Mohon tunggu...
Humaniora

Moonlight

18 Januari 2016   23:33 Diperbarui: 18 Januari 2016   23:40 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Malam, 21:40 PM waktu Munchen – Germany. Ditemani kipas angin dan kamar kos yang bercat hijau. Aku jadi ingat, dulu, aku sering menelpon orang hampir tengah malam dan orang itu juga seringkali menggunakan kipas angin di kamar kosnya. Ya, malam, aku memang suka senja, tetapi aku juga suka suasana malam dibandingkan siang. Siang itu bising, panas dan padat menurutku. Senja, malam, mereka penuh misteri dan aku menyukai hal-hal yang tak mudah tertebak. Hari  ini, hari kesaktian Pancasila dan hari ini juga aku menulis kembali, menulis tentang kami yang hingga saat ini kisahnya kian absurd. Absurd oleh apa? Jawabannya, bisa jadi oleh waktu.

Jujur, aku baru menulis kembali cerita ini setelah aku membaca pesan email darinya. Awalnya aku senang, karena judul email itu ‘lamaran gue’. Aku kembali membayangkan seperti puteri raja yang menggunakan gaun putih nan anggun suatu waktu. Tadi pagi, aku masuk kuliah jam setengah delapan. Ruang kuliahku di lantai 4, karena lift ramai, jadi aku lebih memilih menaiki tangga. Aku mengenakan gaun berwarna hitam dengan corak burung hantu, baju itu membuatku sulit untuk menaiki tangga, terpaksa aku memegang baju itu, agar tidak terinjak oleh sepatuku sendiri. Alhasil aku benar-benar membayangkan menjadi seperti tuan puteri anggun yang sedang berlari –lari menaiki tangga, mengejar waktu pernikahannya yang sebentar lagi akan dimulai layaknya di film-film.

Hingga perkuliahan jam pertama usai, pikiranku masih terusik dengan kenangan beberapa tahun silam, saat di mana aku masih bersamanya. Aku sampai berpikir, ada apa dengan diriku? Sebenarnya aku mengharap apa? Toh, dalam agamaku juga mengatakan, berhentilah berkhayal dan berandai-andai karena itu berasal dari syetan. Hmmm… aku masih berpikir, kenapa bisa jadi seperti ini? Kenapa kisahku seperti ini?.

Menerima surat mail dari dirinya, untuk yang pertama, karena dulu, kami sempat memiliki buku bersama. Layaknya catatan harian, kami sering berbagi cerita di sana, bisa dibilang juga itu kumpulan surat cinta kami berdua, tapi buku yang telah menjadi dua edisi itu aku rusak karena marah. Aku menyobek bagian buku yang tertera tulisanku, saat itu aku benar-benar marah, marah sekali, hingga amarahku mengalahkan akal sehat. Hingga saat ini, sobekan kepingan buku itu, masih aku simpan rapi di dalam lemari bukuku dan jujur, aku menyesal.

Palembang, ya, hampir separuh hidupku aku habiskan di kota itu, kota kecil yang nyaman, menyimpan sejuta kisah tentangku. Di sana aku belajar menjadi dewasa, belajar berpikir, belajar memaknai hidup. Namun, ketika aku mulai mengenalnya, hidupku menjadi berubah, bahkan aku enggan sepertinya kembali ke kota itu, karena dengan kembali, aku seolah kembali mengenang kenangan-kenangan yang entah mengapa membuatku sedih.

Aku mengenalnya saat di Munchen, ketika itu aku di bandara dan kami sama-sama duduk bersama. Awalnya, aku biasa saja, menurutku dia yang terlebih dahulu mendekatiku. Aku pun memberi respon padanya, entah mengapa, aku seperti terpesona dengan tingkahnya yang pendiam saat itu.setelah pertemuan itu kami seringkali mengirim sms hingga lewat tengah malam dan itu kami lakukan saat bulan ramadhan. Setelah cukup satu bulan kami menjalani masa pedekate, akhirnya kami pun semakin dekat. Awalnya, aku menikmati hari-hari itu, tetapi entah mengapa, aku melihat ada perbedaan setelah satu tahun kami menjalin kedekatan. Aku seringkali merasa, ia terpaksa ketika bertemu dengan diriku. Aku juga merasa, sepertinya, hanya aku yang menyayangi sementara dia tidak. Aku juga mencoba menebak, mungkinkah dia bosan atau apalah itu, aku juga tak mengerti. Aku seringkali merasa, rasa sayangku ini berlebihan, aku sangat bergantung padanya, aku ingat sekali, dulu hampir tiap malam aku menghubunginya. Aku merasa,  rasa yang kurasakan ini semakin hari semakin berat sebelah dan aku juga jenuh dengan semua ini. Kami berulang kali mencoba menjauh, mencoba diam satu sama lain, berusaha untuk tidak bertemu, tetapi lagi-lagi aku yang kalah, aku yang selalu mengajak berdamai. Mungkin saja, karena aku masih terlalu labil saat itu. Aku seringkali menangis, membuat mata ku bengkak keesokan paginya, bahkan aku menjadi sering kurang tidur, hidupku kian tak jelas, semakin aneh.

