[caption id="attachment_381811" align="aligncenter" width="620" caption="Pajak BCA - Tempo.co"][/caption]
Kasus Pajak BCA pada April tahun 2014 lalu menjadi sorotan utama publik. Saat itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo sebagai tersangka. Pria yang baru pensiun sebagai Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu diduga menyalahgunakan wewenangnya selaku Dirjen Pajak saat pengurusan Wajib Pajak PT Bank Central Asia Tbk (BCA) tahun 1999 di Ditjen Pajak pada 2003-2004. Kasus Pajak BCA ini seketika menjadi pembicaraan, terdapat pro dan kontra dalam kasus pajak BCA ini.
Kasus Pajak BCA telah membuat saya penasaran dan seketika saya cari artikel maupun pembahasan terkait kasus pajak yang menimpa BCA. Untuk mengerti mengenai kasus pajak ini pun tidak mudah. Terdapatnya pro dan kontra membuat saya bingung, namun saya tetap melanjutkan pencarian-pencarian. Akhirnya saya mendapatkan artikel yang berjudul Pajak BCA – Pajak BCA, Baru Tahu Kalau Ternyata Negara Tidak Dirugikan. Artikel ini membahas sebenarnya Negara tidak mengalami kerugian, melainkan mendapatkan keuntungan. Artikel tersebut juga di repost dalam sebuah forum dengan judul yang sama yaitu Pajak BCA – Pajak BCA, Baru Tahu Kalau Ternyata Negara Tidak Dirugikan.
Cerita ini berawal pada 1998, BCA ternyata mengalami kerugian fiskal sebesar Rp 29,2 triliun akibat dari krisis ekonomi. Berdasarkan undang-undang yang berlaku, kerugian tersebut dapat dikompensasi dengan penghasilan (tax loss carry forward) mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut, sampai dengan lima tahun.
Disaat saya sedang asik membaca, terdapat pembahasan menarik yaitu adanya pemasukan sebesar Rp 3,29 triliun yang berhasil ditagih Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) atas pengalihan piutang macet BCA pada 1998. Dalam pikiran saya, mengapa justru BPPN yang menerima pemasukan sebesar Rp 3,28 triliun? Bukannya itu merupakan pendapatan BCA?
Ternyata, pada saat itu BCA termasuk kategori bank take over (BTO). BTO BCA yang berdasarkan instruksi Menteri dan Gubernur BI, segala wewenang, direksi, komisaris, RUPS, dan total aset, termasuk piutang macet dan jaminannya senilai Rp 5,77 triliun milik BCA, dialihkan ke BPPN. Berarti BCA pada tahun 1998, dalam statusnya sebagai bank take over, sepenuhnya berada di tangan BPPN. Inilah alasan mengapa BPPN akhirnya bisa mendapatkan pemasukan sebesar Rp 3,29 triliun.
Perdebatan mengenai Pajak BCA bermula disini. DJP mau menerbitkan SP3 atau Surat Perintah Pemeriksaan Pajak tahun 2002 untuk BCA. Di akhir-akhir, ternyata ada 10 item koreksi yang tidak disetujui BCA. Menurut SKPN PPh atau Surat Ketetapan Pajak Nihil Pajak Penghasilan, laba fiskal BCA Rp 174 miliar. Tapi, menurut pemeriksaan DJP, laba fiskal BCA Rp 6,7 triliun.
Menurut pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada 2002, koreksi senilai Rp 5,77 triliun itu adalah penghapusan piutang macet. Dengan pengrhapusan piutang macet, DJP menilai beban BCA berkurang, maka laba fiskal BCA jadi Rp6,7 triliun. Sementara dari sisi BCA, koreksi senilai Rp 5,77 triliun itu sebagai pengalihan piutang macet. Seperti yang tadi saya jelaskan, BCA yang berstatus Bank Take Over (BTO) mengalihkan piutang macetnya ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Rp 5,77 triliun.
Piutang macet yang dialihkan ke BPPN itu kemudian ditagih oleh BPPN ke debitur. Dari penagihan itu, BPPN berhasil menagih Rp 3,29 triliun. BCA sebagai bank yang masuk kategorii BTO tidak menerima bagian dari penghasilan menagih Rp 3,29 triliun itu. Jadi sebetulnya, dalam hal ini negara (BPPN) justru menerima pemasukan Rp 3,29 triliun.
Pengalihan piutang macet yang diterima oleh BPPN tidak menyebabkan kas BCA bertambah, sehingga tidak mungkin laba fiskal BCA menjadi sebesar Rp6,7 triliun. Sementara, DJP menilai koreksi Rp 5,77 triliun itu sebagai penghapusan piutang macet. Gara-gara perbedaan cara pandang ini BCA kemudian mengajukan keberatan pada Juni 2003 yang diterima keberatannya oleh Hadi Poernomo sebagai Dirjen Pajak pada 2004.
Timbul sebuah pertanyaan dipikiran saya, seandainya keberatan pajak atas koreksi pajak tidak diterima, apakah negara akan mengalami kerugian? Ternyata tidak. Alasannya, masih ada sisa penghasilan (tax loss carry forward) uang yang dapat dikompensasi sebesar Rp2,04 triliun.
Dari hasil penelusuran, saya juga mendapatkan fakta lain. Sebelum melakukan IPO pada 2000, BCA ternyata telah mendapat ‘tax clearence’ bahwa telah melaksanakan seluruh kewajiban selaku wajib pajak. Lalu, di manakah letak kerugian negara tersebut?
Ini persoalan perbedaan pendapat, soal sengketa pajak antara BCA dan Ditjen Pajak. Sementara, BCA telah melakukan pengajuan keberatan pajak sesuai undang-undang maupun peraturan perpajakan yang berlaku. Yang jelas, negara tidak dirugikan, malah ada tambahan pemasukan sebesar Rp 3,29 triliun. Atas dasar inilah, kejahatan Hadi Poernomo beserta BCA justru menguntungkan Negara senilai RP 3,29 triliun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H