Menurut sebagian orang hujan mungkin menjengkelkan. Sama halnya denganku, aku pun tak menyukainnya. Namun entah sejak kapan hujan menuntutku untuk menyukainnya. Rinduku datang bersama dengan hujan. Bukan sebatas rindu, namun pengaharapan pertemuan. Â Bertemu dengan pelangi yang indah. Ah, aku lupa bahwa tak semua hujan selalu membawa pelangi untukku.
Sekalipun, tak ada kata bosan untuk hujan. Kerinduanku pada pelangi selalu saja menuntutku agar bertemu hujan. Perasaan lelah kerap kali datang menyambar. Tapi aku selalu bersabar dalam sebuah penantian. Rasanya aku ingin berlari dibawahnya dan mencari pelangiku. Namun aku sadar, aku tak mampu. Hanya diam dalam sebuah kesabaran yang dapat kulakukan. "menunggu" kata yang selalu membuatku bosan.
Rasanya aku ingin membencinnya, karena ia selalu saja mengantarkanku untuk tetap diam dalam sangkar. Cengkraman demi cengkraman datang. Menggores, menusuk dan mencabik secara perlahan. Namun lagi-lagi aku dipaksakan menyukainya. Demi sebuah pelangi. Demi sebuah penantian yang ku rindukan. Aku selalu diam dalam sangkarku. Seolah semuannya baik-baik saja. Aku pun kembali tersenyum dibalik derasnya hujan.
Secangkir coklat hangat menemaniku. Hitam namun menghangatkan. Aku berdiri koridor rumahku, mamandang dalam-dalam  air yang jatuh berguguran. Aku sempat bergikir mungkin mereka lelah jatuh terus-menerus. Aku tersadar dari lamunan. "lalu apakabar dengan perasaanku?" gumamku dalam hati. Lagi-lagi aku tersenyum seolah menertawakan kesakitan dalam hatiku. Dan lagi-lagi aku harus menertawakan hujan yang selalu membuatku menunggu dalam ketidakpastian.
Kini aku harus menyukainnya bak selimut yang menghangatkan, bak pegunungan yang menyejukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H