Jujur, awalnya aku mencoba bereksperimen ketika menyetujui hubungan ini. Aku hanya ingin membuktikan teori-teori tentang berpacaran yang pernah dibahas oleh orang-orang sebelumnya. Setelah aku menjadi partisipan, ternyata benar, lebih baik manusia itu tidak berpacaran, karena menimbulkan banyak efek yang tidak baik. Namun, suatu hal pasti terdapat efek positif dan negatifnya, efek positif yang kuambil adalah ternyata tidak semudah yang ku bayangkan untuk menjalin sebuah hubungan, karena butuh pengorbanan dan kesetiaan. Tidak cukup dengan saling mengerti di awal. Aku tidak ingin menyalahkan dia, karena menurutku kami sama-sama salah, kami hanyalah sepasang manusia yang masih labil dan penuh dengan rasa penasaran saat itu. Saat ini, aku hanya bisa berpikir, cukuplah itu aku jadikan pelajaran dalam hidupku.

Jika aku ditanya, apakah masih ada rasa rindu? Ya, untuk saat ini tentu saja, tetapi aku hanya ingin kembali menjadi seperti aku yang dulu, yang fokus menjalani hari, demi masa depanku. Saat ini, aku masih trauma hidup di Palembang dan aku sangat bersyukur, ketika aku dalam kondisi rapuh dan hampir gila, akhirnya aku diterima S2 di Munchen – Germany yang tak pernah kubayangkan sebelumnya aku akan belajar di sana. Jika hendak merasakan, hatiku benar-benar sakit saat itu, aku depresi, ketika aku didiamkan, dan yang lebih sakit lagi, namaku tak tertera dalam skripsinya dan aku pun tak diundang sama sekali untuk menghadiri yudisium atau pun wisudanya. Yasudahlah, aku memang bukan bagian penting dalam hidupnya, toh, aku juga bukan keluarga atau sahabat karibnya.

Oh ya, awalnya aku merasa sedikit berbunga-bunga ketika membuka email ‘lamaran gue’, aku mengira itu seperti surat cinta, tetapi nyatanya tidak, dimatanya, aku hanyalah seorang wanita yang membuatnya stres, wanita yang seringkali marah-marah. Padahal menurutku, aku tak seperti itu seutuhnya, tidakkah ia ingat, aku amat perhatian padanya, membuatkan nasi goreng, mengantarkan penelitian tugas kuliah, membuat tugas bahasa Inggris bersama, mengantar membuka jahitan operasi kecilnya dan masih banyak lagi. Aku berusaha tidak berharap banyak, aku hanya pasrah, bagaimanapun aku ini wanita, aku juga berhak menata hidupku untuk tidak menjadi rapuh.

Paska kejadian itu, aku mengira kami tak akan saling menghubungi lagi, tetapi ternyata kali ini aku yang menang, dia menghubungiku, ya dia menelponku, tetapi hanya untuk kemarin, ya hari kemarin. Maafkan aku juga atas segalanya. Maafkan aku karena telah mencintai dengan caraku. Aku tak ingin memikirkan rencana aku dan dia saat dulu, aku juga telah membebaskan dirinya dari diriku. Jika memang kita ditakdirkan bertemu, maka kita akan bertemu. Terima kasih karena pernah memberikanku kisah. Maafkan aku, yang akhirnya menjadi kurang nyaman berada di Palembang, maafkan aku, maaf kepada diriku dan dirinya.

Hingga saat ini, aku masih memanggilnya dengan sebutan moonlight. Saat ini, aku hanya berusaha menjadi orang yang pintar, karena aku sangat berambisi untuk menjadi pintar. Aku hanya ingin jika kelak aku memiliki keturunan, maka mereka bisa sedikit bangga seperti diriku. Aku mencoba optimis setiap harinya, karena hidup itu anugerah, hidup itu indah.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun