Yth. Bapak Presiden,
Belakangan ini, aku dihantui rasa khawatir. Tidak bisa kuterima jika hutan yang kujaga selama puluhan tahun akhirnya kau tebang pohonnya. Pohon kemenyan yang kurawat seperti anak kandungku telah kumanfaatkan getahnya sejak usiaku dua belas. Pertama kali aku merasa lelaki sejati ketika aku berhasil memanjat pohon kemenyan. Dulu, sebelum orang-orang merasa bahwa pendidikan formal itu penting, ukuran bagi seoarang lelaki dewasa dan bertanggungjawab adalah jika dia mampu merawat dan memanjat pohon kemenyan. Teman-teman seusiaku, mereka yang bertumbuh bersama dengan pohon kemenyan ini pun memiliki kegelisahan yang sama. Kami tidak rela hutan kami diganti menjadi pohon atau tanaman asing yang merusak lingkungan.
Hutan juga memiliki banyak mata air yang kami manfaatkan sebagai sumber air bersih bagi warga desa. Kami memang masih tergolong baru memanfaatkan mata air di hutan untuk kebutuhan sehari-hari. Selama ini kami menggunakan air hujan untuk kebutuhan air sehari-hari, bahkan untuk minum. Setelah kau terpilih menjadi pemimpin yang baru sekitar tujuh tahun lalu, kami mulai sering didatangi orang-orang "cerdas" dan peduli. Mereka mengajari kami cara mengalirkan mata air di hutan sampai ke permukiman. Kini, mata air itu tidak lagi mengalir sampai ke permukiman karena pipanya sering dilindas mobil besar yang lalu-lalang mengangkut pohon-pohon.
Belakangan ini, aku dihantui rasa khawatir. Aku dengar kabar bahwa hutan yang pernah kami perjuangkan sekitar 6.000 hektare belum sepenuhnya kembali kepada kami. Kata anakku yang usai berdiskusi dengan teman-temannya, berdasarkan surat keputusan yang ditulis oleh bawahanmu menyatakan bahwa hutan kami hanya seluas sekitar 2.393 hektare, bukan 6.000 hektare sebagaimana mestinya. Â Parahnya lagi, kau sampaikan melalui surat keputusan itu bahwa seluas 2.000 hektare itu sebagai kawasan Hutan Produksi Tetap yang dialokasikan untuk mendukung ketahanan pangan. Kusimpulkan bahwa luas hutan kami tidak lagi sesuai dengan usulan kami yang pernah pemerintah setujui lewat keputusanmu pada 2016 silam.
Terlalu lama kita bergulat karena hutan. Aku penasaran siapa yang akan menang diantara kita. Sebagian besar orang percaya bahwa semua program kau rancang demi pembangunan. Pembangunan? Pembangunan untuk siapa? Entahlah, yang aku tahu, aku harus mempertahankan wilayah adatku. Bukankah kau pernah mengeluarkan wilayah adat kami dari konsesi lewat SK.923/MENLHK/SEKJEN HPL 0/12/2016?
***
Sejak tahun 1993, perusahaan Indorayon yang sekarang berubah nama menjadi Toba Pulp Lestari (TPL) mengangkut kayu-kayu dari hutan kami. Aku tahu bahwa perusahaan tersebut masuk ke wilayah kami adalah seizinmu. Bukan. Seizin peminpin sebelum-sebelummu  maksudku. Izin operasional yang disahkan sejak 1986 itu memberikan 269.060 hektare hutan sebagai daerah konsesi perusahaan perusak lingkungan tersebut. Adapun daerah itu meliputi sebagian besar Tanah Batak, yaitu Tapanuli (Taput, Humbang Hasundutan, Toba, dan Samosir), Simalungun, Dairi, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan. Kabupaten kami masuk menjadi salah satunya. Aku baru tahu setelah membaca buku yang diterbitkan oleh KSPPM. Ah, betapa bodohnya aku baru tahu sekarang. Itulah sebabnya kita perlu membaca buku. Ah, seandainya masyarakat adat Tanah Batak bersatu lebih awal. Barangkali berita tentang banjir di Kelurahan Parapat tahun-tahun belakangan ini tidak terjadi.
Pada Juni 2009, kami mulai berani melawan. Kami menolak hutan kemenyan direbut untuk kepentingan industri bubur kertas oleh Toba Pulp Lestari. Berbagai upaya kami lakukan. Mulai dari berjaga di basecamp pintu masuk hutan kemenyan hingga berdemo di depan kantor polisi bahkan sampai ke Istana Negara. Jika aku ingat kembali perjuangan itu, aku patah hati bahkan sampai sekarang.
Apa kau tahu? Waktu itu, aku dan para lelaki seperjuangan lainnya sering dilarang dan dihalangi oleh aparat untuk martombak (kegiatan merawat pohon kemenyan). Mereka memperlakukan kami seperti pencuri di tanah kami sendiri. Apabila kami berhasil masuk ke hutan, kami selalu diinterogasi aparat dan bahkan beberapa diantara kami ditahan tanpa alasan yang jelas. Sebagian kami berhasil kabur dan bersembunyi karena takut ditembak. Apalah maksud aparat menghalangi kami dengan membawa senjata api kalau bukan hendak menembak? Siapa yang bisa melawan Brimop yang diutus oleh pemerintah? Peristiwa ini pun juga menyisakan rasa pahit bagi isteri dan anak-anak kami karena para aparat itu masih dengan seragam dan senjata tidak segan mengetuk pintu rumah untuk menangkap kami.
Berita tentang ditangkapnya beberapa dari kami yang tergabung dalam Gerakan malah membuat kami semakin solid. Kami bersatu. Kami sepakat untuk berdemonstrasi di depan kantor Polres. Sebagian dari para isteri berjaga di desa. Apabila sewaktu-waktu pihak perusahaan datang, ibu-ibu siap mengusir. Sebagian diantara kami yang merantau di Ibu Kota Jakarta pun menjadi perwakilan menyampaikan aspirasi kami di Istana Negara. Demonstrasi itu kami lakukan bukan hanya sekali melainkan berkali-kali. Aspirasi kami hanya satu yaitu, hutan adat bukan hutan register (hutan negara yang menjadi konsesi TPL).Â