Mohon tunggu...
Inovasi

Testimoni Mengikuti Pelatihan Online Guru Melek IT (DOGMIT) Indonesia

13 Desember 2016   15:09 Diperbarui: 13 Desember 2016   15:23 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama kali mengikuti DOGMIT Indonesia pada bulan September 2015. Saya sudah menerapkan ilmu tentang membuat tes online. Tes online ini saya buat untuk persiapan siswa kelas XII yang akan mengikuti Ujian Nasional Online 2015. Dengan berlatih mengerjakan soal-soa lsecara online, siswa saya merasa lebih siap dan percaya diri dalam mengerjakan soal Ujian Nasional Online.

DOGMIT yang saya ikuti selanjutnya adalah tentang pemanfaatan Ppt. Meskipun saya sudah tahu dasar Ppt tapi saya merasa ada banyak ilmu baru yang saya peroleh dari mengikuti DOGMIT tersebuti. Saya juga telah menerapkan ilmu Ppt yang saya peroleh ini dalam proses pembelajaran di kelas saya. Di sini siswa saya merasa lebih paham dan jelas dalam proses KBM bersama saya. Hal ini tampak dalam antusiasme mereka yang lebih besar dalam belajar bersama saya di banding  sebelum saya mengikuti diklat ini.

Pelatihan online yang sedang saya ikuti saat ini juga membuat saya punya harapan yang lebih baik untuk perkembangan anak didik saya.

Tujuan saya mengikuti Pelatihan Online DOGMIT kali ini bukan sekedar untuk mendapatkan ilmu, pengalaman, teman,  apalagi sekedar mendapatkan sertifikat… tapi untuk terus belajar mengembangkan ilmu yang sejalan dengan kemajuan pesat teknologi dan informasi.

Saya termotivasi untuk mengikuti pelatihan DOGMIT “mengontrol perilaku siswa di sekolah dengan teknologi” karena saya merasa prihatin dengan sistem penilaian yang ada di sekolah sekarang ini, khususnya penilaian sikap. Aturan mewajibkan guru memberi nilai sikap kepada peserta didik minimal B (baik) sedangkan saya sering bingung tentang seperti apa indikator “baik” itu. Siswa yang sangat rajin dan sangat malas harus minimal berpredikat “baik” demikian juga siswa yang jujur ato pinter nyontek diberi predikat minimal “baik”. Padahal kenyataannya, perilaku siswa di sekolah bisa jadi bertolak belakang dengan perilaku mereka saat di luar sekolah, misalnya di rumah. Lalu nilai sikap itu jadi sulit terukur, khan? Parahnya lagi, saya mengalami kesulitan mengontrol perilaku peserta didik saya, minimal di sekolah. Saya tidak mungkin mengikuti mereka satu per satu saat istirahat dan di semua kegiatan mereka di sekolah juga, khan?

Tema “mengontrol perilaku siswa di sekolah dengan teknologi” yang ditawarkan DOGMIT ini sungguh membuat saya sangat penasaran bagaimana memanfaatkan teknologi untuk bisa dekat dengan peserta didik, untuk benar-benar memahami seperti apa mereka, bagaimana perkembangan mereka selama saya ajar, latih, dan saya didik. Jadi, bukan hanya sekedar memberikan predikat “baik” di nilai sikap mereka tapi saya ingin memastikan mereka itu benar-benar baik, yang belum baik bisa jadi benar-benar baik juga,  selama menjadi anak didik saya dan setelah melanjutkan kehidupan mereka setamat dari sekolah tempat saya mengajar mereka juga akan tetap baik dengan bekal pengajaran, pelatihan dan pendidikan yang mereka dapat dari bangku sekolah saat ini.

Perilaku siswa atau katakanlah “generasi muda” di Indonesia pada umumnya memang masih sangat memprihatinkan. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia dewasa ini menekankan pendidikan karakter di sekolah. Fakta menunjukan bahwa Indonesia masih masuk jajaran negara-negara terkorup dengan menempati peringkat ke-118 dari 174 negara. Selain itu, Badan Kehormatan DPR melaporkan ada 28 anggota dewan tersangkut masalah etika. (Kompas, 2012).

Fakta di atas membuktikan pada kita bahwa output produk pendidikan di Indonesia memiliki perilaku, sikap, karakter yang jauh dari nilai-nilai kepribadian bangsa yang luhur yang berlandaskan Pancasila.

Dari gambaran fakta keterpurukan sikap dan perilaku generasi muda Indonesia, apakah  guru yang dianggap salah? Apakah hal itu terjadi karena guru belum memiliki kompetensi yang memadai untuk mengintegrasikan nilai-niai karakter pada mata pelajaran yang diampunya? Atau karena ketidaktahuan guru, seperti saya, tentang bagaimana mendidik karakter siswa yang benar? Ironisnya, program pendidikan karakter sudah dijalankan, sementara pelatihan masih sangat terbatas diikuti guru. Guru mengalami keterbatasan waktu, kesempatan, ruang dan biaya untuk mengikuti pelatihan yang relevan.

Marilah kita singkirkan semua keterbatasan yang dimiliki guru dengan ikut pelatihan DOGMIT. Waktunya fleksibel, ada di setiap kesempatan (tinggal pilih saat manapun), tidak butuh ruang yang besar namun hanya bermodal komputer (desktop atau laptop) dan gadget saja dan yang pasti biayanya terjangkau. Ayo, kita manfaatkan teknologi untuk mengontrol perilaku siswa supaya pendidikan karakter yang sedang dikembangkan pemerintah Indonesia berhasil dengan sukses. Aamiiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun