Beberapa tahun lalu, ketika masih mengajar, saya menemukan kasus seperti ini: ada orang tua murid tiba-tiba memindahkan anaknya ke sekolah lain. Permintaan pindah yang tiba-tiba ini ternyata bukan tanpa sebab. Si anak ketakutan diteror oleh seorang kakak kelasnya melalui jejaring sosial Facebook. Walaupun sekolah berusaha menangani dan menjembatani, si anak tetap berkeras untuk pindah. Sekarang ini cyberbullying, seperti yang dialami oleh si anak di atas, ternyata sudah berkembang menjadi gejala umum yang dialami oleh anak sejalan dengan pesatnya kemajuan teknologi internet. APA ITU CYBER BULLYING Cyber bullying adalah segala bentuk kekerasan yang dialami anak atau remaja dan dilakukan teman seusia mereka melalui dunia cyber atau internet. Cyber bullying adalah kejadian manakala seorang anak atau remaja diejek, dihina, diintimidasi, atau dipermalukan oleh anak atau remaja lain melalui media internet, teknologi digital atau telepon seluler. Cyber bullying dianggap valid bila pelaku dan korban berusia di bawah 18 tahun dan secara hukum belum dianggap dewasa. Bila salah satu pihak yang terlibat (atau keduanya) sudah berusia di atas 18 tahun, maka kasus yang terjadi akan dikategorikan sebagai cyber crime atau cyber stalking (sering juga disebut cyber harassment). Bentuk dan metode tindakan cyber bullying amat beragam. Bisa berupa pesan ancaman melalui e-mail, mengunggah foto yang mempermalukan korban, membuat situs web untuk menyebar fitnah dan mengolok-olok korban hingga mengakses akun jejaring sosial orang lain untuk mengancam korban dan membuat masalah. Motivasi pelakunya juga beragam. Ada yang melakukannya karena marah dan ingin balas dendam, frustrasi, ingin mencari perhatian bahkan ada pula yang menjadikannya sekedar hiburan pengisi waktu luang. Tidak jarang, motivasinya kadang-kadang hanya ingin bercanda. Cyber bullying yang berkepanjangan bisa mematikan rasa percaya diri anak, membuat anak menjadi murung, khawatir, selalu merasa bersalah atau gagal karena tidak mampu mengatasi sendiri gangguan yang menimpanya. Bahkan ada pula korban cyber bullying yang berpikir untuk mengakhiri hidupnya karena tak tahan lagi diganggu! Remaja korban cyber bullying akan mengalami stress yang bisa memicunya melakukan tindakan-tindakan rawan masalah seperti mencontek, membolos, lari dari rumah, dan bahkan minum minuman keras atau menggunakan narkoba. Anak-anak atau remaja pelaku cyber bullying biasanya memilih untuk menganggu anak lain yang dianggap lebih lemah, tak suka melawan dan tak bisa membela diri. Pelakunya sendiri biasanya adalah anak-anak yang ingin berkuasa atau senang mendominasi. Anak-anak ini biasanya merasa lebih hebat, berstatus sosial lebih tinggi dan lebih populer di kalangan teman-teman sebayanya. Sedangkan korbannya biasanya anak-anak atau remaja yang sering diejek dan dipermalukan karena penampilan mereka, warna kulit, keluarga mereka, atau cara mereka bertingkah laku di sekolah. Namun bisa juga si korban cyber bullying justru adalah anak yang populer, pintar, dan menonjol di sekolah sehingga membuat iri teman sebayanya yang menjadi pelaku. Cyber bullying pada umumnya dilakukan melalui media situs jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter. Ada kalanya dilakukan juga melalui SMS maupun pesan percakapan di layanan Instant Messaging seperti Yahoo Messenger atau MSN Messenger. Anak-anak yang penguasaan komputer serta internetnya lebih canggih melakukan cyber bullying dengan cara lain. Mereka membuat situs atau blog untuk menjelek-jelekkan korban atau membuat masalah dengan orang lain dengan berpura-pura menjadi korban. Ada pula pelaku yang mencuri password akun e-mail atau situs jejaring sosial korban dan mengirim pesan-pesan mengancam atau tak senonoh menggunakan akun milik korban. Cyber bullying lebih mudah dilakukan daripada kekerasan konvensional karena si pelaku tidak perlu berhadapan muka dengan orang lain yang menjadi targetnya. Mereka bisa mengatakan hal-hal yang buruk dan dengan mudah mengintimidasi korbannya karena mereka berada di belakang layar komputer atau menatap layar telelpon seluler tanpa harus melihat akibat yang ditimbulkan pada diri korban. Peristiwa cyber bullying juga tidak mudah diidentifikasikan orang lain, seperti orang tua atau guru karena tidak jarang anak-anak remaja ini juga mempunyai kode-kode berupa singkatan kata atau emoticon internet yang tidak dapat dimengerti selain oleh mereka sendiri. Harus diwaspadai bahwa kasus cyber bullying ini seperti gunung es. Korban sendiri lebih sering malas mengaku. Ini karena bila mereka mengaku biasanya akses mereka akan internet (maupun HP) akan dibatasi. Korban juga terkadang malas mengaku karena sulitnya mencari pelaku cyber bullying atau membuktikan bahwa si pelaku benar-benar bersalah. Ini menyebabkan munculnya kondisi gunung es tadi. CYBER BULLYING PADA GURU Guru pun ternyata tidak kebal terhadap cyber bullying. Sebaliknya, beberapa kasus menunjukkan bahwa guru potensial menjadi sasaran. Seorang guru senior di sebuah sekolah menengah atas di Manchaster mengaku bahwa akunnya telah diretas dan digunakan untuk mengirimkan pesan palsu kepada murid lain. Seorang guru lain bahkan dibuatkan akun palsu oleh pelaku yang diduga siswa, dan dalam akun itu disebutkan bahwa guru itu adalah seorang pedofil. Di Indonesia sendiri, kasus serupa juga pernah terjadi, yakni di SMU Negeri 4 Tanjungpinang, Kepulauan Riau dimana seorang guru menjadi korban olok-olok siswa. Seorang kawan guru pernah menemukan sekelompok siswa yang membuat grup yang mereka namai “Grup Anti Mr. X (nama seorang guru)” di situs jejaring sosial Facebook. Di dalam grup ini para siswa ini ramai-ramai mencaci guru yang kelihatannya kurang mereka sukai itu. Beberapa bulan lalu, ketika pengumuman kelulusan di sebuah SMA, seorang kepala sekolah menjadi sasaran ejekan dan caci maki para muridnya. Pasalnya bapak kepala sekolah ini diam saja tak berdaya dan membiarkan anak-anak kelas III yang lulus mencoreti halaman sekolah dengan pylox. Kontan, sikap pengecut si kepala sekolah ini menjadi bahan tertawaan para murid di situs jejaring sosial facebook dan Twitter. APA YANG HARUS DIPERBUAT OLEH SEKOLAH 1. Awareness Sekolah sudah harus mulai menyadari dan mengakui bahwa kasus ini ada. Sekolah tidak bisa lagi mengelak dan mengatakan bahwa kejadian itu hanya ada di luar negeri atau kota-kota besar. Internet sudah menjangkau daerah-daerah di pelosok Indonesia. Selain kemudahan, teknologi ini juga membawa permasalahannya, termasuk dalam dinamika kehidupan di sekolah. Menyangkal hal ini hanya akan menambah permasalahan baru. Sekolah juga tidak bisa menyangkal bahwa kasus ini masih menjadi