tidak ditenteng seperti syarat lomba ini. Lihat. Sepatu bersih, dan sama sekali tidak ada tanah becek yang menempel.”

Teman-teman kelas lima mengangguk-angguk, membenarkan.

“Seminggu, kita akan melihat tukang sapu baru bernama Kurdi. Ruang kelas kita pasti bersih. Karena kita awasi bersama …,” kata Banto sambil memasukkan plastik ke tong sampah. Kantong plastic yang digunakan untuk membungkus dua kaki Banto.

Kali ini Kurdi harus mengakui kecerdikan Banto. Tak bisa tidak. Dan ia membayangkan menjadi tukang sapu. Selama seminggu. ***

Ayo baca karya peserta lain di sini
Jangan lupa untuk bergabung di group FB Fiksiana Community

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun