Mohon tunggu...
Agnes F Laylicha
Agnes F Laylicha Mohon Tunggu... -

Amazing Students | Journalist | freelancer | I'm a writer so I write | Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya" -P.A.T- | contact : agneslaylicha@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Disabilitas : Kecamuk antara Kemanusiaan, Keadilan, dan Realita

10 Juli 2013   00:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:46 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Berkembangnya isu mengenai disabilitas di dalam masyarakat akhir-akhir ini semakin membuka mata kita akan betapa masih dianggap tabunya disabilitas itu sendiri. Disabilitas yang dalam pehamaman masyarakat awam adalah suatu bentuk ketidakmampuan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan dikarenakan keterbatasan fisik, mental maupun keduanya, telah menimbulkan berbagai pemahaman yang tak lagi bisa dirasakan relevan bahwa setiap orang dengan suatu keadaan disabilitas hanya membutuhkan adanya sarana prasana guna menunjang kebutuhan fisik secara khusus tanpa dibarengi dengan adanya pengertian bahwa justru yang dibutuhkan dalam keadaan tersebut adalah adanya penyetaraan sosial serta “perlakuan” yang sama. Dalam hal ini, tentu saja justru bukan menjadi suatu ajang untuk mengedepankan kesetaraan yang berbasis rasa belas kasihan yang semakin lama justru akan memupuk adanya “batas”  dan “pembeda” yang secara sadar ataupun tidak akan mengendap selapis demi selapis hingga akhirnya semakin memunculkan adanya stigma dan pemikiran bahwa orang-orang dengan kebutuhan khusus hanya akan menjadi komunitas tersendiri yang dalam tatanan masyarakat akan semakin terpojok dan terkungkung dengan isu-isu mengenai “keterbatasan” yang meski dalam realitanya, mereka memiliki kemampuan dan pemikiran luar biasa apabila dikembangkan dan sudah tentu pasti akan menjadi gebrakan serta mampu digunakan untuk mewujudkan adanya kesataraan dalam masyarakat itu sendiri.

Jika kita amati lebih lanjut, adanya isu mengenai keadilan bagi penyandang disabilitas di zaman dengan teknologi dan pemikiran individu-individu yang semakin berkembang ini, telah memasuki suatu fase yang ironisnya justru semakin menggerus ke dalam suatu bentuk dimensi kedisabilitasan secara sosial. Kedisabilitasan sosial yang dimaksudkan di sini bukan menyorot mengenai semakin tidak pekanya masyarakat terhadap isu sosial di sekitar mereka, namun justru mengenai pemahaman terhadap kepedulian akan disabilitas yang telah didasari dengan konsep serta pemikiran yang salah yang akan mengarah kepada jurang pembeda yang justru nantinya muncul di sela kepedulian tersebut.

Konsep serta pemahaman dasar inilah yang selayaknya perlu diubah untuk memperbarui sistem yang telah lama mengakar dalam kehidupan masyarakat. Tujuannya adalah tak lain untuk mewujudkan suatu tatanan masyarakat yang berbasis keadilan, kesetaraan, dan tidak lagi memandang adanya mana yang harus diberikan “perlakuan”  khusus dalam suatu taraf pengertian dan pemahaman sosial. Hal ini juga sepatutnya dilihat pada segi atau bagian di mana seorang penyandang disabilitas memang perlu diberikan bantuan atau sarana prasarana guna menunjang kemandirian, efektifitas, peningkatan kepercayaan diri serta untuk meningkatkan kesejahteraan dan penyataraan sebagai seorang warga negara dalam berbagai aspek kehidupan.

Faktanya, pengubahan suatu pemahaman yang sudah mendarah daging di dalam kehidupan masyarakat tidak lah semudah membalikan telapak tangan. Seperti yang telah kita ketahui bersama, sebenarnya sudah lama pemerintah mengupayakan dan membantu penyandang disabilitas dalam kaitannya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka seperti halnya yang diatur dalam UU No 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Dalam undang-undang tersebut, diatur secara terprinci mengenai hak-hak apa saja yang seharusnya penyandang disabilitas terima, kebijakan serta usaha apa saja yang akan dilakukan pemerintah guna meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup mereka hingga menyangkut tindak pidana apa saja yang akan dijatuhkan bagi mereka yang melanggar dan tidak memperlakukan penyandang disabilitas dengan layak. Bahkan yang lebih hebatnya lagi, dalam undang-undang tersebut, pemerintah juga telah menyarankan kepada instansi atau lembaga-lembaga untuk mempekerjakan para penyandang disabilitas dan tak  tanggung-tanggung, pemerintah sendiri akan memberikan penghargaan bagi perusahaan-perusahan yang sekiranya mau dan mampu menerima para penyandang disabilitas sebagai pekerja mereka dan memperlakukannya secara adil dan setara dengan pekerja non-difabel lainnya. Hebat dan luar biasa bukan?

Belum lagi menurut survey dari data Kementrian Sosial pada 2010 menyebutkan jika penyandang disabilitas di Indonesia yang berjumlah 11.580.117 orang dan kenyataannya 80% dari mereka belum juga memiliki pekerjaan tetap dikarenakan peluang kerja yang sangat sempit bahkan nyaris tidak mungkin untuk mereka lakukan. Lagi-lagi, hal ini adalah akibat paradigma masyarakat yang telah mengakar salah dibumbui dengan unsur diskriminasi yang meskipun kecil tapi tetaplah ada dan hal itu tak mungkin dapat disangkal.

Bisa kita lihat secara nyata, dalam hal ini, sedari awal yang menjadi sorotan dari A hingga Z hanyalah bagaimana seharusnya penyandang disabilitas lah yang menjadi satu-satunya untuk mengusahakan diri mereka sendiri agar dapat menyatu dengan masyarakat lewat berbagai pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh pemerintah dalam beberapa waktu lamanya tanpa dibarengi bagaimana pemerintah  pun juga seharusnya mengupayakan hal serupa kepada masyarakat luas, bukan hanya memberikan saran disertai iming-iming penghargaan lebih terhadap mereka yang mau mempekerjakan orang-orang yang dikatakan dengan berkebutuhan khusus ini. Jika hal ini terus dilanjutkan, bagaimana selayaknya kesataraan dan keadilan bagi para penyandang disabilitas dengan masyarakat pada umumnya bisa tercipta dan tidak lagi terjadi komunikasi satu arah di mana satu sisi berusaha untuk menyesuaikan diri dan berjalan mandiri sedang di sisi lainnya sebagian dari orang-orang yang sering dikatakan “normal” hanya melakukan suatu usaha berkedok “welas asih” dan kemanusiaan tanpa pemberian kesempatan yang sebenarnya dan terlebih lagi adalah tanpa memberikan adanya penanaman serta pengertian terhadap adanya kesetaraan.

Sama halnya dengan berbagai pelatihan yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk menunjang kemampuan untuk para penyandang disabilitas yang seperti tidak menemukan titik akhir tujuannya. Tidak lagi bertujuan setelah akhir pelatihan akan membukakan gerbang menuju dunia kerja, tetapi pada akhirnya pemerintah seolah lepas tangan dan seperti sudah menyerahkan kembali urusan itu terhadap setiap individu tanpa memberikan bimbingan dan kesempatan lebih lanjut. Hukum dan keadilan bagi penyandang disabilitas yang sepantasnya dijunjung tinggi tersebut seolah tidak tersentil sedikit pun apabila sudah menyentuh area di lapangan. Sebagai contoh, tidak hanya dalam bidang ketenagakerjaan saja isu sosial mengenai disabilitas hadir. Dalam urusan pendidikan pun para penyandang disabilitas seperti absen atau mungkin lebih dikarenakan keadaan dipaksa absen dari kebutuhan mendasar mereka akan pendidikan. Dunia pendidikan yang selama ini mengalami kemajuan pesat dan bergejolak seperti mati rasa jika sudah menyentuh ranah pendidikan bagi penyandang disabilitas.

Dalam kehidupan masyarakat luas, dunia pendidikan bagi masyarakat dengan disabilitas adalah sebatas SLB (Sekolah Luar Biasa) yang selama ini pun telah dikategorikan menurut kemampuan mereka. Tiap-tiap dari mereka sebenarnya menempuh  pendidikan tersebut sebagaimana orang-orang non-difabel pada umunya. Hanya saja yang menjadi masalah adalah jika orang-orang non-difabel setelah menamatkan pendidikan mereka di tahap SMA misalnya, banyak tingkat pendidikan lebih lanjut yang barang tentu pasti akan mau dan bisa mereka pilih untuk meneruskan pembelajaran untuk bekal kehidupan mereka ataupun untuk pengalaman di dunia kerja nantinya. Lantas bagaimana dengan para penyandang disabilitas apabila ingin melanjutkan pendidikan mereka? Bagaimana jika mereka ingin memperoleh pengalaman lebih setelah lulus dari SLB?  Jawabannya bisa kita lihat dalam realita. Sebagian besar perguruan tinggi di Indonesia, meski tidak semua, rasanya akan berpikir ulang untuk mengambil tanggung jawab sebagai institusi pendidikan yang bersedia menyediakan tempat bagi para difabel dengan dalih tidak adanya sarana prasana yang mampu untuk menunjang kebutuhan para difabel. Namun, jika kita tilik kembali, rasanya bukankah itu adalah masalah yang sudah bertahun-tahun hadir di pendidikan Indonesia? Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, belum adanya waktu untuk berpikir sejauh itu atau justru belum adanya keinginan untuk mensejajarkan orang-orang dengan disabilitas dengan masyarakat lainnya untuk memenuhi hak asasi mereka? Hak dasar untuk memperoleh pendidikan. Hal seperti inilah yang secara tidak kita sadari semakin membuat melencengnya tujuan yang pada awalnya seperti dikatakan dalam undang-undang bahwa pemerintah akan mengupayakan pemenuhan kesejahteraan dan kesetaraan bagi para penyandang disabilitas. Dengan bergulirnya waktu dan zaman, tak diragukan lagi jika semakin tidak dipedulikannya pemenuhan kesejahteraan untuk para penyandang disabilitas bahkan terhadap hal yang paling krusial yakni dengan adanya pemenuhan akan kebutuhan pendidikan dan kesetaraan, sudah menjadi jaminan bahwa kehidupan yang terpinggirkan bahkan anggapan menjadi beban keluarga atau bahkan masyarakat akan semakin melekat kepada mereka. Ditambah rasa belas kasihan yang berkepanjangan dari orang-orang sekitar hingga akhirnya membuat para penyandang disabilitas akan semakin terperosok ke dalam ketidakercayaan diri terhadap diri dan pada kemampuan yang sebenarnya mereka miliki.