tanggung jawab orang tua dan bukan sekolah. Pelaku dan korban biasanya ada di suatu sekolah yang sama dan berinteraksi di sekolah itu. Harap dicatat bahwa masalah cyber bullying biasanya adalah kelanjutan dan eskalasi dari apa yang terjadi sebelumnya di sekolah. Sekolah juga semakin tidak bisa lagi tutup mata karena masalah ini sudah mulai merambah pada para guru dan kepala sekolah yang jelas-jelas merupakan bagian dari sekolah. Sudah saatnya sekolah menangani masalah cyber bullying ini secara serius. 2. Miliki Wawasan Sejalan dengan itu pimpinan sekolah hendaknya mempersiapkan diri, termasuk membuka diri terhadap kemajuan teknologi ini. Tidak perlu ahli sekali dalam hal internet. Yang penting adalah pikiran yang terbuka terhadap internet; kelebihan dan kekurangannya. Jangan keliru, “terbuka” di sini bukan hanya kemana-mana menenteng laptop dan dengan itu memberikan kesan seolah-olah tidak gaptek. Terbuka adalah dalam cara berpikir sehingga menjadikan diri peka dan kreatif dalam menangani permasalahan. Pelaku cyberbullying merasa aman dan di atas angin karena pihak yang lebih punya kuasa (orang tua/sekolah) seringkali sama sekali buta tentang teknologi internet dan praktek penggunaannya. Kurangnya wawasan menyebabkan sekolah juga gagap menanggapi permasalahan yang kian hari kian meresahkan ini. 3. Pendidikan Karakter Penting Cyberbullying membuktikan bahwa sekolah tidak cukup hanya berkutat dengan masalah belajar konvensional; belajar yang hanya memompa sebagian dari kecerdasan intelektual. Sudah sangat tidak relevan lagi kalau sekolah hanya tergila-gila mengejar angka UN tertinggi, kelulusan 100%, gelar juara Olympiade Sains, menjejali anak dengan sekian banyak hafalan, membuat hidup anak sesak dengan serangkaian les “terobosan”. Tantangan yang dihadapi anak jauh lebih besar dan tidak cukup dihadapi dengan menjejali anak dengan sebegitu banyak “ilmu pengetahuan”. Sistem pendidikan dan sekolah di dalamnya kerap mengabaikan pentingnya pendidikan karakter dan aspek-aspek psikologi anak. Perhatikan bahwa cyberbullying persis menantang ketrampilan anak dalam hal karakter dan kecerdasan emosionalnya. Anak pintar bahkan yang super jenius pun bisa ambruk gara-gara cyberbullying bila ia tidak disiapkan untuk memperkuat dirinya sendiri menghadapi hal ini. Jangan lupa, anak super pintar pun bisa menjadi pelaku cyberbullying bila ia tidak cukup dibekali dengan pendidikan karakter. Jelaslah bahwa ide untuk membuat anak menjadi pintar saja menjadi sangat tidak relevan bila dibandingkan dengan apa yang sebenarnya dihadapi oleh anak dalam kehidupannya di sekolah. Ini juga mengandaikan bahwa kepala sekolah, para wakil, guru, dan bahkan karyawan sekolah mayoritasnya adalah orang-orang yang memiliki karakter yang terpuji. Kepala sekolah atau guru yang tidak segan-segan membully para guru di depan anak murid atau guru lain jelas tidak masuk dalam kriteria ini karena keteladanan merupakan salah satu karakter yang dibutuhkan. 4. Buka Akses untuk Komunikasi Cyberbullying tidak cukup dihadapi dengan serangkaian tata tertib sekolah. Sekolah tidak cukup hanya menerapkan peraturan, misalnya: dilarang membawa HP ke sekolah berikut dengan sanksinya. Selain aspek menghukum, anak juga perlu tahu tentang cyberbullying. Menghukum saja tanpa memberikan mereka kesempatan untuk memahami apa yang sedang terjadi tidak hanya tidak fair, tetapi juga tidak akan efektif. Dalam beberapa kasus malah, korban cyberbullying malas mengaku karena hukuman atas pelaku membuat pelaku menjadi semakin beringas kepada korbannya, dan bukannya jera. Sekolah harus membuka ruang diskusi dan dialog bagi anak untuk masalah ini. Bisa saja dengan memanfaatkan jam mata pelajaran namun bisa juga melalui pembinaan dalam kesempatan upacara bendera ataukah diadakan kegiatan khusus untuk hal ini. Dengan kata lain kreativitas sekolah juga dibutuhkan di sini. Jangan menganggap anak-anak tidak punya ide tersendiri tentang hal ini. Kalau sekolah cukup rendah hati untuk mau berdialog dan berdiskusi, sekolah akan kaget melihat luas dan lengkapnya pengetahuan anak tentang hal ini. Hubungan guru-murid harus berkembang menjadi setara dalam pengertian; ada penghormatan, kewibawaan, kehangatan, sikap positif, dan sehat. Jaman saya sekolah dulu guru adalah dewa di atas sana yang sulit disentuh. Sedihnya, sekarang ini kebalikannya yang terjadi: guru seolah-olah lebih kekanak-kanakan daripada anak murid, terlalu “gaul” sehingga anak murid tidak lagi hormat. Titik tengah antara ekstrim-ekstrim ini hendaknya segera ditemukan. Hubungan yang sehat antara guru-murid menimbulkan atmosfer positif di sekolah. Atmosfer positif ini lebih kondusif untuk menumbuhkan hubungan yang baik guru-siswa, sehingga siswa tidak akan segan berkomunikasi, dan guru juga bisa mengantisipasi situasi. 5. Aktifkan Guru BP – Bersinergi dengan Segenap Warga Sekolah Aktifkan kembali peran guru BP. Jalankan BP sesuai dengan peran, prosedur, dan ketentuannya. Guru BP hendaknya dipilih dari orang yang benar-benar ahli dan peduli, dan bukan hanya asal tunjuk guru yang kebetulan dekat dengan kepala sekolah. Peran guru BP harus direvitalisasikan karena terbukti ini bisa menjadi pintu masuk paling strategis bagi pencegahan tindak kekerasan termasuk cyber bullying. Guru BP tentu tidak bisa berbuat banyak bila tidak bersinergi dengan segenap warga sekolah termasuk juga orang tua. Dalam hal ini kepala sekolah berperanan penting untuk mengelola para pihak di bawahnya dan menjalin kerja sama dengan orang tua siswa. PENUTUP Cyber bullying menjadi salah satu permasalahan yang makin marak, termasuk di kalangan para siswa di sekolah. Wawasan yang terbuka, kearifan, dan kreativitas sekolah dibutuhkan untuk penanganannya. Cara pandang yang tepat terhadap fungsi sekolah akan sangat membantu anak menghadapi dan melewati permasalahan yang mereka alami. (db) Pekanbaru, 6 September 2011 Agnes Bemoe Sumber Bacaan: “Anak Main Internet Awas Cyber bullying”, Akhmad Taufik, Intisari, Agustus 2011 http://en.wikipedia.org/wiki/Cyber-bullying, diunduh tanggal 3 September 2011 http://teenadvice.about.com/od/schoolviolence/a/cyberbullying1.htm, diunduh tanggal 3 September 2011 http://www.suaramedia.com/dunia-teknologi/computer-it/19742-cyberbullying-facebook-kini-menyerang-para-guru.html, diunduh tanggal 3 September 2011 http://www.direct.gov.uk/en/YoungPeople/HealthAndRelationships/Bullying/DG_070501, diunduh tanggal 3 September 2011 Sumber Gambar: http://www.google.co.id/imglanding?q=child+abuse&hl=id&client=firefox-a&sa=G&rls=org.mozilla:id:official&gbv=2&tbs=isch:1&tbnid=spEL48cD8v-NjM:&imgrefurl
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H