Namanya Seladi. Belakangan ini jadi banyak diperbincangkan orang. Bahkan, figurnya muncul di halaman utama Harian Kompas. Polisi urusan SIM yang nyambi jadi pemulung. Ia selalu menolak uang terima kasih yang diberikan siapa pun padanya. Tawaran minum kopi saja ditolaknya. Ia benar-benar ingin, keluarganya makan hanya dari uang halal saja.
Hebat? Tidak juga. Kalau ini terjadi di dunia yang sudah serba-sempurna. Bayangkan, jika ada 1000 polisi saja seperti Seladi, mungkin itu akan jadi hal sangat biasa. Dan memang harusnya begitu. Ujian SIM ya ujian saja. Kalau tidak lulus, ya mengulang. Begitu aturannya. Tapi memang, saat ini Seladi yang seperti ini dan terpampang di aneka media, ya baru dia saja.
Padahal kita saat ini berada di generasi serbainstan. Kalau bisa cepat, ngapain harus lama-lama? Kalau prosedur ujian bisa diselesaikan dengan segera, kenapa harus menunggu ujian lagi yang butuh waktu lama? Itulah mengapa, pekerjaan Seladi selama ini dianggap sebagai “lahan basah”. Tapi, Seladi tak mau ikut basah. Ia memilih “lahan bau” yang jelas menusuk hidung. Karena itulah, Seladi jadi orang yang aneh di tengah hal yang “normal”.
Jadilah Seladi tersebar profilnya ke mana-mana. Sebentar lagi saya kira, ia akan jadi selebritas yang makin banyak muncul di berbagai media. Diundang di TV, diwawancarai radio, dan fotonya muncul di hampir semua media massa.
Hasilnya—ini hanya dugaan saya—mungkin akan membuat Seladi mendapat nilai ekonomi melebihi yang ia dapat selama ini. Sekali lagi, inilah yang sering saya sebut sebagai rezeki tak pernah tertukar. Insya Allah, tekad Seladi untuk selalu bersih di tengah tugas yang diembannya, akan dibayar Sang Mahakuasa. Perjuangan 25 tahun Seladi mengabdi, akan “terbayar” di sisa mendekati masa pensiunnya. Siapa yang mengira? Tapi, itulah HUKUM SANG PENCIPTA. Selalu ada rezeki baik di setiap usaha yang dilakukan dengan baik pula. Dan… selain baik di mata masyarakat, insya Allah baik pula di mata penciptanya.
Seladi… mengabdi….
Ia berbagi untuk keluarga dengan caranya sendiri.
Kau bagaikan oase di padang tak bertepi.
Sampah yang kau angkut, membawa bau minyak kasturi.
Semua akan terbayar, dengan keringatmu yang mewangi.
Dan dengan kisahmu saat ini.
Aku berharap… akan lebih banyak hadir Seladi lain di Bumi Pertiwi.
Negeri yang sedang bangkit ini.
Harapan kami...
Seladi, kau tak bakal disela di sana-sini
Hanya untuk pencitraan duniawi
Karena namamu boleh jadi terlanjur harum di alam surgawi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H