Mohon tunggu...
agoeng widyatmoko
agoeng widyatmoko Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengusaha pengolah cerita untuk beragam media

Saya adalah pemerhati bangsa dan sekaligus praktikan yang peduli pada perubahan diri dan lingkungan. Untuk hidup, saya menulis banyak hal. Dan kini, saya hidup untuk menulis dan menginspirasi dengan cara-cara yang sederhana, namun mudah dimengerti dan dipraktikkan bersama.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Maaf, Cukupkah?

14 Juli 2016   11:29 Diperbarui: 14 Juli 2016   14:41 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
taken from www.pixabay.com

Setiap lebaran, kata maaf selalu terucap. Formal ataupun informal. Uniknya, selalu hampir ketemu dengan pernyataan, maafkan kesalahan yang disengaja dan tidak. Pertanyaannya, kesalahan yang disengaja itu yang mana ya?

Ini bukan lelucon. Tapi kalau dirunut ke belakang, sadarkah kita sedang sering berbuat salah yang sering disengaja. Entah karena sedang kesal pada pemerintah, misalnya mengutuk kemacetan. Entah sedang tidak mood lalu tiba-tiba mengumpat pada hal yang tak pernah jadi masalah sebelumnya. Bahkan, saat tersandung kaki karena tak hati-hati, yang keluar umpatan pada batu sandungan.

Tanpa sadar, kita sudah punya gudang salah. Sengaja yang tak merasa disengaja. Bahkan sering kali kita menganiaya diri sendiri. Sudah lelah minta istirahat, tapi sering kali menyiksa untuk tetap melek demi melihat klub bola kesayangan tanding. Akibatnya, sinyal sakit jadi sakit betulan. Ini kan sengaja menyakiti diri sendiri?

Dengan orang lain? Coba cek. Pasti selalu ada kesalahan sengaja itu. Datang tidak tepat waktu misalnya. Sudah dianggap biasa. Padahal semenit telat itu tetaplah terlambat. Tidak sengaja karena merasa jalanan padat? Coba kalau datang lebih awal, apa masih tidak bisa lebih tepat? Inilah yang menurut saya merupakan berbagai kesalahan sengaja yang tak merasa disengaja. Akibat sudah dianggap biasa, maka salah pun merasa hanya cukup minta maaf saja.

Kalau sudah begitu, maaf adalah kata yang kerap disunat haknya. Sebab, maaf sering kali hanya mewakili apa yang ada di mulut. Maaf muncul, besok khilaf lagi. Toh, besok bisa minta maaf lagi. Bohong sekali dan ketahuan lalu minta maaf. Begitu dimaafkan, bisa jadi besok bohong lagi. Hayo… siapa yang sering mengatakan sudah On the Way alias OTW tapi sebenarnya baru selangkah mau keluar rumah?

Kalau hal-hal kecil ini saja kita sudah sering sengaja salah, bisa jadi memang ada banyak salah dengan mentalitas kita. Saya sendiri sadar juga sering kali banyak koreksi yang perlu dilakukan dalam diri. Kadang, malah tak jarang sembunyi di balik apa yang namanya bohong putih. Bohong kok ada hitam putih? Katanya demi kebaikan bersama. Misalnya bohong basa-basi. Sudah makan? Sudah kok… padahal belum. Alasannya, karena nggak enak yang nawarin sebenarnya juga basa-basi. Ini bohong putih atas alasan apa?

Kalau yang kecil seperti ini sudah jadi hal biasa, maka bohong besar pun bisa jadi akan makin banyak munculnya. Termasuk soal maaf tadi. Saat tangan bersalaman, maaf terucapkan, tapi mata kadang mengawang. Maaf pun tak khusyuk karena merasa hanya formalitas saja. Akibatnya, maaf seperti ini hanya jadi budaya. Budaya tahunan, budaya yang padahal sangat mulia kalau bisa dilakukan di keseharian.

Begitu juga kejujuran. Kalau dari awal sudah dibiasakan, maka bohong yang kecil-kecil itu akan gagal berkembang. Kalau ditawarin makan, ya kalau belum ngaku saja belum makan, tapi katakan nanti saja karena mau makan jajan. Tetap hormat dengan yang menawari, tapi tak lagi berbohong. Begitu juga kalau ternyata mau dengan tawaran makan. Jangan nyacat juga kalau yang keluar ternyata hanya nasi kerupuk. Minimal itulah kejujuran yang sudah diusahakan.

Beberapa waktu lalu saya membaca artikel beberapa negara paling nyaman ditinggali. Katanya Denmark, New Zealand, dan Jepang. Konon karena di sana kejujuran adalah hal yang paling gampang dijumpai di mana-mana. Kalau iya katakan iya. Kalau tidak ya tidak. Tak ada kata bersayap yang membuat harus konfirmasi atau juga ditutupi. Semua maksud tersampaikan dengan jelas.

Di sana saya belum pernah dengar ada budaya maaf-maafan. Kalau merasa salah ya mundur sendiri. Langsung tanpa disuruh. Ada barang yang bukan miliknya di jalan, ya tak bakal ada yang berani mengambil. Maka tidak heran tingkat kriminal di sana juga sangat rendah.

Saya sendiri pasti juga sudah penuh salah. Saat bikin status, saat bikin tulisan, saat berjanji yang belum ditepati. Sengaja atau merasa tidak disengaja. Semua itu sering membuat saya rindu dengan momen halal bi halal. Jujur, saya masih merasa itu adalah momen budaya tahunan yang paling enak untuk omong maaf. Tapi dalam hati, jauh di sana, saya merasa maaf setiap hari saja belum cukup. Entah pada siapa, entah pada apa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun