Merkantilisme, sistem ekonomi dan politik yang mendominasi Eropa pada abad ke-16 hingga ke-18, berpusat pada akumulasi kekayaan dan kekuatan negara melalui perdagangan internasional. Kebangkitan Eropa sebagai kekuatan global bertepatan dengan penemuan benua Amerika, membuka jalur perdagangan baru dan membanjiri benua dengan emas dan perak. Merkantilisme mendefinisikan kekayaan nasional berdasarkan kepemilikan logam mulia ini, mendorong negara-negara Eropa untuk menerapkan kebijakan yang bertujuan meningkatkan persediaan mereka. Prinsip-prinsip utama merkantilisme meliputi:
1. Perdagangan internasional sebagai permainan zero-sum:Â
Paradigma perdagangan internasional sebagai permainan zero-sum, di mana keuntungan satu negara berarti kerugian bagi negara lain, didasarkan pada pemikiran merkantilisme dan asumsi persaingan, sumber daya terbatas, dan fokus pada neraca perdagangan.
Namun, paradigma ini dikritik karena mengabaikan interdependensi global, keuntungan komparatif, dan peran kerjasama internasional. Kesepakatan perdagangan dan kerjasama antar negara dapat menciptakan situasi win-win melalui peningkatan permintaan, transfer teknologi, penciptaan lapangan kerja, dan manfaat lainnya.
Kesimpulannya, perdagangan internasional tidak selalu zero-sum, dan kerjasama antar negara dapat menghasilkan keuntungan bagi semua pihak.
2. Intervensi negara dalam ekonomi:
Intervensi negara dalam ekonomi merupakan tindakan pemerintah untuk mempengaruhi jalannya ekonomi. Tujuannya beragam, seperti meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menjaga stabilitas, dan meningkatkan kesejahteraan sosial. Intervensi dapat dilakukan melalui berbagai bentuk, seperti kebijakan fiskal, moneter, perdagangan, dan peraturan.
Argumen yang mendukung intervensi negara berfokus pada mengatasi kegagalan pasar, menstabilkan ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan sosial. Namun, argumen yang menentang intervensi negara menekankan pada inefisiensi, ketidakadilan, dan kehilangan kebebasan.
Bentuk intervensi negara dapat berupa kebijakan langsung, tidak langsung, atau campuran. Tingkat intervensi yang optimal tergantung pada kondisi ekonomi, politik, dan sosial negara. Intervensi negara dalam ekonomi adalah isu kompleks dengan berbagai perdebatan dan contoh sukses dan gagal.
3. Kebijakan pro-ekspor:
Kebijakan pro-ekspor bertujuan untuk meningkatkan volume dan nilai ekspor suatu negara. Kebijakan ini dapat berupa pengurangan pajak, subsidi ekspor, promosi perdagangan, dan negosiasi perdagangan internasional.
4. Kebijakan proteksionis:
Kebijakan proteksionis melindungi industri dalam negeri dari persaingan asing dengan tarif impor, kuota, subsidi, dan larangan impor. Tujuannya untuk melindungi lapangan kerja, mengembangkan industri baru, dan meningkatkan keamanan nasional. Namun, kebijakan ini dapat meningkatkan harga bagi konsumen, mengurangi efisiensi, dan memicu perang dagang.
5. Monopoli perdagangan dengan koloni:
Monopoli perdagangan dengan koloni dipraktikkan oleh negara-negara Eropa selama era kolonialisme untuk mendapatkan akses ke sumber daya alam dan pasar baru. Hal ini membantu mereka meningkatkan kekuatan dan kekayaan, tetapi menyebabkan eksploitasi koloni, keterbelakangan ekonomi, dan ketidakadilan.
Monopoli perdagangan dilakukan melalui perusahaan dagang, tarif, bea cukai, dan larangan perdagangan. Dampaknya, koloni dipaksa untuk fokus pada bahan baku, menghambat perkembangan industri mereka, dan menjadi miskin.
Monopoli perdagangan merupakan strategi kolonial yang eksploitatif dan tidak adil, meskipun memberikan keuntungan bagi negara-negara kolonial.
Mari kita lihat dari kebijakan Brexit Inggris. Dimana Inggris yang kemudian memisahkan diri dari Uni Eropa, didorong oleh berbagai faktor, termasuk keinginan Inggris untuk memiliki kontrol lebih besar atas perdagangannya sendiri. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang hubungan antara Brexit dan Merkantilisme, sebuah sistem ekonomi yang menekankan pada proteksionisme dan intervensi pemerintah dalam perdagangan.
Merkantilisme berkembang di Eropa pada abad ke-16 dan ke-17, dan berfokus pada akumulasi kekayaan nasional melalui perdagangan internasional. Para penganut Merkantilisme percaya bahwa negara harus memaksimalkan ekspor dan meminimalkan impor untuk mencapai surplus perdagangan. Hal ini dapat dicapai melalui berbagai kebijakan, seperti tarif impor yang tinggi, subsidi untuk eksportir, dan regulasi perdagangan yang ketat.
Brexit dapat dilihat sebagai kebangkitan Merkantilisme di Inggris. Para pendukung Brexit berargumen bahwa Inggris akan lebih baik jika tidak terikat oleh aturan dan regulasi Uni Eropa, yang mereka anggap menghambat perdagangan bebas dan daya saing Inggris. Mereka percaya bahwa Inggris dapat menegosiasikan kesepakatan perdagangan bilateral yang lebih menguntungkan dengan negara-negara lain di luar Uni Eropa, dan bahwa Inggris dapat melindungi industrinya dari kompetisi asing dengan menerapkan tarif impor yang tinggi.
Potensi Keuntungan Kebijakan Brexit:
1. Peningkatan Proteksionisme:
- Tarif impor yang lebih tinggi dapat membantu industri dalam negeri Inggris bersaing dengan produk impor yang lebih murah. Hal ini dapat melindungi industri yang sedang berkembang, seperti manufaktur dan pertanian, dari persaingan asing.
- Proteksionisme dapat mendorong perusahaan multinasional untuk memindahkan produksi mereka ke Inggris, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan investasi.
- Namun, proteksionisme dapat meningkatkan harga barang dan jasa bagi konsumen dan dapat menyebabkan retaliasi dari negara lain, memicu perang dagang.
2. Peningkatan Daya Saing Ekspor:
- Inggris dapat memberikan subsidi dan insentif kepada eksportir untuk membantu mereka bersaing di pasar global. Hal ini dapat membantu perusahaan Inggris untuk meningkatkan pangsa pasar mereka di luar negeri.
- Inggris dapat menegosiasikan perjanjian perdagangan bebas dengan negara lain, membuka akses ke pasar baru bagi eksportir Inggris.
- Namun, subsidi dan insentif dapat membebani anggaran pemerintah dan dapat menyebabkan distorsi pasar.
3. Kesepakatan Perdagangan yang Lebih Menguntungkan:
- Inggris dapat menegosiasikan kesepakatan perdagangan bilateral dengan negara lain yang lebih sesuai dengan kepentingannya. Hal ini dapat memberikan akses yang lebih baik ke pasar baru dan meningkatkan peluang perdagangan.
- Inggris dapat menghindari regulasi Uni Eropa yang dianggap memberatkan dan dapat menentukan standar dan regulasinya sendiri.
- Namun, negosiasi perdagangan bilateral dapat memakan waktu lama dan kompleks, dan tidak ada jaminan bahwa Inggris akan mendapatkan kesepakatan yang lebih baik daripada yang dimilikinya sebagai anggota Uni Eropa.
Potensi Risiko kebijakan Brexit:
1. Kehilangan Akses ke Pasar Tunggal Uni Eropa:
- Inggris akan kehilangan akses ke pasar tunggal Uni Eropa yang terdiri dari 450 juta orang. Hal ini dapat menghambat perdagangan dan investasi Inggris dengan Uni Eropa.
- Perusahaan Inggris mungkin perlu mendirikan kantor di Uni Eropa untuk terus melayani pasar tersebut, yang dapat meningkatkan biaya.
- Konsumen Inggris mungkin mengalami kesulitan mendapatkan produk dan layanan dari Uni Eropa.
2. Peningkatan Biaya Perdagangan:
- Brexit dapat menyebabkan birokrasi baru dan regulasi yang lebih ketat untuk perdagangan antara Inggris dan Uni Eropa. Hal ini dapat meningkatkan biaya impor dan ekspor.
- Penundaan di perbatasan dapat terjadi karena pemeriksaan bea cukai dan kontrol lainnya.
- Hal ini dapat membuat perdagangan dengan Uni Eropa menjadi kurang efisien dan lebih mahal.
3. Ketidakpastian Ekonomi:
- Perceraian dari Uni Eropa dapat menyebabkan ketidakpastian dan volatilitas ekonomi. Hal ini dapat menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi.
- Nilai pound sterling mungkin turun, membuat impor lebih mahal dan inflasi meningkat.
- Ketidakpastian politik dan ekonomi dapat membuat Inggris menjadi tempat yang kurang menarik untuk berinvestasi dan berbisnis.
Sehingga meskipun sekarang merkantilisme tidak lagi dominan, kerangka kerjanya masih berguna untuk memahami motivasi di balik kebijakan ekonomi internasional di era modern. Analisis Brexit melalui perspektif ini menunjukkan bahwa Inggris, seperti negara-negara merkantilis Eropa sebelumnya, berusaha meningkatkan kekayaan dan kekuatan nasional melalui kontrol yang lebih besar atas perdagangan. Namun, keberhasilan jangka panjang dari strategi ini bergantung pada kemampuan Inggris untuk mengatasi potensi risiko dan beradaptasi dengan lingkungan perdagangan global yang terus berubah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H