Mohon tunggu...
Agnes F Laylicha
Agnes F Laylicha Mohon Tunggu... -

Amazing Students | Journalist | freelancer | I'm a writer so I write | Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya" -P.A.T- | contact : agneslaylicha@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

(Mungkinkah) Pergeseran Fungsi Keluarga oleh Tayangan Sinetron yang Membudaya?

13 September 2013   03:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:58 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa waktu ini saya merasa bukan lagi hal sulit untuk memperoleh sumber hiburan ditengah majunya teknologi dan zaman. Membanjir dan beragamnya acara di televisi mungkin dapat dijadikan sebagai salah satu indikasi berkembangnya daya kreatifitas serta inovasi industri hiburan. Benarkah? Mungkin bisa jadi benar dan mungkin bisa jadi juga tidak.

Akan tetapi, kalau ditanyakan bagian dari industri hiburan apa yang paling merakyat dan dekat di hati masyarakat meskipun zaman semakin berkembang, sinetron televisi yang tentu akan menjadi pilihan. Jumlah episode hingga mencapai ratusan dianggap lumrah bahkan merupakan prestasi. Ya memang, dari segi kuantitas tentulah itu merupakan pencapaian tersendiri, tetapi bagaimana jika dipandang dari segi kualitas?

Saya bukan salah satu penikmat sinetron yang kian marak di televisi. Saya pun bukan lah pengamat dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang pasti lebih paham akan seluk-beluk kepenyiaran di negara ini. Saya hanya warga negara biasa yang setiap pukul enam sore ketika menyalakan televisi akan mulai disuguhi dengan tontonan drama sinetron dengan tema beragam berinti sama.

Ya, drama televisi yang kebanyakan bertema fiksi dan fantasi ini menjadi pemandangan yang tak hanya disaksikan oleh saya seorang, akan tetapi juga warga Indonesia lainnya (yang selama ini hanya dikaitkan dengan ibu rumah tangga). Memang tak ada yang salah dengan cerita fiksi yang toh merupakan rangkaian imajinasi pengarangnya. Namun, bagaimana dengan cerita fiksi fantasi yang “membudaya”?

“Budaya” yang saya ingin bicarakan di sini adalah jenis budaya yang sayangnya justru seolah menggeser peran keluarga di dalam masyarakat. Konsep dari peran keluarga yang seyogyanya disajikan sebagai agen primer pemberi edukasi dan bentuk dari suatu hubungan afektif dijungkir-balikkan menjadi hal yang berlawanan oleh berbagai tayangan drama sinetron ini. Saya tidak menggeneralisasikan bahwa hubungan setiap keluarga pasti lah harmonis dan setiap drama sinetron berlaku sama. Akan tetapi, layak dan cukup setimpal kah “budaya” yang jarang membawa pesan edukatif ini disosialisasikan secara tidak langsung ke masyarakat?

Cukup disesali memang ketika sarana hiburan dalam masyarakat hanya bertumpu pada sebatas tingginya rating dan banyak episode. Kebutuhan masyarakat akan hiburan yang edukatif dengan drastisnya tergeser dengan hiburan imajinatif yang dirasa tak lagi relevan. Relevan bagi siapa? Apakah hanya bagi saya? Bentuk relevan yang seperti apa?

Saya rasa, jika ingin menilisik lebih jauh, sebenarnya masalah ini bagaikan memegang ujung dua mata pisau yang sama-sama tajam. Sudah menjadi hak bagi setiap warga negara untuk memperoleh tayangan yang tak hanya menghibur tapi juga edukatif, bukan? Apakah saya terhibur ketika menonton sebuah drama fiksi yang bercerita tentang antarsaudara yang saling jatuh-menjatuhkan untuk memperebutkan warisan keluarga? Tentu saja. Saya akan merasa tertarik siapa yang akan akhirnya menang dan apa yang akan terjadi pada si jahat di akhir cerita. Namun, setelah itu adakah sisi edukatif yang bisa membekas untuk pelajaran hidup saya selain yang baik akan menang dan yang jahat pasti berakhir mengenaskan? Faktanya, saya cukup jarang menemukan hal semacam itu. Bahkan, justru sering kali pemahaman mengenai budi pekerti yang saya pelajari di sekolah dibabat habis dalam hanya waktu satu jam durasi tayang .

Ada juga yang berkata bahwa jika tayangan hiburan yang tak tepat sasaran ini jika berlanjut akan menyebabkan pergeseran moral yang ada. Kalau boleh berpendapat, yang dikatakan sebagai moralitas pun bukankah sebenarnya juga terbentuk akan kebiasaan yang berada di masyarakat yang akhirnya menjadi suatu “hukum” yang membudaya?

Yang dikatakan “moralitas” ini pun belum tentu memiliki batasan yang sama baik bagi saya maupun Anda. Setiap orang dan lingkungan masyarakat yang berbeda memiliki presepsi tentang batasan moral yang berbeda pula. Namun, yang saya harapkan jangan sampai generasi setelah saya dan Anda justru karna akibat “budaya” hiburan yang tak tepat sasaran dan mungkin menjadi kebiasaan ini merubah pula presepsi terhadap peran serta fungsi keluarga yang seharusnya. Peran keluarga yang juga sebagai tempat pengayom dan pelindung serta keluarga sebagai agen pemberi edukasi dan bekal untuk menjadi generasi yang lebih baik kedepannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun