JEC atau Jogja Every Core adalah komunitas musik dengan aliran musik underground. Komunitas yang berkerja sebagai penyelenggara acara musik underground ini pertama kali dibentuk pada tahun 2013 di TBY, yang diketuai oleh Sulis Setyo David. Komunitas JEC memiliki visi misi yaitu untuk menyebarluaskan dan memberikan support kepada band-band musik underground agar lebih dekat di telinga masyarakat.Â
Pada mulanya, Jogja Every Core belum memiliki struktur organisasi yang formal, sehingga hal ini berpengaruh pada perolehan pendapatan mereka, sehingga pada saat itu Jogja Every Core hanya memperoleh pemasukan dari partner mereka di bidang clothing, seperti Rero Limited, Secret, Vampire Kingdom, dan lainnya.Â
Akan tetapi pada generasi ke-empat, Jogja Every Core yang dipimpin oleh Bagas Putra Permana mulai membentuk struktur organisasi yang  formal, yang beranggotakan sebanyak 28 orang.
Walaupun sampai saat ini Jogja Every Core sudah mencapai generasi ke-empat, akan tetapi hubungan antar generasinya masih terjaga dengan baik. Hal ini ditunjukkan dari support yang selalu diberikan dengan saling membantu antar generasi, baik dalam hal apapun, tidak hanya dalam event tertentu saja.Â
Jogja Every Core merupakan salah satu komunitas musik yang bergerak dalam aliran musik anti mainstream, maka dari itu target pasar mereka tentunya berbeda dengan target pasar musik pada umumnya. Aliran musik seperti ini memiliki target pasarnya sendiri yang cenderung lebih sedikit dibandingkan target pasar aliran musik pada umumnya.Â
Tidak hanya itu, jenis musik yang komunitas ini bawakan, merupakan jenis musik dengan suara yang cukup keras dan memiliki ciri khasnya tersendiri, misalnya bisa dilihat dari cara berpakaiannya, dan lainnya.
Jika dilihat menggunakan perspektif Tree Diagram atau yang dikenal dengan pohon masalah menurut Silverman (1994), dapat ditemukan sebab dan akibat suatu permasalahan yang dihadapi oleh JEC. Misalnya, orang-orang yang terjun ke dalam aliran musik ini memiliki ciri khasnya tersendiri yang cukup unik, Â misalnya dari cara mereka berpakaian, perilaku, melodi musiknya, dan lainnya.Â
Keunikan yang mereka milik tentunya berbeda dari alira musik pada umumnya, maka tak jarang jika masyarakat memberikan stigma yang berbeda kepada orang-orang yang terjun dalam aliran musik jenis ini. Stigma negatif dari masyarakat inilah yang seringkali membuat aliran musik jenis ini kurang diminati, bahkan seringkali dihindari.
Salah satu pengalaman menarik yang pernah dialami oleh komunitas ini pada saat menyelenggarakan event musik adalah mendapatkan teguran berupa penyiraman air dari warga sekitar, karena suara yang dianggap mengganggu. Tindakan tersebut tentunya menunjukkan adanya penolakan dari warga sekitar terhadap jenis aliran musik ini.Â
Penolakan masyarakat ini dapat disebabkan karena masih asingnya aliran musik underground di telinga masyarakat, selain itu masih adanya stigma negatif dari masyarakat terhadap orang-orang dengan aliran musik underground. Sehingga masih banyak masyarakat yang memandang sebelah mata aliran musik ini.Â
Namun, hal ini menjadi tantangan tersendiri yang mampu mengukur keberhasilan Jogja Every Core agar dapat mengenalkan aliran musik underground kepada masyarakat, yang tentunya sejalan dengan visi misi awal terbentuknya komunitas Jogja Every Core.