Mohon tunggu...
Agnikarma
Agnikarma Mohon Tunggu... -

N/A

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Semangkuk Soto dan Peluru (2)

6 Maret 2011   10:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:01 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Gelap samar-samar hilang. Nyeri sekujur badan dan basah kuyup. Terlebih perutku, ngilu luar biasa. Tak berani sekejap saja aku melihat perutku. Entah syukur atau serapah yang keluar dari mulutku, rupanya aku masih belum mati nampaknya. Tapi dimana ini? Inikah alam kubur? pertanyaan itu tak terjawab. Bola lampu kuning diatasku berpijar menertawakan. Setelah sadar betul, tanganku sudah menjadi satu dibelakangku, terikat.

Sebuah meja lengkap dengan kursi berhadapan di kedua sisinya. Sebuah lampu kuning, dinding kayu dan suasana yang hening sekali. Aku tak tahu ini siang atau malam. Dan sadar mengundang lapar, perutku yang ngilu berteriak minta diisi. Tak seharusnya sisa-sisa soto belakang kampus muntah bermigrasi gara-gara terlalu capek dan didesak peluru, batinku.

Tak berapa lama, aku tak kuat lagi menahan sakit lapar dan ngilu tertembus peluru. Akupun pingsan kembali.

_________________________________________________________

Byurrr. Mungkin begitu suara air yang tiba-tiba tumpah menyadarkanku dari pingsan. Dua orang bertubuh besar mengangkatku dan mendudukkanku ke atas kursi. Terhidang di meja, nasi, ikan asin, sayur bayam dan buah pisang. Tali di tanganku sudah terlepas. Diambang sadar, kulahap makanan tersebut sampai tersedak. Tak ada air, mataku perih menahan sakit di tenggorokan. Tiba-tiba "Byurrr", tubuhku disiram air dingin.
"Makan itu dikunyah dan pelan-pelan!" teriak salah satu dari orang bertubuh besar tadi.
Air dingin menyapa perih luka di perutku, gigiku beradu menahan sakit. Suapan makanan berikutnya kukunyah pelan-pelan.
"Anjing pintar.." saut orang dibelakangku, suaranya berbeda dari orang yang membentakku tadi.
Makananku bersih sudah. Pisang tak kusentuh, aku tidak suka. Tanganku kembali diikat, sekarang lebih erat dan sakit. Tanganku diikat dibelakang sandaran kursi tempat aku duduk.

Aku baru sadar di atas meja terburai isi tasku. Beberapa selebaran fotokopian, diktat kuliah, buku tentang sosialisme dan tentu saja dompet kulit bututku. Ada satu orang yang baru datang, wajahnya tidak terlalu jelek dibanding dua orang tadi. Pakaiannya rapi dan aku samar-samar bisa tau bau parfumnya. Di jarinya ada cincin bermata batu akik dan jam tangan logam merk ternama. Dilihatnya isi dompetku diatas meja dan diambilnya kartu mahasiswaku.
"Saudara bernama Arif?" Si bapak rapi mulai mengintrogasiku.
"Iya,,saya dimana?"
"Saudara ikut organisasi makar ya? Anda tidak perlu tau ini ada dimana."
"Saya mahasiswa dan saya cuma ikut aksi, tidak ada kata makar dan tidak ada sedikitpun keingininan untuk makar. Negara ini terlampau sakit untuk mengenal makar."
"Ah, tau apa anda tentang negara? sudah mengaku saja, nanti kami lepas dan kami rawat.."
"Apa yang saya harus akui? Apa saya harus mengakui saya sebagai bagian dari rakyat negara ini, tidak merasakan apa yang pemerintah sebut ; kemakmuran dan kemerdekaan?"
Plakkk!!! -tamparan keras mendarat dipipiku.
"Saudara Arif, anda pasti mati esok hari jika tidak kami rawat dan beri makan, jawaban Anda sangat tidak sopan untuk ukuran mahasiswa seperti Anda."
"Sopan yang menjilat ketiak Bapak dan berpura-pura tidak mengerti sementara rakyat tak bisa membeli beras? Pak, negeri ini tidak akan kehilangan orang-orang seperti saya."
"Wah wah wah, saudara Arif ini rupanya terlalu banyak membaca buku-buku kiri sehingga tidak tahu mana sopan santun."
"Kiri tidak akan ada jika tidak ada kanan. Entah alasan apa lagi yang Bapak bual untuk menyudutkan saya, saya tidak akan mengaku karena memang tidak ada yang perlu diakui."
"Baiklah, jika memang anda ingin bergabung berdesakan dengan teman-temanmu"

Gelap tiba-tiba datang. Kepalaku ditutup dengan karung dengan paksa. Satu diantara mereka menekan luka di perutku. Isi perutku ingin berteriak keras-keras. Dan pakaianku dilucuti satu demi satu menyisakan celana dalam. Dingin menyapa dalam gelap paksa. Panas dan bau rokok menyinggahi tangan dan dadaku. Dan ketika satu pukulan bersarang di perutku, aku kembali pingsan.

__________________________________________________________________________

Aku tersadar dalam karung masih membungkus kepalaku. Tanganku kebas di belakang dan tali-tali mengikat dengan erat. Aku tau ini sudah pagi, sayup-sayup adzan subuh berkumandang di jauh sana. Tubuhku terduduk diatas tanah, kuluruskan kakiku dan membentur gundukan. dibelakangku juga ada gundukan. Lalu samar-samar kudengar isak tangis dan erangan. Kuberanikan diri bersuara.
"Siapa disana?"
"Saya Elang"
"Saya Suci"
"Aku Rizal"

Badai usai sudah didalam pikiran dan hatiku. Menjadi senasib bersama-sama teman yang kemarin begitu dekat dalam rapat-rapat dan begitu hebat dalam semangat, membuat aku tertawa pelan.
"Aku Arif, kawan-kawan..."
Setelah yakin mereka juga berkerudung karung dikepala dan nyaris telanjang di dinginnya fajar, kami berikrar dalam samar. Semoga mentari Ibu Pertiwi, menerima kotornya darah-darah kami membasahi buminya. Dan semoga orang tua kami ikhlas anak-anaknya terkasihnya nyaris telanjang terbaris dibidik satu regu tembak atas nama negara.

_____________________________________________________________________________

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun