Perkenalanku dengan dunia game online dimulai ketika salah seorang kawan datang ke pondokanku dan bercerita tentang Nexia Online. Ketika itu, internet masihlah benda mahal dan terasa asing. Di Bandung saat itu, warnet hanya ada segelintir, dan Anda harus berjalan cukup jauh untuk menjumpainya. Sudah begitu, Anda harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk membayarnya per jam. Saat itu, kawanku bercerita tentang sebuah permainan yang memungkinkan semua orang terhubung dan dapat berbincang-bincang pada saat bersamaan. Aku hanya bisa mengangguk-angguk separuh tak paham. Bagiku, internet hanyalah altavista.com dan aol.com
Ketika berhasil membujuk warnet langgananku untuk meng-install game tersebut, aku segera tenggelam ke dalam dunia ajaib yang kelak dikenal orang sebagai MMORPG (Massively Multiplayer Online Rule-Playing Game). Tentu saja saat itu yang menjadi fokus hanyalah chatting, bukan untuk menaikkan level karakter atau mencari perlengkapan dalam game. Aku memperlakukan Nexia Online tak berbeda dengan MIRC (program untuk chat online); hanya saja, dalam dunia yang satu ini, aku bisa memiliki sebuah karakter yang mewakili diriku. Bukan sekadar sebuah nickname atau nama layar.
Tak lama kemudian, diluncurkanlah Ragnarok Online. Kali ini, barulah aku mencoba belajar untuk memainkannya. Mencari cara untuk menaikkan level, mendadani karakter dengan perlengkapan yang didapat dari membunuh musuh, dan berinteraksi dengan pemain lain. Namun demikian, aku tetap masih melihat Ragnarok Online sebagai sarana chatting.
Lalu datanglah era World of Warcraft, salah satu game MMORPG terbaik besutan Blizzard. Nah, di sinilah aku benar-benar serius belajar menjadi pemain. Mengumpulkan berbagai material untuk membuat sebuah senjata, mencari teman baru, membentuk tim sehingga bisa mengalahkan monster yang lebih kuat, hingga bagaimana cara berdagang. Aku menghabiskan waktu tak sedikit untuk meriset permainan ini, mencari tahu rahasia dan trik untuk mengalahkan monster, berkelana dari satu forum ke forum lain, menonton cuplikan klip mereka yang berhasil mencapai level maksimum. Orang-orang sering mengernyitkan kening dan bertanya, "Ngapain sih di depan komputer melulu. Ngabisin duit pula, ntar jomblo seumur hidup loh." Aku hanya bisa tersenyum simpul dan mengangkat bahu acuh-tak-acuh.
Semua kenangan itu kembali hari ini ketika aku menyelesaikan sebuah buku tentang game online. Di luar dugaanku, dunia maya-lah yang memberiku pembelajaran hidup. Aku belajar bahwa pada akhirnya kita hanya akan dinilai dari kemampuan kita memainkan peranan yang sudah dipilih, bukan dari seberapa cantik, ganteng, miskin atau kaya--atribut-atribut yang semula kukira sangat berperan dalam hidup. Di sini, aku mengenal salah seorang pemimpin guild yang secara terbuka mengakui bahwa ia gay. Tapi, hei… semua orang tetap menaruh hormat kepadanya karena dia mampu memimpin kelompoknya dengan baik. Aku pun mengenal salah seorang pemain dengan peringkat tertinggi di game yang ternyata duduk di kursi roda, serta seorang lainnya ternyata seorang kakek-kakek dengan 12 cucu.
Aku belajar bagaimana menjadi team player. Memercayakan sebagian tanggung jawab mengalahkan musuh kepada pemain lain. Tapi pada saat bersamaan, aku belajar untuk mandiri. Tidak dengan mudah menadahkan tangan meminta ini-itu. Mencari sendiri apa yang dibutuhkan untuk membentuk karakter yang kuat. Toh, pada akhirnya kita harus menjalani hidup kita sendiri--tak ada orang lain yang bisa melakukannya untuk kita.
Dalam perjalananku di dunia game online, aku bertemu dengan banyak pribadi. Ada yang sambil lalu, namun banyak juga yang bertahan hingga menjadi bagian yang disebut keluarga. Kami bertukar email, bertegur sapa meski berbeda kebangsaan dan berbagi cerita tentang apa yang sedang terjadi dalam hidup nyata. Dari situlah aku belajar memahami bahwa dunia tidaklah selebar daun kelor. Menyadari bahwa di luar sana ada banyak hal yang terjadi, yang jauh lebih penting daripada siapa pacar terbaru artis anu atau gosip lainnya.
“Astaga, karakter itu benar-benar mirip lo,” ujar seorang kawan sambil tertawa ketika pada suatu waktu kutunjukkan apa yang sebenarnya sedang kulakukan.
Aku melihat ke layar komputer, tersenyum malu. Dengan rambut terkuncir membentuk ekor kuda yang sederhana, sepasang mata sipit yang letaknya sedikit berjauhan, hidung yang tidak terlalu mancung, kulit berwarna sawo matang, karakter itu memang mirip diriku. Tapi mungkin juga karena karakter itu adalah sekeping pribadiku yang ada di dalam game untuk berinteraksi, belajar, bertumbuh, dan kemudian kugunakan setiap pengalaman itu untuk bertahan hidup.
Gadis remaja yang sepuluh tahun lalu hanya melihat game online sebagai sarana berbincang-bincang dengan temannya, sudah melangkah jauh. Karakternya di dalam game sudah mengenakan perlengkapan tempur terbaik yang bisa dicarinya, siap menghadapi apa pun yang dilemparkan pengembang game di dalam dunianya. Dalam kehidupan nyata, gadis itu juga sudah beranjak dewasa, melengkapi dirinya dengan berbagai pengalaman dari dunia game agar ia pun sanggup menghadapi apa pun yang dilemparkan hidup kepadanya.
Dan, aku pun tersenyum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H