Namaku Citra. Nama yang senantiasa membuatku mendesah napas berat, seakan ada kantung kain kecil berisi pasir menggelantung di dadaku. Mungkin hidupku akan habis tanpa aku menemukan jawab atas makna namaku, maknaku sendiri. Entahlah.
Citra. Lengkapnya Christina Citra. Aku lahir di bulan Mei 1983, tepat di malam Christine Hakim memenangi Piala Citra. Papa, seorang soundman di stasiun TV daerah sekaligus pengamat perfilman nasional amatir, terlalu kontemporer untuk menamai anaknya (perempuan dan satu-satunya) sesuai nama-nama bunga (Melati, Rosa Yasmin, Bunga, Sekar, atau Leli), benda-benda langit (Wulan, Kartika, Suryani…), atau urutan (Eka, Prima, One, dan sebagainya). Apa yang menjadi passion papaku, begitulah ia menamaiku. Malam itu, papa melonjak-lonjak sebanyak dua kali: pertama saat diumumkan bahwa Citra jatuh ke tangan aktris jawaranya (sekaligus menang taruhan rokok sebos dari rekan-rekan kantornya); kedua saat aku akhirnya lahir setelah menyakiti mamaku selama 27 jam. Papaku tak lagi peduli bentakan-bentakan mama sehari semalam akibat tak kuat menahan sakit. Dan kurasa mamapun menyesali sudah mengasari papa sekalipun itu ia lakukan di luar kesadaran normalnya, karena tak genap setahun setelah aku dilahirkan, papaku meninggalkan kami untuk selama-lamanya.
Sepeninggal papa, mamaku hanya punya aku. Sekalipun aku tahu mama begitu sangat mencintaiku, aku tumbuh dengan rasa cinta dan benci sekaligus terhadap wanita itu Cintanya lebih menyerupai cambuk dan sekaligus belenggu bagiku. Aku tahu ia jatuh bangun membesarkan aku seorang diri dengan usaha kue keringnya. Ia tinggalkan hobi melukisnya (sesuatu yang produktif ia lakukan semasa mudanya), karena tenaganya hanya bisa ia salurkan untuk memenuhi pesanan para pelanggannya,. Ia hanya dibantu seorang tetangga untuk mengerjakan segala sesuatunya, hingga tak jarang membuatnya tegang dan mengubahnya menjadi seorang wanita penggerutu, pengatur dan pengekang bagi aku. Mungkin karena oven-oven panas itu, suasana di rumah sering pula menjadi panas dan membuatku tak betah di rumah. Sewaktu aku kecil, sering aku dibawa Mbah Marto tetanggaku ke rumahnya untuk ikut bermain bersama cucu-cucunya dan terbebas dari ledakan mamaku yang tak cukup sabar menghadapi anaknya yang menabrakkan sepeda roda tiganya secara tak sengaja ke loyang-loyang di lantai. Hardikan mama yang bertubi-tubi dan tangisanku yang melengking-lengking cukup membuat Mbah Marto bergegas masuk rumah tanpa permisi dan menggendongku keluar. Sebuah kejadian klasik. Sewaktu aku sudah tahu caranya naik kendaraan umum sendiri, aku biasanya melarikan diri ke toko buku atau kembali ke sekolah dan menghabiskan waktu di perpustakaan sampai sekolah tutup. Apapun untuk menghindar dari serbuan aroma janagel, lidah kucing, kastengel, nastaart, atau apapun yang dibuat mama, dan uap panas yang selalu menyelimuti rumah kami yang entah berasal dari tungku masak atau dari jiwa-jiwa kami yang terluka.
Meskipun beberapa kali mama terlibat dengan pria-pria lain (entah menikah resmi, entah tidak, aku sendiri tak pernah tahu pasti hingga kini), tak satupun dari mereka yang berminat untuk menjadi tokoh ayah bagiku. Mungkin karena aku senantiasa tranparan sejak lahir. Tak ada satupun yang berhasil aku sembunyikan mengenai perasaan-perasaan dan pikiran-pikiranku kepada orang lain, seberapapun upayaku. Mereka tahu itu dari sorot mataku dan kebekuanku. Mereka tahu namaku tak sesuai dengan kenyataanku. Bukankah Citra seharusnya tumbuh menjadi anak gadis yang manis yang kelu menelan kepahitannya tanpa kata? Bukan Citra yang meskipun mulutnya diam tapi ujung penanya kasar dan kotor seperti aku yang suka mencorat-coret tembok penuh dengan makian-makian berbahasa Inggris yang aku dapatkan dari hasil membaca buku-buku naskah asing milik almarhum papa. Yang sejak belajar menulis sudah suka menulis surat untuk “yang di sana” penuh dengan amarah untuk kemudian kugelontor di kloset atau kubakar di belakang rumah. Tak terhitung surat “suci” yang ku”tuju”kan kepada para lelaki mama itu, karena bagiku mereka hanya menginginkan kenikmatan sesaat dari mamaku. Aku membenci mereka, dan membenci kenyataan bahwa mama punya hati untuk membawa mereka pulang untuk tinggal bersama kami. Sewaktu di SMA aku punya ibu guru yang juga bernama Citra. Tak sepertiku, dosa terbesarnya hanyalah sekedar mencintai bapak guru Hadi yang berbeda keyakinan darinya. Betapa anggunnya Ibu guru Citra mengemban namanya. Ia tulus mencinta tapi tak berniat melukai kedua orangtuanya, sehingga akhirnya kudengar ia menikahi lelaki pilihan orangtuanya. Begitu bermartabat sesuai namanya. Sayangnya, ibu guru Citra hanya mengajarkan Geografi dan bukan bagaimana menghayati kedalaman namamu, Tak ada seorang pun yang mengajarkannya padaku. Tak heran Citra versi-ku begitu liar. Bagi para lelaki mama, Citra yang ini begitu menakutkan. Aku bagaikan bara api yang terus mengikuti gerak langkah mereka. Mungkin itu sebabnya mereka, satu per satu, meninggalkan mama. Semua pria di dunia ini boleh saja meninggalkan mamaku, tetapi ia selalu punya aku seorang.
Aku pernah mengira mama membenciku karena telah membuat hidupnya sulit. Kata orang-orang, mamaku dulu sangat cantik dan suka sekali tertawa. Sekalipun jari-jari lentiknya sering belepotan cat dan membuat cangkir kopi papa bernoda biru, papa tidak pernah memarahinya, bahkan keduanya bisa tertawa-tawa riang menanggapi kekonyolan mama. Sekarang muka mama berminyak dan tubuhnya bau tepung, mentega, dan essens kue. Jari-jarinya tidak berhias cat minyak lagi, digantikan tepung dan lepuhan-lepuhan di sana-sini akibat tersentuh oven panas. Lukisan mama terakhir adalah lukisan diriku saat aku dua tahun yang tergantung di ruang tamu yang kini terlihat berdebu dan kusam, karena kini waktu mama hanya untuk toples-toples kue kering yang memenuhi dapur dan meja makan kami. Pasti mama merindukan kehidupan lamanya. Di saat-saat heningku sering aku berbisik lirih kepada “yang di sana” supaya aku bisa berubah menjadi anak yang lebih sesuai dengan harapan mamaku. Tetapi mama tidak pernah membenciku. Mungkin karena buku-buku spiritual yang kadang dibacanya sebelum tidur sepeninggal papa, terkadang terucap kata-kata yang tak masuk di akalku kala itu. Pernah suatu hari, saat itu aku masih duduk di bangku SMP kelas dua, ia membaringkan kepalanya di pangkuanku setelah lelah seharian memenuhi pesanan pelanggan. “Kau tahu, Citra, aku rasa kau dulu adalah guruku atau bahkan ibuku di kehidupan lalu… Tolong maafkan mama kalau mama sering tidak becus mengurusmu ya, Nak…” Saat itu aku berpikir bahwa mama pasti sudah sedemikan stresnya hingga berkata yang bukan-bukan. Keluarga kami bukanlah penganut Hindu atau Buddha yang diajari hal-hal seperti itu. Aku pun tidak pernah merasa menjadi anak baik baginya, karena aku selalu marah, selalu kecewa, selalu tak puas, selalu membara dan membakar apapun yang kusentuh. Tak jarang pula kami bertengkar hebat hingga barang-barang di rumah banyak yang pecah dan hancur, sebabak-belur hati kami. Aku juga tidak pernah membantu mama membuat kue-kue kering demi hidup kami, dan lebih sering mengurung diri di kamarku atau di gudang yang menyimpan koleksi buku-buku papa. Jadi mengapa mama mengatakan bahwa aku mungkin adalah ibunya di kehidupan lalunya? Kenapa ia malahan meminta maaf dariku? Dadaku sakit sekali waktu itu. Akan lebih mudah bagiku jika mama membenciku. Tapi malam itu, di saat mama berbaring di pangkuanku, aku hanya memunculkan tanya, “Mama, kalau aku sudah dewasa, bolehkah aku mengganti namaku?” Tentu saja hanya pertanyaan tak terucap. Kulihat mama sudah mendengkur.
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H