[caption id="attachment_382216" align="aligncenter" width="600" caption="Pajak BCA - Sumber Gambar : Kompas.com"][/caption]
Lama tidak dibahas dan tidak dipermasalahkan, kini kasus Pajak BCA kembali menjadi topik pembahasan dan menjadi permasalahan. Awalnya memang saya tidak paham mengenai kasus ini, namun setelah mencari tahu dan bertanya kepada teman-teman yang mengerti mengenai perpajakan, akhirnya saya mendapat pemahaman. Mungkin penjelasan lebih lengkap bisa dilihat dalam artikel Pajak BCA - Membaca Fakta Sengketa Pajak BCA karena disini saya akan membahas secara singkat terkait hal tersebut.
Sengketa pajak BCA ini berawal dari BCA pada tahun 1998, saat terjadi krisis ekonomi yang melanda Indonesia, Â perseroan mengalami kerugian fiskal sebesar Rp 29,2 triliun. Berdasarkan Undang-Undang yang berlaku, maka kerugian dapat dikompensasikan dengan penghasilan atau tax loss carry forward mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan lima tahun. Selanjutnya, sejak tahun 1999, BCA sudah mulai membukukan laba di mana laba fiskal tahun 1999 tercatat sebesar Rp 174 miliar. Pada tahun 1999 tersebut, BCA sudah menjalankan dua instruksi dari Menteri Keuangan No. 117/KMK.017/1999 dan Gubernur Bank Indonesia No. 31/15/KEP/GBI tertanggal 26 Maret 1999. Ini berarti, BCA menjadi milik Pemerintah, dengan kepemilikan mencapai 92,8%
Pada tahun 2002, Ditjen Pajak menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaaan Pajak untuk BCA. Ternyata, ada laporan yang menjadi koreksi yaitu terkait laba fiskal BCA. Menurut SKPN PPh, laba fiskal BCA adalah Rp 174 miliar, tetapi menurut Ditjen Pajak, laba fiskal BCA adalah Rp 6,7 triliun. Nilai yang menjadi koreksi ada Rp 5,77 triliun. Menurut BCA, koreksi senilai Rp 5,77 triliun dianggap sebagi pengalihan piutang macet. BCA yang berstatus Bank Take Over mengalihkan piutang macetnya ke BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) sebesar Rp 5,77 triliun tersebut. BCA menganggap bahwa pengalihan piutang macet tidak menyebabkan kas BCA bertambah sehingga tidak mungkin laba fiskal BCA menjadi Rp 6,7 triliun. Disisi lain, Ditjen Pajak menilai bahwa koreksi sebesar Rp 5,77 triliun itu merupakan penghapusan piutang macet. Sehingga koreksi sebesar Rp 5,77 triliun itu dianggap oleh Ditjen Pajak termasuk ke dalam laba fiskal BCA. Kemudian berdasarkan hasil pemeriksaan itu, DJP kirimkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) ke BCA. Lalu BCA meresponnya dengan mengajukan keberatan kepada DJP atas koreksi laba fiskal itu.
Terlihat adanya perbedaan sudut pandang antara BCA dan Ditjen Pajak terkait dengan koreksi laba fiskal tersebut. Perbedaan sudut pandang itu kemudian dibawa melalui proses di Pengadilan Pajak. Selanjutnya, Pengadilan pajak menerima banding yang diajukan oleh BCA tersebut.
Lalu Hadi Poernomo pada tahun lalu, pada 21 April 2014, ditetapkan tersangka oleh KPK. Mantan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan yang juga eks Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, tersebut ditetapkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi penerimaan seluruh permohonan keberatan wajib pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil Pajak Pengasilan (SKPN PPh) BCA.
Kasus Hadi itu sendiri menarik untuk dicermati, Sebagian kalangan menilai kalau kasus Hadi terlalu 'dipaksakan' ditarik ke ranah pidana. Kasus itu dianggap ranah hukum administrasi, bukan pidana. Yang berpendapat seperti itu salah satunya adalah Profesor Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana di Universitas Padjadjaran Bandung. Dengan tegas, Romli menyatakan kasus sengketa pajak tak bisa ditarik ke ranah pidana, kecuali memang ada bukti tangkap tangan terkait suap dalam kasus itu. Penjelasan lebih lengkap tentang ini bisa dilihat di Pajak BCA - Kasus BCA di Tengah Pusaran Polemik.
Romli berpendapat kalau dasar penarikan kasus sengketa pajak ke ranah pidana, yang menyeret eks Dirjen Pajak, Hadi Poernomo, lemah. Ia memandang, tak cukup ada petunjuk kuat bahwa Hadi melakukan pemerasan. Romli pun berpendapat, komisi antirasuah baru menduga. Sementara penetapan tersangka dalam kasus korupsi, perlu dua alat bukti kuat. Sekarang pertanyaan yang diperlu ditunggu jawabannya menurut Romli, apakah dugaaan tersebut kuat atau tidak. Romli sendiri mengaku ragu, dugaan KPK terhadap Hadi disertai petunjuk dan bukti kuat. Terlebih, belum jelas, apakah Hadi dijerat dengan pasal gratifikasi atau pasal yang mana.
Namun Romli menegaskan dalam hukum pajak, sanksi yang berlaku adalah administrasi. Jadi tak bisa ditarik ke ranah pidana korupsi. Romli pun menyarankan, ke depan diperlukan pemisahan yang jelas dan tegas mengenai kapan sengketa pajak bisa dianggap sebagai kasus korupsi dan kapan itu pula itu semata administrasi. Kecuali kata Romli, dalam kasus sengketa pajak, ada tindakan penyuapan. Artinya, ada yang menyuap dan disuap. Bila seperti itu sengketa pajak berpeluang dibawa ke ranah tindak pidana korupsi.
Dalam kasus ini terdapat perbedaan sudut pandang antara BCA dan Ditjen Pajak. adanya pemasukan sebesar Rp 3,29 triliun yang berhasil ditagih Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) atas pengalihan piutang macet BCA pada 1998. BCA sebagai bank yang masuk kategori BTO tidak menerima bagian dari penghasilan menagih Rp 3,29 triliun itu. Jadi sebetulnya, dalam hal ini negara (BPPN) justru menerima pemasukan Rp 3,29 triliun.
Pengalihan piutang macet yang diterima oleh BPPN tidak menyebabkan kas BCA bertambah, sehingga tidak mungkin laba fiskal BCA menjadi sebesar Rp6,7 triliun. Sementara, DJP menilai koreksi Rp 5,77 triliun itu sebagai penghapusan piutang macet. Negara melalui BPPN sudah mendapat pemasukan Rp 3,29 triliun, namun disisi lain Negara melalui Ditjen Pajak menilai kalau pemasukan BCA tersebut merupakan laba fiscal dan dikenakan pajak. Jadi perbedaan tafsir pajak ini seperti membuat Negara untung sementara BCA buntung.