“Kau terlihat berbeda belakangan ini. Seperti menjauhiku?” Yang ditanya masih bergeming. Matanya masih lekat menatap birunya pemandangan punggung perkasa Ciremai yang terlihat jelas dari bingkai jendela pantry lantai dua. “Menjauhimu? Bukankah kita, setidaknya hingga hari ini dan esok masih bekerja dalam satu ruang dan satu lingkup yang sama?” “Ya. tetapi dirimu menjadi lain sekarang. Tak seperti empat bulan lalu. Kini memang kau terlihat sudah lebih akrab bersama teman-teman lain. Tiga puluh lima kru di sini, semua menyukaimu. Menjadikanmu karib mereka. Kau memang istimewa. Tapi belakangan ini kau jadi asing bagiku. Atau… mungkin ini hanya perasaanku saja,” “Perasaanmu mengatakan bagaimana?” Tanyanya masih tetap datar. Ekspresi wajahnya pun demikian. Tak seperti bila ia sedang berkumpul dan bercanda tawa bersama rekan-rekan satu kantor ini. “Kau tak lagi mengajakku sarapan bareng. Tak lagi mengajakku shalat berjama’ah di mushola. Dan kau pun tak lagi mengajakku ngobrol meski aku berada di tengah-tengah rumpian teman-teman kita.” “Begitu?” Cuma itu pertanyaan balasanmu. Matamu menyipit karena sinar matahari kian menampakkan kilauannya menembus bening kaca bingkai jendela. Geraham kokohmu menggerutuk di dalam bibir yang terkatup rapat seperti enggan membuncahkan segala hantaman badai yang menggalau di rongga dadamu. Tidakkah dirimu menyadari, perasaan yang jauh di dalam sanubariku meronta-ronta ingin mengatakan secara gamblang kepadamu, kurindu candamu, kurindu berbagi denganmu, kurindu celoteh lucumu, kurindu petuahmu yang sama sekali tak terdengar menggurui untuk membimbingku keluar dari setiap kegalauanku. “Aku tak ingin mengusikmu,” Kini ia membalikkan badan. Menghadap ke arahku yang tengah duduk di salah satu kursi di pantry. “Aku tidak pernah merasa terusik. Sesibuk apapun pekerjaan yang sedang kutangani. Ya semua juga sedang sibuk kan? Tapi kulihat kau masih bisa bersenda gurau dengan semua kru lain. Ah, aku hanya tidak ingin ada sesuatu yang salah di antara kita lalu kau memendamnya sendirian, sahabatku,” Kau terhenyak. Menyandarkan punggungmu pada dinding. Lalu kedua bilah tanganmu kau simpan dalam-dalam di antara lipatan saku celana panjangmu. “Aku tidak ingin mengusikmu, bukan karena kau sibuk. Melainkan aku tidak ingin mengusik kegalauan yang tengah melanda hatimu kini,” “Kau sebut aku sedang galau? Kau pikir apa yang mesti aku galaukan?” “Tak usah berpura-pura, Des. Sejak kau menerima kabar Baskara ingin kembali dari lapangan dan ke sini tetapi memutuskan akan resign, kau tampak berubah. Kau gelisah. Setiap kali kuajak bicara jadi nggak pernah nyambung. Kau menerima limpahan pekerjaan Baskara, kau kelimpungan tetapi menolak uluran tangan bantuanku. Tiga kali dalam tiga hari berturut-turut kuajak kau shalat di mushola tetapi kau malah mengulur-ulur waktu dengan jawaban nggak jelas. Karenanya, aku sangat mengerti risaumu tentang saat akan ketidakhadirannya. Namun selama ini kudisini menemanimu untuk resahmu itu, meski tanpa harus dengan sepatah katapun untuk mengusik keresahanmu,” Aku terdiam. Apa yang baru saja menyembur dari rongga mulutnya adalah ungkapan jujur. Ya. Rayhan memang tak pernah berbohong padaku. Pun tak kupungkiri perilakuku tak bisa membohonginya. Sebagai sahabat, meski baru mengenal dalam hitungan bulan, ternyata dia tahu persis aku memang galau. Aku memang resah, dan gelisah dengan kabar dari sejak sepekan lalu, Baskara akan resign dari perusahaan ini. Rayhan jugalah yang menyimpan rapat-rapat kotak Pandora milikku. Entah apa jua yang membuatku totalitas langsung mempercayakan padanya. Kotak hitam berisikan beragam kecamuk hati yang tak semestinya ada, tentang carut marut perasaan yang tak sepantasnya bertaut baik dipandang dari segi religi maupun adat-istiadat manapun. Tentang jalinan kisah rahasia sepanjang dua tahun terakhir berbaginya perhatian dan kasih sayang antara aku dan Baskara. Terjalinnya asmara lugu karena kami saling membutuhkan. Aku yang dahaga akan sentuhan kasih seorang pendamping, dan Baskara yang baru saja diterpa kekecewaan pada sang mantan. Semua itu terpadu rapi dalam amplop top secret dengan stempel palsu berlabel ‘rekan kerja’ dan ‘urusan pekerjaan kantor’. Namun kusadar di kala batin ini terus dikejar dan dirundung rasa dosa dan bersalah, karenanya kutitipkan kotak Pandora itu pada sesorang yang paling tidak, kuanggap memiliki kepribadian hangat dan dewasa, seperti Rayhan. “Jadi begitu?” tanyaku akhirnya melanjutkan. “Apa sebenarnya yang kau resahkan tentangnya jika dia benar resign dari sini? Bukankah kau pun akan resign dalam beberapa bulan kedepan nanti?” “Itulah yang sebenarnya membuatku resah. Oh, galau. Menurut kamus anak muda sekarang, Baskara resign dan entah akan melanjutkan kemana untuk jalan hidupnya. Kukira semula ia telah diterima testing di perusahaan lain tetapi nyatanya ia bilang tidak. Ia hanya mengatakan ingin pergi. Dan aku mesti menebaknya sendiri,” “Jadi, kau lebih meresahkan kepergiannya yang belum bertitik ujung ketimbang merisaukan masa depan rumah tanggamu sendiri?” “Apa perlu kurisaukan masa depan rumah tanggaku?” Diskusi aneh ini tiba-tiba terpotong oleh suara ringtone dari ponselku. Harlan. Satu nama yang membuatku enggan menekan tombol hijau pada ponselku. Yah. Apalagi yang ditanya oleh suamiku kalau bukan melulu urusan tek tek bengek surat-surat kepindahanku, kepindahan sekolah putra kami, alih kartu identitas kependudukan, surat-surat rumah, dsb. Sudah seperti lurah saja pertanyaannya. :p Gontai Rayhan lenggang meninggalkanku sendiri di pantry berteman dengan kesibukanku bicara di telepon. Masih serupa. Kemarin. Hari ini. Dan mungkin lusa. Secara kebetulan saja senja nan senggang ini aku iseng membuka situs media sosial, kubaca status yang ter-update dari Rayhan, satu dari sekian ratus teman di friendlist-ku yang paling jarang mem-posting apapun.
Diposting juga di cerpenagnez
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H