Mohon tunggu...
agnes bemoe
agnes bemoe Mohon Tunggu... -

penulis, 42 tahun, tertarik pada masalah humaniora, seni, sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mencicipi Remah-remah Fidelis

30 Juli 2011   06:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:15 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1312006669874862075

JUDUL BUKU : REMAH-REMAH KEHIDUPAN PENULIS        : FIDELIS R. SITUMORANG PENERBIT     : SINAR DAVID GENRE          : PUISI (KUMPULAN PUISI) TEBAL           : 92 HALAMAN [caption id="attachment_125945" align="alignleft" width="300" caption="REMAH-REMAH KEHIDUPAN, oleh FIDELIS R. SITUMORANG"][/caption] Mungkin Fidelis sedang ingin berendah hati ketika ia menamai kumpulan puisinya dengan “Remah-Remah Kehidupan”. Kalau diandaikan “remah-remah” adalah sesuatu yang terbuang, sisa, alias tidak berharga maka tidak demikian dengan kumpulan puisinya ini. Ketika membacanya saya merasakan kenikmatan yang lebih dari sekedar makan remah-remah roti. Namun demikian, saya mencoba memahami makna remah-remah di sini seperti makan remah-remah sungguhan. Rasanya kita belum lupa enaknya menjumput remah-remah roti atau nasi dan memakannya ketika kita masih kecil. Entah kenapa yang sudah tercecer itu kok terasa begitu nikmat. Dalam konteks itulah saya mencoba memahami puisi-puisi Fidelis ini. Kumpulan puisi “Remah-Remah Kehidupan” sendiri berisi 57 puisi yang terbagi dalam tiga bagian dan memiliki tema besar  sama: cinta. Puisi-puisi cinta Fidelis khususnya di bagian pertama membuat saya mabuk kepayang. Bagaimana tidak, puisi-puisinya begitu manis dan mengalir romantis. Sulit saya ungkapkan, tetapi begitu membacanya, saya bisa merasakan kehalusan cinta dari puisi-puisi ini. Puisi-puisi ini begitu menyentuh seolah-olah dituliskan khusus untuk saya yang sedang membacanya. Yang membuat saya betah mengunyah puisi-puisi itu ialah karena mereka jauh dari kesan nge-gombal. Fidelis dengan sangat pas menggunakan kata-kata sehari-hari yang langsung terasa dan tertangkap. Fidelis mengisinya dengan kehalusan rasa dan ketulusan. Saya rasa kejeniusannya terletak pada kemampuan untuk menggunakan kata-kata yang “biasa” menjadi dalam bermakna serta menjaga agar puisi cinta ini tidak jatuh pada barisan rayuan gombal semata. Perhatikan yang satu ini: Ubud Di tepi sungai Petanu Kuselipkan setangkai puisi di rambutmu Dan alam semesta hening terpukau Karena indahmu Remah-remah Fidelis ternyata tidak hanya manis dan romantis, tetapi juga humoris. Perhatikan cuplikan dari puisi “Aku Mencintaimu Sampai Terngantuk-ngantuk”: … Orang bilang setelah memiliki anak, cinta pasangan akan Lebih besar kepada anak Tapi bagiku Tidak!!! Walaupun tubuhmu sekarang makin dihiasi lemak Cintaku padamu bertambah banyak Mungkin juga remah-remah Fidelis adalah keberserakan bentuk puisinya. Perhatikan bahwa ada puisi yang begitu pendeknya yang hanya berisi dua baris (“Oktober” atau “Kenangan Masa Kecil”), namun ada juga yang panjang, seolah-olah bercerita (“Kepada Batsyeba, Istriku” atau “Mati”, misalnya). Mengenai beberapa puisi yang panjang ini terkadang saya merasa sedang membaca sebuah cerpen atau cermin dan bukannya sebuah puisi. Remah-remahnya Fidelis juga bermakna keberserakan arti cinta di dalamnya. Cinta tidak melulu milik dua insan yang sedang mabuk kepayang. Remah cinta itu menjangkau sampai kepada cinta dalam keluarga dan cinta dalam kehidupan sosial di masyarakat. Ambil contoh “Les Photos de Papa” yang begitu menyentuh, mengingatkan kita akan cinta seorang ayah. Puisi ini mewakili cinta dalam keluarga –orang tua pada anak dan sebaliknya-. Sementara puisi “Gadis Kecil di Lampu Merah” menyentil rasa cinta kita pada mereka yang terpinggirkan dan hanya jadi mainan politik para penguasa. Dan walaupun tidak banyak, remah-remahnya Fidelis menyentuh juga hubungan intimnya dengan Tuhannya. Lihat saja di puisi “Terima Kasih, Tuhan” yang diletakkan di bagian paling akhir: Terima Kasih, Tuhan Tuhan, Semalam aku diam-diam membuka dompetMu, Aku senang, Ada fotoku di situ Terima kasih, Tuhan… I love You Sayangnya jumlah antara  puisi-puisi cinta untuk keluarga atau masyarakat atau Tuhan tidak sebanyak puisi cinta untuk kekasih. Tetapi, mungkin di situlah maksudnya “remah-remah”. Apa asyiknya mencomoti remah-remah bila mereka teratur dan tersusun rapi? Semakin berserak mungkin semakin asyik kita memburunya. Akhirnya, menikmati remah-remah puisi Fidelis sungguh membuat saya “kenyang”.  Terkadang saya berhenti dan mengulangi lagi membaca puisi yang sama. Saya ingin merasakan kembali sensasi dari kehalusan puisi tersebut. Bila dilihat dari efeknya terhadap saya sebagai pembaca, remah-remah Fidelis adalah setara dengan makan nasi padang dari RM “Pak Datuk”.  (db) Pekanbaru, 30 Juli 2011 Agnes Bemoe http://cicinanda.multiply.com/reviews/item/4

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun