Mendung bergelayut manja pada mega sejak pagi hingga mentari pun hanya mampu tersenyum sayu di Sabtu yang syahdu.
Menyoal rasa tersisihkan dalam masa bekakangan belumlah lagi tahu akankah ada pertanda situasi relasi membaik. Awal dulu bahagia tiada berhingga saat menemukan seseorang yang kukira seirama berbagi pagi dan petang. Sayang hanya berselang beberapa bulan, semata karena pandangan duniawi mengaburkan kesetiakawanan. Sedih, kecewa, marah, kehilangan, hanya mampu kubenamkan dalam diam dan menyisih. Apalah aku artinya. Kisah keseharian tak lagi terbagi sebagaimana dahulu. Seseorang lain lebih mumpuni nyata lebih mengisi hari dan hatimu. Lontaran tulusku menanyakan kabarmu pun kau hempas dengan jawaban sia-sia.
Sabtu, langit mengelabu. Kamu tengah dilanda cobaan membaring di tempat perawatan dan menjalani penanganan medis. Meski sejak hari kemarin kutahu bukan kehadiranku yang kamu harapkan, dan kamupun sudah menelunjuk dia yang mumpuni itu. Menggugah segala niatan baik kucoba merangkul mereka yang ada di sekeliling kita. Sayang, hanya beribu alasan yang kudapat, entah mungkin juga dibumbui cemoohan di balik bentangan layar kata-kata.
Entahlah… jika tidak hari ini, semoga esok kubulatkan tekad ayunkan langkah kebajikan. Kuberserah pada Ilahi. Perkara penilaian bukanlah menjadi hakku. Anggaplah hanya itikad baik seseorang nggak penting. Menjumpaimu, menjenguk kabarmu, mendo’akan kepulihanmu. Karena kamu pernah menjadi bagian kala kita membelah langit pagi dan merapatkan mentari sore. Senyumlah.
November, 12 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H