Tiba-tiba ada sebuah email terkirim dari saya sendiri. Hah? Iseng betul saya kirim pesan ke diri sendiri. Karena penasaran, saya pun segera membukanya. Hampir saya lompat dari kursi membaca pesan itu. Di ujung pesan tertulis, pesan ini akan terhapus dengan sendirinya setelah kamu baca. Ah… saya jadi ingat film Mission Impossible. Bagaimana mungkin saya jadi seperti dalam kisah film itu? Pasti gara-gara kertas yang tempo hari diberi kawan saya… Ah… saya belum sempat tabayyun, kenapa ini sudah ada tambahan pesan rahasia lagi?
Kami lalu bertemu di sebuah parkiran mal di B3, lantai basement paling dasar. Ini yang paling aman katanya, karena di lantai paling bawah terlindung dari sinyal-sinyal komunikasi. Dan memang, ponsel saya pun langsung melorot ke satu bar sinyal, Ini menunjukkan provider telepon saya bakal susah payah kalau masuk parkir gedung itu. Sinyal itu pun segera berganti jadi SOS, tanda sinyal sudah hilang sepenuhnya saat ia mengajak saya menuju sudut beton di parkiran itu.
“Nah sekarang pinjam ponsel kamu,” katanya sembari lagi-lagi memeriksa dan mematikan semua perangkat elektronik yang ada. Tapi kali ini anehnya, ia malah membiarkan ponsel saya menyala. Ia hanya mengutak-atik sejenak ponsel dengan memberikan sejumlah kode. Ia lalu memberikan earphone yang ada microphone ke saya. “Nah mulai sekarang, kita komunikasi dengan ini. Aman!”
Saya dan teman lalu berkomunikasi dengan ponsel masing-masing menggunakan earphone dan berbincang di mic-nya. Cara ngobrol kami lucu. Seperti orang lain yang akrab dengan ponsel, tapi tak bertegur sapa langsung dengan orang di sampingnya sendiri.
Tiba-tiba ia mengatakan pasti saya belum tabayyun dengan pesan terakhirnya. Saya pun sempat gelagapan karena memang tak tahu ke mana harus bertabayyun dengan isi pesan itu. Sebelum saya bertanya lebih jauh, ia langsung melanjutkan obrolan ke suatu yang lebih serius.
Masih ingat krisis ekonomi tahun 97-98? Sebelum saya menjawab pertanyaan itu, ia mengajak saya naik ke sebuah pojokan gedung di lantai dasar yang terlindung oleh sebuah pohon rindang. Dari tangannya, kembali ia mengetikkan kode-kode tertentu di gawainya. Ia lalu menunjukkan data sejumlah perusahaan yang bangkrut dan dinyatakan harus diambil alih pemerintah di bawah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada tahun 1998. Ia menunjuk beberapa perusahaan yang sudah sangat akrab di hampir semua orang Indonesia.
Ia lalu mengetik sejumlah nama orang-orang kaya dan tiba-tiba muncul beberapa data angka yang sangat rumit. Ah.. saya tak paham maksudnya. “Coba kamu sebut salah satu bank besar yang ada saat ini,” tanyanya. Lalu saya pun menyebut satu. Kemudian, dengan lincah ia mengetik kode itu lagi. Dan tiba-tiba, sebuah data keluar dengan sangat detail.
Sebelumnya, di tahun 1998 beberapa bank bangkrut dan diselamatkan melalui BPPN. Pemiliknya ada yang lari ke luar negeri. Setelah lebih sehat, bank itu dilebur ke sebuah bank besar. Lalu di saat sehat, bank itu sahamnya dijual ke pasar. Sebelum saya bertanya lebih jauh, ia sudah memberi saya data lain. “Nih, orang yang lari tadi meninggalkan utang Rp1,38 triliun. Bank yang jadi jaminan itu akhirnya dikelola pemerintah dan disehatkan lagi. Saat itu aset banknya ternyata hanya Rp437 miliar atau kurang dari sepertiga utang orang tadi. Lalu ketika disehatkan lagi, bank itu dijual ke publik senilai 2 triliun. Sadarkah kamu siapa yang beli saham mayoritasnya? Dan ngerinya lagi, berapa nilai bank itu saat ini? Sudah naik jadi Rp9,5 triliun! Dan si pemilik saham mayoritas itu dapat untung berapa? Hitung sendiri! Jadi, ini kisah orang melarikan diri dari tanggung jawab, lalu utangnya dianggap sudah terbayar dari aset sitaan yang tak seberapa, dan tiba-tiba melalui tangan orang lain yang jadi boneka, ia kembali menguasai bank itu plus bonus sekian triliun! Dan siapa yang membayar semua itu? Ya kita semua, dari pajak yang dibayar rakyat.”
Ketika ia bicara pajak, saya segera teringat sebuah gerakan pengampunan pajak yang sedang digencarkan pemerintah. Saya pun segera bertanya padanya tentang hal itu. Kali ini dia mengernyitkan kening dan berkata lirih, sedih. “Kasihan rakyat mas.”
Tangannya kembali mengetikkan kode-kode di gawainya dengan lincah. Kali ini terpampang nama beberapa bank internasional. Pada beberapa bank itu ada data-data yang terpampang tentang berapa dana tersimpan dan milik siapa saja. Lagi-lagi saya pun tak bisa menyembunyikan kekagetan saya. Ia segera menunjuk satu nama. “Ini dananya Rp2,754 triliun diparkir di bank ini. Dan ini menurut data pajak, utangnya dari pajak yang belum dibayar plus dendanya ada Rp1,877 triliun. Ia sudah menunggak pajak 50 bulan, jadi dendanya kalau sesuai aturan sekitar Rp938,5 miliar. Tapi kalau dia mau mengembalikan dananya ke Indonesia, ia akan bebas denda dan hanya diminta bayar pajak sekitar 3% atau sekitar Rp28,2 miliar. Semua itu bisa ia dapatkan dengan syarat ia menginvestasikan kembali dananya ke Indonesia,” ungkapnya.
Loh, bukannya itu bagus ya? Tanya saya. Uang diparkir di luar negeri yang bisa kembali ke Indonesia dan bisa untuk membantu pembangunan kita akan sangat banyak. Bahkan konon negeri tetangga—yang uang orang-orang kaya kita diparkir di sana—sampai membujuk mereka agar tidak tergoda pengampunan pajak. Ratusan bahkan ribuan triliun akan masuk kembali ke Indonesia dan bisa dimanfaatkan untuk pembangunan. Ini program yang sangat bagus dari pemerintah untuk mengembalikan uang-uang ke jalur yang dibutuhkan rakyat.