Mohon tunggu...
agoeng widyatmoko
agoeng widyatmoko Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengusaha pengolah cerita untuk beragam media

Saya adalah pemerhati bangsa dan sekaligus praktikan yang peduli pada perubahan diri dan lingkungan. Untuk hidup, saya menulis banyak hal. Dan kini, saya hidup untuk menulis dan menginspirasi dengan cara-cara yang sederhana, namun mudah dimengerti dan dipraktikkan bersama.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Belajar Ikhlas dari RBT

23 November 2010   06:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:22 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Kriiing…”

Suara itu mungkin sudah jarang sekali Anda dengar saat Anda menelepon seseorang. Namun, suara itu akan berganti dengan nyanyian merdu dari artis favorit atau pun dendangan lagu dangdut yang mendayu. Bahkan, konon banyak artis yang mendadak terkenal berkat nada suara Ring Back Tone (RBT). Malah, ada yang kemudian berujar, banyak artis kaya hanya karena membuat reffrain lagu saja. Betapa tidak kaya... Konon, ada beberapa band atau artis penyanyi solo yang RBT-nya mampu mendulang rupiah hingga miliaran!

RBT memang sangat fenomenal. Bahkan, menurut Ketua Komite Telekomunikasi Kadin, RBT telah menyelamatkan industri musik Tanah Air. Ia menyebut, sekitar 60-65 persen pendapatan label company diperoleh dari RBT. "Kalau tidak ada RBT, dalam dua tahun terakhir mereka sudah bubar," ucap Ketua Komite tersebut.

Terlepas dari semua fenomena itu, pernahkah kita berpikir bahwa RBT sebenarnya adalah sebuah proses belajar ikhlas? Bagaimana bisa? Jelas. Coba ingat-ingat. Berapa biaya yang kita keluarkan untuk mengunduh musik atau lagu di RBT? Rata-rata adalah Rp5000-9000. Itu biasanya berlaku selama satu bulan. Sekarang, bahkan ada yang membuat paket mingguan demi memangkas harga tersebut.

Tapi, pernahkah kita berpikir siapa yang menikmati RBT yang kita pilih? Kita sebagai pemilik teleponkah? Tidak! Yang menikmati adalah para penelepon kita. Musik nan indah atau suara artis yang kita beli dengan membayar ongkos RBT hanya bisa dinikmati oleh penelepon kita. Itu artinya, kita menghibur penelepon kita. Sebuah tindakan yang mulia bukan? Sebab, tanpa sadar kita sudah memberikan hiburan—meski singkat—kepada para penelepon yang masuk ke nomor kita. Kalau lagunya pas, menghibur, bisa jadi, orang yang menelepon menjadi senang. Yang sedih bisa jadi gembira. Yang tadinya mau marah bisa lupa. Kalau ini yang terjadi, pastilah RBT berada pada level yang amat mulia. Tapi, apakah sang pemakai RBT pernah mendengarkan langsung alunan musik atau artis yang dipilihnya langsung dari teleponnya sendiri? Tidak! Padahal, siapa yang membayar semua ongkos itu? Sang pemilik telepon.

Nah, apa arti itu semua? Itu artinya sang pemilik telepon telah membayar suatu jasa yang sama sekali tidak bisa dinikmati olehnya! Kecuali, kalau ada efek samping dari RBT itu. Misalnya, dari niat mau marah karena akan menagih utang, jadi adem dan tak lagi emosian karena terhibur lagu di RBT tadi. Tentu, ini jarang sekali terjadi. Lah wong cuma RBT kok bisa membuat lupa mau nagih utang... he-he-he.

Jadi, apa dong fungsi RBT sebenarnya? Ya, sesuai judul yang saya tulis tadi. Membuat orang senang dan kita jadi belajar ikhlas karena (tanpa) sadar memberikan uang pulsa kita masuk ke operator dan industri terkait dalam RBT secara keseluruhan. Sebut saja siapa yang mendapat keuntungan. Pihak label yang punya hak cipta pada lagu, pihak operator yang memiliki hak atas penggunaan RBT, pencipta lagu dan penyanyinya, belum lagi orang-orang yang bekerja pada industri terkait. Banyak!!! Karena itu, saya sebut bahwa bagi Anda dan saya yang suka mengunduh lagu atau musik RBT, silakan tersenyum bahagia karena kita telah dengan sukarela berbagi rezeki ke sedemikian banyak orang dengan ikhlasnya.

Nilai keikhlasan inilah yang harusnya kita pelajari. Coba, hitung jika beli kaset atau CD. Satu CD biasanya isi 10-12 lagu dijual dengan harga sekitar Rp35 ribuan. Dengan harga sebesar itu, kadang beberapa orang merasa berat membelinya. Padahal, secara hitungan harga, katakanlah Rp35 ribu dibagi 10 lagu, berarti satu lagu harganya hanya Rp3500. Bandingkan dengan RBT yang dihargai Rp5000-9000 per satu lagu untuk satu bulan. Dan, itu saja hanya bagian reffrain-nya saja! Masih ditambah lagi, itu hanya dinikmati oleh orang lain—sekali lagi orang lain—yang menelepon kita, bukan kita yang membayar!!! Tapi, apakah kita merasa keberatan dengan itu semua? Rata-rata jawabannya adalah tidak, atau mungkin tidak tahu? Kita bahkan senang jika ada orang yang merasa terhibur dan mengatakan, “Hai, RBT-mu kereen. Aku malah pengennya jangan kamu angkat cepet-cepet, jadi aku bisa dengerin lama lagunya…” Nah! Kita senang dan orang lain senang… bukankah ini sebuah nilai kebahagiaan?

Terlepas dari semua itu, ikhlas menurut saya adalah sebuah bagian dari proses dalam diri di mana kita bisa merasa bahagia apa adanya, bahagia saat bisa memberi, bahagia saat merasa berlebih, bahkan bahagia saat merasa belum tercukupi dari apa yang dicari. Jika kita bisa ikhlas memberi layaknya berlangganan RBT, niscaya kebahagiaan akan bisa kita bagikan dengan mudahnya dan kesenangan bisa kita berikan dengan sangat nikmatnya. Apa itu semua mungkin? Mungkin saja.. Lah wong langganan RBT bisa, mengapa dalam kehidupan sebenarnya justru banyak hitungan? Jadi.. yuk belajar ikhlas dengan langganan RBT…

Salam ikhlas,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun