Sabtu, 5 Februari 2011 saya melakukan perjalanan dari Semarang menuju Yogyakarta. Ketika perjalanan sampai di daerah Secang, Kabupaten Magelang ada pemeriksaan kendaraan sepeda motor oleh petugas lalu lintas Polres Magelang. Saya berhenti dan segera menunjukkan SIM dan STNK. Saya mengira pemeriksaan selesai, namun tiba-tiba petugas tersebut menghidupkan lampu utama motor saya yang memang pada saat itu dalam posisi off sambil mengatakan, nah ini dia lampu tidak dinyalakan.
Akhirnya saya pun ditilang. Sesuai dengan Pasal 293 Ayat 2 UU No.22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas, bahwa pelanggaran tersebut dikenakan denda paling banyak Rp100.000,00. Pada waktu itu, petugas menanyakan apakah saya akan mengikuti sidang di pengadilan negeri kota Mungkid tanggal 17 mendatang ataukah mau nitip. Saya ingin mengetahui lebih jauh, dengan menanyakan kalau nitip berapa dan apakah ada tanda terimanya? Petugas tersebut menjawab, kalau nitip Rp35.000,00 dan tidak ada tanda terimanya, karena tanda terima atau surat tilang diberikan kalau pengendara mengikuti proses persidangan. Ada dua pertanyaan yang mengganjal di hati saya saat itu. Pertama, kalau demikian halnya, apakah bisa dipastikan uang tersebut tetap masuk ke negara? Bagaimana mekanisme pertanggung jawaban petugas tersebut? Atas dasar apa besaran nominal Rp35.000,00 tersebut (memang undang-undang mengatakan paling besar Rp100.000,00).
Kedua, tidak semua kendaraan roda dua diberhentikan untuk diperiksa oleh petugas, bahkan banyak yang tidak menyalakan lampu utama. Kalau memang pemeriksaan, seharusnya semua wajib diberhentikan dan diperiksa. Ketiga, petugas dimaksud terkesan mencari-cari kesalahan setelah surat kelengkapan kendaraan motor saya terbukti lengkap. Apakah memang masih banyak petugas yang bermental demikian.
Kalau demikian halnya, kapan kepolisian kita akan lebih profesional?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H