Keadaan tak jauh berbeda ketika para penyandang disabilitas ini berusaha untuk melakukan pembuktian diri dengan mengukir prestasi bahkan ditingkat internasional. Beberapa waktu lalu, sempat menjadi sorotan bagaimana Oktaviani Wulansari sebagai perwakilan Miss Deaf Indonesia 2012 bersama Gerkatin Solo (Gerakan Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia) berusaha untuk mencari sponsor untuk dana keberangkatan guna mengikuti ajang Miss Deaf World 2012 di Praha, Republik Ceko. Ironis memang, bagaimana seorang duta bangsa yang seharusnya mendapat dukungan baik moril maupun materil dari masyarakat ataupun pemerintah musti bersusah payah mencari sponsor haya untuk membeli tiket pesawat pulang pergi. Apa sebenarnya perbedaan dengan kontes serupa yang selama ini telah menjadi ajang rutinitas kalangan masyarakat Indonesia? Kurang pamor kah? Kurang adanya publikasi dan dukungan kah? Entahlah. Yang ada, dalam fase ini disabilitas bagaikan kecamuk antara mana yang haruslah didahulukan : kemanusiaan, keadilan atau kah justru realita yang akan mendominasi.

Kenyataan bahwa diperlukan adanya penunjangan sarana dan prasarana yang tidak hanya terpusat dalam bidang pemenuhan kebutuhan akan pekerjaan dan pendidikan selayaknya menjadi sorotan, terlebih lagi betapa seharusnya sarana untuk menunjang prestasi menjadi suatu kebutuhan yang tak terelakkan. Masyarakat secara luas dan pemerintah, seyogyanya haruslah mampu bergotong royong membentuk suatu sinergi untuk menciptakan hajat hidup yang lebih baik secara keseluruhan dan tentu saja untuk para penyandang disabilitas.

Peran serta pemerintah sebagai pelaksana hukum dan penegak keadilan di dalam lingkungan sosial masyarakat seharusnya lebih ditekankan pula kepada aspek kesataraan dan usaha untuk merubah secara perlahan-lahan paradigma masyarakat mengenai penyandang disabilitas yang selama ini telah tercipta meskipun dalam prakteknya hal itu memang memerlukan waktu yang tidak mungkin sebentar dan sekejap mata. Pensosialisasian dan pendekatan berbeda perlu dilakukan guna menyelesaikan disabilitas sosial masyarat yang sudah mulai mengakar ini. Pendekatan tidak lagi dilakukan satu arah yakni hanya dengan mengarahkan, melatih seta memberi semangat kepada para penyandang disabilitas semata. Lebih dari itu, segala proses akan menjadi sia-sia apabila tidak dibarengi dengan usaha dari pemerintah serta masyarakat luas dan orang tua yang awalnya awam dan tidak mengerti mengenai disabilitas dan segala bentuknya untuk menyadari betapa dibutuhkannya usaha dan dukungan untuk turut serta menyatu dengan para penyandang disabilitas dan menciptakan kesetaraan dan kesejahteraan nyata yang tidak hanya sekedar bersifat teoritis dan hanya menjadi peraturan yang tercantum dalam undang-undang semata tanpa dibarengi usaha dan realisasi yang tepat sasaran dan efektif,  tapi juga mampu mewujudkan keadilan hukum dan kehidupan yang layak tidak hanya bagi para penyandang disabilitas, tetapi juga untuk semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali.-AFL-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun