Apa yang bisa dicontoh dari seorang pembunuh berantai? Jelas bukan teknik membunuhnya. Sulit dibayangkan bagaimana mungkin seseorang yang telah menghabisi nyawa banyak orang ini bisa menjadi semacam tokoh panutan. Apakah ada di antara Anda yang menyukai Ryan Jombang, Baekuni alias Babe, atau Robot Gedek? Karena saya percaya jauh lebih banyak orang baik (atau normal?) dibandingkan orang jahat (atau gila?) di dunia ini, saya yakin sebagian besar menjawab “tidak.” Jadi, mengapa Dexter bisa demikian disayangi? Mengapa film seri tentang seorang tokoh antagonistik dan gelap bisa terus bertahan hingga lima musim dan sampai beberapa kali mendapat nominasi penghargaan Emmy sebagai serial drama terbaik? Rasa penasaran adalah wajar dan alami karena kita sebagai penonton selalu ingin mengintip “apa yang sebenarnya terjadi di dalam bilik gelap seorang pembunuh,” tapi ini bukanlah faktor yang menyebabkan kita jatuh hati kepadanya. Ada hal-hal yang dimiiki Dexter namun tidak dimiliki pembunuh-pembunuh berantai lainnya. Atau, sebaliknya, ada hal-hal yang mereka lakukan yang tegas-tegas tidak dilakukan Dexter. Dexter serupa namun tak sama dengan Robin Hood, si maling budiman, meskipun tidak tepat juga menjulukinya “pembunuh budiman,” karena ia keji dan tanpa ampun terhadap korban-korbannya. Sedikit mengenai latar belakang Dexter Dexter Morgan bekerja untuk Kepolisian Metro Miami sebagai pakar forensik dengan spesialisasi analisa cipratan darah (hmm… cipratan darah aja ada sekolahnya!) Adik tirinya, Debra Morgan, adalah detektif di kepolisian itu. Ibu kandung Dexter, Laura Moser tewas mengenaskan dengan cara dimutilasi disaksikan langsung oleh Dexter kecil yang saat itu berumur 3 tahun. Itulah awalnya Dexter diadopsi oleh Harry Morgan, ayah kandung Debra, yang juga seorang polisi. Harry yang sudah mengetahui kecenderungan gelap putra angkatnya (sejak kecil serta merta membunuh anjing tetangga yang tak hentinya menggonggong hingga mengganggu tidur ibunya, juga hewan-hewan lain yang dianggap pengganggu ketentraman), tahu bahwa dirinya tidak punya kuasa untuk menghentikannya. Seiring waktu, naluri membunuh Dexter semakin tumbuh. Satu-satunya yang bisa dilakukan Harry sebagai orangtua adalah menerima kenyataan pahit itu sebagai bagian dari eksistensi putranya. Ia menerapkan semacam manual atau “tatacara membunuh yang baik… eh, maksud saya, efektif dan efisien.” The Harry’s Code Never do it to a kid Sekriminil-kriminilnya Dexter, dia tidak ada hati untuk melukai anak-anak. Dia dekat dengan anak-anak Rita, sang pacar. Ini mencerminkan pula pola hubungan bapak-anak antara Dexter dan Harry. Di antara trauma-trauma yang dialami di masa kecilnya, sosok Harry hadir sebagai penyeimbang bagi Dexter yang bagaikan keramik, sudah retak sejak tragedi terbunuhnya ibu kandungnya. Dari diri Harry, Dexter merasakan penerimaan yang luar biasa. Maka tidak mengherankan jika Dexter pun memiliki standar serupa terhadap anak-anak. Menyadari bahwa sebuah tragedi dapat mengubah seorang anak kecil tak berdosa menjadi monster, Dexter akan melakukan apa saja untuk melindungi jiwa-jiwa yang masih suci itu. Dan bisa diduga, salah satu korban Dexter adalah golongan “pemangsa” anak-anak alias pedofilia. Jadi, jangan coba-coba samakan dia dengan Robot Gedek atau Babe Baekuni. Mereka justru korban-korban potensial Dex! Killing with a cause Harry tidak mampu menghentikan Dexter untuk menghabisi nyawa orang, tapi ia bisa melarangnya untuk membunuh tanpa alasan yang jelas. “Make sure the world is a little bit better after the crook dies, otherwise, it’s nothing more than murder.” Ya, membunuh orang pun harus ada misinya. Harry hanya mengijinkan Dexter membunuh “sampah masyarakat,” yang hanya akan membuat lebih banyak manusia merana jika dibiarkan hidup. Karena “sampah” maka tempat terbaik bagi mereka adalah kantong-kantong sampah. Bagian akhir dari ritual Dexter adalah membuang kantong-kantong sampah berisi… (Anda tahu berisi apa) ke tengah laut. Tercatat, selain pedofilia, pengedar narkoba, jaksa korup, perawat malpraktik, dan penculik/penjual anak-anak termasuk ke dalam daftar maut Dexter. Kalau Anda disuruh membuat daftar “sampah masyarakat” seperti itu, siapa saja yang ingin sekali Anda masukkan? (Saya punya daftar saya, mungkin kapan-kapan bisa kita cocokkan, siapa tahu ada yang sama…) Maka cukup jelaslah bahwa karakter seperti Dexter adalah simbol angan-angan bawah sadar kita tentang keadilan yang kadang tidak bisa ditegakkan di jalur hukum formal. Begitu banyaknya kejahatan yang tidak tersentuh hukum yang membikin rasa keadilan kita geram dan sekaligus tidak berdaya. Dan bukankah kita diam-diam bersyukur apabila tokoh seperti Dexter benar-benar ada? No matter how you feel, when somebody is taking your photo, SMILE! Justru karena Dexter berbeda, Harry megajarkannya untuk tampil sama seperti orang-orang kebanyakan. Dexter remaja sulit menerima penjelasan Harry mengapa ia harus berpura-pura normal, tetapi Harry meyakinkannya bahwa tidak ada cara lain apabila ingin bertahan hidup dan selamat dari jeratan hukum atas perbuatannya. Semakin dewasa nilai ini makin tertanam dalam dirinya. Walaupun sejak awal menyadari kekosongan dalam dirinya (ia tidak memiliki emosi-emosi sedih, gembira, kehilangan, kekhawatiran sebagaimana yang dirasakan manusia normal, selain dari insting hewaninya), Dexter semakin mahir menjalankan perannya sebagai orang biasa. Ia hidup bersih dari rokok dan narkoba, menjaga hubungan kakak-adik yang sangat baik dengan Debra, menjadi anak yang baik bagi Harry (dalam artian, menuruti sebagian besar nasihat-nasihat Harry), mengencani perempuan baik-baik dan kemudian menikahinya, menjadi ayah dan suami yang baik, menjadi teman yang relatif baik bagi rekan-rekan kerjanya, dan menjalankan profesinya sebagai ahli forensik dengan sangat baik pula. Dexter adalah Dr. Jekyll dan Mr. Hyde, menjalani kehidupan gandanya dengan nyaris sempurna. Nyaris, karena dalam perjalanan hidupnya, Dexter bertemu dengan tokoh-tokoh yang begitu dekatnya dengan penyingkapan tabir jati dirinya yang sebenarnya, yang berarti mengancam ke-”normal”-annya. Di Season I dari serial Dexter, ada “the ice truck killer” yang tak lain adalah kakak kandung Dexter, yang sama-sama mengalami trauma kematian sang ibu. Di Season II, ada Detektif Doakes yang selalu mencurigai gerak langkahnya, dan Lila, wanita neurotik yang merasa diri belahan jiwa Dexter. Di Season III ada Miguel Prado, jaksa penuntut kenamaan yang sempat menjadi partner kejahatan Dexter. Lalu, di Season IV ada Trinity, pembunuh berantai yang berhasil merangsek masuk ke sisi kehidupan normal Dexter dan menghabisi nyawa istrinya. Semua nama tersebut, terkecuali Doakes, berakhir di dasar laut di dalam kantong-kantong sampah. Faktor Harry’s Code atau Nilai-nilai Harry yang diterapkan Dexter-lah yang menjadikannya memiliki kualitas manusiawi yang tetap terpelihara. Meskipun Dexter terkesan datar, dingin, tanpa emosi, ada saat-saat di mana kita tersentuh oleh kata-kata dan perbuatannya, terutama terhadap Debra, Rita, dan anak-anaknya. Menjalani kehidupan ganda itu seorang diri setelah kematian Harry, membuatnya menjadi karakter soliter, menanggung segala beban dan di saat yang bersamaan harus menjadi “normal,” yang tidak terhindarkan menerbitkan rasa kasihan kita kepadanya. Faktor lain, dan ini yang sebenarnya lebih menakutkan, adalah sifat pendendam yang sedikit-banyak ada di dalam diri kita masing-masing “mengijinkan” kita untuk menantikan aksi-aksi Dexter. Kita ingin orang-orang jahat itu mati! Bukankah itu sangat manusiawi/hewani?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H