Dari dulu, hadirnya guru adalah seseorang yang digugu dan ditiru. Tapi, kalau ketemu dengan guru-guru yang ketemu saja sudah mengandung ilmu, maka tak perlu lagi menggugu dan meniru. Yang ada, hanya dengan menatap saja, ilmu itu seolah sudah nge-charge dengan sendirinya.
Pada tanggal 30-31 Mei 2016 lalu saya belajar langsung dari mas Agus Noor, Bli Putu Arcana, dan Mbak Linda Christanty. Tak ada satu kata pun yang masuk di kepala, karena otak sudah menemukan tempat barunya, di ujung jari. Setruman ilmu mereka sudah langsung jadi penggerak untuk segera mengukir kata. Kepala tak lagi sempat berpikir. Hanya jemari yang jadi saksi. Oh... ternyata begini toh sensasi nulis cerpen fiksi.
Mas Agus Noor meledakkan ide di kepala, bahwa roti dan upil bisa bersekutu mencipta ide yang belum pernah terlintas sebelumnya. Ia juga membuat pengakuan yang mengagetkan. Kalau tak jadi penulis, mungkin ia sudah jadi psikopat. Ide tulisan bayi di sepotong rotijadi pengakuan bahwa ide-ide gila kadang muncul dan kalau tak diwujudkan dalam kata, akan segera jadi nyata.
Mbak Linda lain lagi. Dengan gayanya yang kalem, ia membuka rahasia. Semua karya yang punya makna, akan punya pembaca dan hidup di dalam jiwa. Artinya, menulis saja dengan apa yang ada. Pasti karya akan bertemu dengan pembaca yang pas. Dan itu akan bertahan sampai kapan pun.
Bli Can saat itu buka rahasia dapur Cerpen Kompas. Setahun, setidaknya 52 cerpen akan bersaing dengan 5000-an karya. Untuk terpilih, salah satu yang menggoda para editor untuk menaikkan adalah unsur pelestarian budaya daerah. Tips lainnya? Hmm… silakan saja ikut pelatihan berikutnya Â
Lagi-lagi, tanpa kata, mereka sudah memberikan pesan sarat makna. Pak Ahmad Tohari yang jadi pemenang, memberi makna bahwa kencing saja bisa jadi sumber inspirasi. Begawan Putu Wijaya, memberikan pesan yang lebih mengena. Jalannya yang tertatih, tak membuatnya bicara lirih. Sebaliknya, membuat seisi ruangan terpikat oleh tuturan yang bertenaga. Malunya saya, masih muda belum banyak karya.
Jadi ingat kutipan Steve Jobs. Stay hungry, stay foolish. Kalau merasa lapar dan bodoh, akan membuat kita harus selalu cari makanan dan ilmu. Dan dalam pelatihan dua hari itu, saya dapat keduanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H