Mohon tunggu...
Agung Widiatmoko
Agung Widiatmoko Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Biasa

Menulislah selama bisa

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Kemeriahan Karnaval dan Realitanya

3 Agustus 2024   09:24 Diperbarui: 3 Agustus 2024   09:28 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Kita pasti tahu event atau karnaval yang di selenggarakan oleh Desa - desa setiap tahun nya. Mulai dari parade sound system, pameran kostum dan entah kemeriahan apa lagi yang ditunjukan di jalanan. Menariknya Karnaval tadi selalu di ikuti oleh banyak orang dan begitu meriah. Tetapi tidak sesuai realita atau bahkan yang terjadi di baliknya.
Banyak warga yang mengeluh, terutama yang sudah berumur, mungkin lain pada yang usia muda.  

Tahukah kita semua bahwa semakin meriah sebuah pesta biaya semakin tinggi? Hal ini juga berlaku pada even karnaval. Semakin meriah kostum yang dipamerkan biayanya semakin tinggi. Lantas siapa yang menanggung biaya tersebut? Biaya tersebut setidaknya di tanggung oleh iuran yang di bebankan kepada hampir setiap warga nya.

Kita ambil satu contoh semisal satu RT terdapat 44 kepala keluarga. Bila mereka harus mengeluarkan uang sebesar Rp. 50.000.000, maka setiap kepala keluarga akan di bebankan kurang lebih sekitar 1.200.000. Biaya tersebut sepenuhnya ditanggung oleh warga setiap desa. Bahkan lebih miris lagi adalah sudah harus membayar biaya sebesar itu yang merupakan sebuah keharusan, masih harus di berikan sanksi berupa denda apabila tidak ikut ambil bagian dalam karnaval tersebut. Dan hal ini sudah seperti menjadi sebuah peradaban karena sudah terjadi mungkin sekitar puluhan tahun.

Padahal seharusnya parade atau karnaval tadi merupakan tanggung jawab perangkat desa setempat, tanpa harus membebankan biaya kepada masyarakatnya. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, biaya di bebankan kepada masyarakat atau warga nya, sedangkan ketika mendapatkan penghargaan yang menerima justru perangkat desanya. Bukankah ini artinya bahwa terjadi pembodohan secara terang terangan dan justru di dukung oleh semua warga bahkan semua seolah Menutup mata.

Di sebuah desa di Kabupaten Malang misalnya, Untuk iuran Karnaval bisa beragam bergantung pada tingkat kemeriahan nya. Yang usia muda di berikan beban iuran sebesar 1.000.000 sedang yang usia tua hanya setengah nya. Iuran ini sifatnya wajib dan harus di penuhi, demi suksesnya acara tersebut. Apakah semua warga rela dengan iuran tersebut? Jawabnya tidak, tetapi karena rasa sungkan, dan ketakutan akan anggapan warga sekitarnya akhirnya mereka mau tidak mau harus membayarnya sekalipun itu terlalu berat. Sangat di sayangkan di balik realita kemeriahan sebuah karnaval ternyata banyak sambatan warga yang terpaksa menahan air matanya, karena keterpaksaan dalam menanggung besarnya iuran tersebut. Tentu saja iuran sebesar itu tidak terlalu berarti bagi yang ekonominya berkecukupan, tetapi bagi yang ekonominya kurang beruntung, apakah hal itu menjadi lumrah jika di wajibkan dan sudah menjadi budaya tahunan?

Biliksunyi
Malang 3 Agustus 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun