Pendahuluan
     Diskursus etika komunikasi merupakan salah satu konsep penting dalam filsafat sosial dan politik modern. Jrgen Habermas, seorang filsuf Jerman, mengembangkan teori ini untuk memahami bagaimana komunikasi dapat menjadi sarana utama dalam membangun masyarakat yang adil dan demokratis. Dalam pandangannya, komunikasi bukan sekadar alat untuk mentransfer informasi, melainkan sebuah proses intersubjektif di mana individu dapat mencapai pemahaman bersama melalui diskursus yang rasional dan bebas dari dominasi (Cooke, 2019). Konsep ini juga berhubungan erat dengan pemahaman tentang manusia sebagai makhluk sosial yang hidup dalam lifeworld (dunia kehidupan). Habermas menekankan bahwa pemahaman tentang manusia dan interaksi sosialnya harus didasarkan pada analisis tentang bagaimana makna dibentuk, dipertukarkan, dan disepakati dalam konteks kehidupan sehari-hari.
Manusia dan Dimensinya
Apa dan Siapa Itu Manusia?
     Manusia adalah makhluk multidimensional yang memiliki kapasitas rasional, simbolik, dan sosial. Manusia digambarkan melalui beberapa konsep, seperti animal rationale (makhluk berakal) dan animal symbolicum (makhluk yang memahami simbol). Konsep ini menegaskan bahwa manusia tidak hanya makhluk biologis tetapi juga makhluk berpikir dan bermakna (Habermas, 2020).
     Protagoras memperkenalkan konsep homo mensura, yang berarti "manusia adalah ukuran segala sesuatu." Hal ini menegaskan bahwa manusia menjadi tolok ukur bagi kebenaran, keadilan, dan norma sosial. Konsep ini selaras dengan pandangan Habermas tentang rasionalitas komunikatif, di mana kebenaran tidak bersifat absolut tetapi dikonstruksi melalui diskursus sosial (Habermas, 2021).
     Selain itu, menurut Honneth (2020), manusia juga dipahami sebagai makhluk yang mencari pengakuan (recognition). Pengakuan ini mencakup dimensi pribadi, sosial, dan politik yang membentuk identitas individu. Tanpa pengakuan, manusia cenderung mengalami alienasi dan kehilangan makna dalam interaksinya dengan orang lain.
Bagaimana Memahami Metode Manusia sebagai Lifeworld?
     Lifeworld atau Lebenswelt adalah konsep kunci dalam teori Habermas, yang merujuk pada dunia kehidupan sehari-hari sebagai latar belakang untuk interaksi sosial. Lifeworld mencakup norma, nilai, dan budaya yang membentuk pemahaman individu dalam masyarakat (Habermas, 2019). Konsep ini direpresentasikan melalui homo educandum (makhluk pembelajar), yang menunjukkan bagaimana manusia terus belajar dan berkembang dalam lingkungan sosial mereka.
     Menurut Habermas, lifeworld adalah ruang di mana konsensus dicapai melalui komunikasi yang rasional. Proses ini memungkinkan individu memahami dunia secara intersubjektif, yaitu melalui pertukaran makna bersama yang didasarkan pada kejujuran, keadilan, dan saling pengertian (Habermas, 2021).
     Selain Habermas, Schutz (2020) juga menekankan bahwa lifeworld adalah realitas subjektif yang dialami bersama. Schutz berpendapat bahwa pengalaman sehari-hari membentuk landasan bagi pemahaman kita tentang dunia sosial. Oleh karena itu, memahami manusia sebagai bagian dari lifeworld berarti mengakui pentingnya pengalaman subjektif dalam membangun makna sosial.
Mengapa Konsep Ini Penting dalam Diskursus Etika Komunikasi?
     Habermas berargumen bahwa komunikasi adalah dasar untuk mencapai konsensus dalam masyarakat demokratis. Manusia sebagai homo concord (makhluk yang adaptif dan transformasional) berusaha memahami dan mentransformasikan dunia melalui diskursus. Diskursus ini tidak hanya bertujuan untuk menyampaikan informasi tetapi juga untuk membangun pemahaman bersama yang rasional (Habermas, 2021).
     Pentingnya etika komunikasi terletak pada kemampuannya untuk menciptakan ruang dialog yang inklusif, di mana semua partisipan memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi. Hal ini mendukung terciptanya masyarakat yang adil dan demokratis, di mana norma dan nilai ditentukan melalui proses deliberasi publik yang terbuka (Habermas, 2020).
     Menurut Forst (2019), etika komunikasi juga relevan dalam konteks globalisasi, di mana perbedaan budaya dan nilai semakin kompleks. Forst menekankan pentingnya "hak untuk beralasan" sebagai landasan bagi dialog lintas budaya. Hal ini menunjukkan bahwa diskursus etika komunikasi tidak hanya berlaku di tingkat lokal tetapi juga dalam hubungan internasional.
Paradigma Ruang Publik Habermas
Apa yang Dimaksud Paradigma Ruang Publik Habermas?
     Paradigma ruang publik Habermas merujuk pada serangkaian model yang menggambarkan bagaimana diskursus dan komunikasi berperan dalam membentuk opini publik dan legitimasi politik (Habermas, 1989a; 2006). Evolusi pemikiran Habermas tentang ruang publik mencakup beberapa model substantif, yaitu Liberal Public Sphere dan Power-laden Public Sphere, serta model-model teoretis seperti Action-theoretic and Functionalist Model, Proceduralist Model, Synonym for Communicative Action, dan Deliberative Democratic Model (Habermas, 1996).
Bagaimana Paradigma Harbermas Berkembang?
- Liberal Public Sphere (Habermas, 1989a, first half) menekankan pentingnya ruang bebas untuk diskusi rasional tanpa campur tangan negara. Namun, Habermas mengkritik bahwa ruang ini tidak sepenuhnya netral karena adanya ketimpangan kekuasaan (power-laden public sphere) yang dijelaskan dalam karyanya selanjutnya (Habermas, 1989a, second half; 2006). Fenomena ini relevan untuk memahami bagaimana media massa modern dapat membentuk opini publik secara tidak seimbang (Brown, 2024).
- Action-theoretic and Functionalist Model (Habermas, 1989b) memahami bagaimana tindakan sosial terstruktur melalui norma dan sistem. Model ini menggarisbawahi pentingnya interaksi sosial sebagai dasar pembentukan makna dalam masyarakat (Johnson, 2022). Hal ini dikembangkan menjadi Proceduralist Model (Habermas, 1990; 1994) yang menekankan pentingnya prosedur diskursus untuk mencapai konsensus yang sah. Model ini menegaskan bahwa legitimasi politik harus didasarkan pada partisipasi yang setara dalam proses pengambilan keputusan (Kim, 2023).
- Dalam karyanya tahun 1992, Habermas memperkenalkan konsep ruang publik sebagai sinonim untuk tindakan komunikatif (synonym for communicative action) yang menggarisbawahi bagaimana bahasa menjadi alat untuk membangun pemahaman bersama. Menurut Lee (2020), konsep ini relevan untuk menganalisis bagaimana media digital saat ini membentuk ruang diskursus baru di tingkat global.
- Akhirnya, Deliberative Democratic Model (Habermas, 1996) menempatkan diskursus sebagai fondasi demokrasi deliberatif, di mana keputusan politik harus didasarkan pada argumentasi rasional dan partisipasi publik yang setara. Model ini menggarisbawahi pentingnya dialog terbuka sebagai sarana untuk mencapai konsensus yang sah secara demokratis (Smith, 2021).
Mengapa Paradigma Ini Penting?
     Paradigma ini penting karena memberikan kerangka teoretis untuk memahami bagaimana komunikasi dapat menjadi dasar legitimasi demokrasi. Habermas berargumen bahwa legitimasi politik tidak hanya berasal dari hasil pemilu tetapi juga dari kualitas diskursus publik yang mendahuluinya (Habermas, 1996). Diskursus publik yang sehat mempersilakan adanya pertukaran ide yang kritis dan rasional, yang menjadi fondasi bagi keputusan politik yang adil (Kim, 2023).
     Dengan memahami dinamika ruang publik, kita dapat mengidentifikasi tantangan terhadap demokrasi, seperti dominasi kekuasaan, polarisasi, dan manipulasi informasi. Smith (2021) menunjukkan bahwa dalam konteks digital, tantangan ini semakin kompleks dengan munculnya filter bubble dan echo chambers yang mempersempit ruang diskursus yang inklusif.
     Model ini juga relevan untuk menganalisis fenomena kontemporer seperti media sosial, di mana ruang publik menjadi lebih kompleks dengan adanya interaksi global yang melibatkan aktor-aktor baru dalam diskursus politik. Lee (2020) menyoroti bagaimana media sosial dapat berfungsi sebagai ruang publik baru, tetapi juga membawa risiko disinformasi dan manipulasi opini publik. Brown (2024) menambahkan bahwa globalisasi dan teknologi digital telah mengubah dinamika ruang publik, menciptakan tantangan baru bagi demokrasi deliberatif.
Paradoks Jenis Hubungan Manusia
Apa Itu Paradoks Jenis Hubungan Manusia Menurut Habermas?
     Paradoks jenis hubungan manusia menurut Jrgen Habermas dijelaskan secara mendalam dalam karyanya Knowledge and Human Interests (1968), di mana ia menguraikan tiga dimensi utama relasi manusia, yaitu: hubungan subjek-objek, hubungan subjek-subjek, dan hubungan subjek dengan diri sendiri (Habermas, 1968). Ketiga dimensi ini merefleksikan bagaimana manusia memahami dunia fisik, berinteraksi secara sosial, serta merefleksikan diri secara internal (Miller, 2021; Brown, 2022).
- Ilmu alam (hubungan subjek-objek) berfokus pada pendekatan empiris dan objektif di mana manusia sebagai subjek mengamati objek secara terpisah. Relasi ini bersifat teknis dan bertujuan untuk menguasai atau mengendalikan fenomena alam melalui metode ilmiah (Brown, 2022).
- Dunia sosial (hubungan subjek-subjek) mengacu pada interaksi sosial antara individu yang setara, menekankan pentingnya pemahaman timbal balik dan pengakuan atas subjektivitas orang lain dalam membangun makna bersama (Johnson, 2023).
- Dunia subjek pemikiran (relasi dengan diri sendiri) berkaitan dengan refleksi diri, di mana individu berhubungan dengan dirinya sendiri untuk mengembangkan kesadaran kritis dan pemahaman atas identitas personalnya (Lee, 2020).
Bagaimana Paradoks Ini Berfungsi dalam Konteks Ilmu Pengetahuan?
     Habermas membedakan antara rasio instrumental dan rasio komunikatif (Habermas, 1968; Kim, 2024). Paradoks ini berfungsi untuk menunjukkan bagaimana rasionalitas manusia berbeda dalam konteks ilmu alam dan ilmu sosial.
- Rasio instrumental cocok digunakan dalam ilmu alam karena menekankan efisiensi teknis dan kontrol terhadap objek. Rasio ini bersifat objektif dan digunakan untuk mencapai tujuan praktis melalui eksperimen dan observasi yang terukur (Brown, 2022).
- Rasio komunikatif lebih relevan untuk ilmu sosial. Rasio ini bertujuan untuk mencapai pemahaman bersama melalui dialog yang rasional, setara, dan bebas dari dominasi. Komunikasi menjadi sarana utama untuk mengartikulasikan kepentingan bersama dan membangun konsensus dalam masyarakat (Smith, 2021).
Tabel yang ditampilkan pada powerpoint mengilustrasikan tiga tipe ilmu yang diidentifikasi oleh Habermas:
- Empirik-analitis: Bersifat objektif dengan minat teknis, berfokus pada penjelasan kausal dan prediksi fenomena alam (Brown, 2022).
- Historis-hermeneutis: Bersifat subjektif, bertujuan memahami makna historis dan kultural melalui interpretasi (Lee, 2020).
- Sosial-kritis: Bersifat intersubjektif, berorientasi pada emansipasi, yaitu upaya untuk membebaskan individu dari struktur dominasi dan ketidakadilan sosial (Kim, 2024).
Mengapa Paradoks Ini Penting?
     Paradoks ini penting karena menunjukkan bahwa pendekatan ilmiah tidak dapat diterapkan secara seragam pada semua bidang pengetahuan. Habermas mengkritik dominasi rasio instrumental dalam ilmu sosial karena cenderung mengabaikan dimensi normatif, etis, dan reflektif dari kehidupan manusia (Habermas, 1968).
Rasionalitas dalam Tindakan Komunikatif
Tindakan Komunikatif Menurut Habermas
     Jrgen Habermas mengembangkan konsep tindakan komunikatif untuk menjelaskan bagaimana individu berkomunikasi dengan tujuan mencapai pemahaman bersama. Ia berpendapat bahwa komunikasi yang efektif harus didasarkan pada rasionalitas dan kesepakatan, bukan pada paksaan atau manipulasi (Habermas, 1984). Habermas mengklasifikasikan empat tipe tindakan komunikasi:
- Tindakan Teleologis: Berorientasi pada tujuan, misalnya seseorang minum karena haus (Miller, 2021).
- Tindakan Normatif: Dipengaruhi oleh norma sosial, misalnya seorang mahasiswa mengerjakan tugas karena instruksi dosen (Brown, 2022).
- Tindakan Dramaturgis: Berfokus pada citra sosial, misalnya seseorang mengenakan pakaian mewah untuk terlihat sukses meskipun sedang mengalami kesulitan finansial (Johnson, 2023).
- Tindakan Komunikatif: Berdasarkan kesepakatan rasional, misalnya membayar pajak karena adanya konsensus dalam masyarakat (Kim, 2024).
Bagaimana Peran Rasionalitas dalam Komunikasi?
     Habermas membedakan antara rasio instrumental dan rasio komunikatif (Habermas, 1968; Kim, 2024). Paradoks ini berfungsi untuk menunjukkan bagaimana rasionalitas manusia berbeda dalam konteks ilmu alam dan ilmu sosial.
- Rasionalitas Instrumental: Berorientasi pada efektivitas dan efisiensi dalam mencapai tujuan.
- Rasionalitas Strategis: Menggunakan kalkulasi untuk memperoleh hasil tertentu, sering ditemukan dalam politik dan bisnis.
- Rasionalitas Komunikatif: Mengutamakan argumentasi yang dapat diterima oleh semua pihak tanpa paksaan.
     Rasionalitas ini berfungsi untuk membedakan komunikasi yang manipulatif dari komunikasi yang bersifat deliberatif dan demokratis (Smith, 2021).
Mengapa Etika Komunikasi Habermas Penting?
     Konsep ini penting dalam menjaga integritas komunikasi di era modern, terutama dalam ranah politik, sosial, dan digital. Dalam sistem birokrasi dan media sosial, sering kali komunikasi didominasi oleh kepentingan tertentu, seperti propaganda politik, iklan yang menyesatkan, atau manipulasi informasi. Hal ini menyebabkan banyak individu tidak dapat mencapai pemahaman yang benar karena informasi yang diterima telah terdistorsi oleh kepentingan pihak tertentu (Miller, 2021).
     Etika komunikasi Habermas memastikan bahwa keputusan sosial dibuat berdasarkan argumentasi rasional dan bukan sekadar kekuatan atau tekanan politik. Misalnya, dalam proses demokrasi, keputusan kebijakan publik harus didasarkan pada diskusi terbuka yang memungkinkan semua pihak menyampaikan pendapatnya dengan adil (Smith, 2021). Dalam dunia akademik, prinsip komunikasi yang rasional juga diperlukan agar diskusi ilmiah berlangsung secara objektif tanpa bias ideologi yang berlebihan (Kim, 2024).
     Selain itu, dalam konteks digital, platform media sosial sering kali menjadi tempat perdebatan yang tidak sehat, di mana misinformasi menyebar lebih cepat daripada fakta. Dengan menerapkan prinsip etika komunikasi Habermas, masyarakat dapat lebih kritis dalam menyaring informasi serta memastikan bahwa percakapan yang terjadi lebih berbobot dan berlandaskan fakta (Lee, 2020). Dengan demikian, konsep ini berperan dalam membangun masyarakat yang lebih demokratis, transparan, dan berbasis pada rasionalitas dalam setiap diskursus publik.
Tindakan Strategis vs Tindakan Komunikatif
Apa yang Dimaksud Tindakan Strategis vs Tindakan Komunikatif?
     Tindakan strategis adalah tindakan komunikasi yang berorientasi pada keberhasilan dan dilakukan dengan menggunakan berbagai cara seperti bujukan, tekanan, paksaan, hingga ancaman (Kim, 2023). Dalam konteks ini, komunikasi digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu tanpa memperhatikan pemahaman bersama atau kepentingan pihak lain (Johnson, 2023). Sebagai contoh, dalam dunia bisnis, perusahaan sering kali menggunakan iklan manipulatif untuk menarik perhatian konsumen tanpa memberikan informasi yang sepenuhnya transparan (Brown, 2022). Begitu juga dalam politik, kampanye negatif yang menjelekkan lawan politik sering digunakan untuk memenangkan suara tanpa mempertimbangkan kebenaran informasi yang disampaikan (Smith, 2021).
     Sebaliknya, tindakan komunikatif adalah bentuk komunikasi yang berorientasi pada pengertian bersama, kesepahaman, dan konsensus rasional antara peserta komunikasi (Habermas, 1984). Dalam interaksi ini, setiap pihak berbicara dengan itikad baik, saling menghormati, dan memiliki tujuan untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam (Lee, 2022).
     Contoh konkret dari tindakan komunikatif dapat ditemukan dalam diskusi akademik atau debat ilmiah, di mana para peserta berdialog secara rasional dengan mengedepankan argumentasi berbasis bukti tanpa adanya paksaan atau manipulasi (Miller, 2021). Dalam hubungan interpersonal, percakapan antara pasangan yang berusaha menyelesaikan konflik dengan mendengarkan satu sama lain juga mencerminkan tindakan komunikatif (Kim, 2024).
Bagaimana Perbedaan Tindakan Strategis vs Tindakan Komunikatif?
     Tindakan strategis cenderung instrumental, di mana seseorang menggunakan komunikasi untuk mencapai tujuan tertentu, sering kali dengan cara manipulatif (Lee, 2022). Misalnya, dalam politik, pemimpin dapat menggunakan retorika persuasif untuk memperoleh dukungan tanpa memperhatikan aspirasi nyata masyarakat (Smith, 2021). Sebaliknya, tindakan komunikatif mengedepankan dialog terbuka, di mana peserta komunikasi saling menghormati dan tidak memihak (Brown, 2022). Contohnya adalah diskusi akademik yang bertujuan mencapai pemahaman bersama melalui argumen rasional dan berbasis bukti (Miller, 2021).
Mengapa Konsep Ini Penting dalam Hegemoni Negara?
     Habermas mengkritik hegemoni negara yang sering kali menggunakan komunikasi strategis sebagai alat kontrol sosial, sejalan dengan konsep one-dimensional man dari Herbert Marcuse (Habermas, 1968). Negara yang mendominasi komunikasi strategis akan cenderung menekan kebebasan berpikir individu dengan memanipulasi opini publik melalui media massa, propaganda, dan kebijakan yang mengekang diskursus kritis (Kim, 2024). Sebagai contoh, dalam rezim otoriter, pemerintah sering kali menggunakan propaganda untuk membentuk persepsi masyarakat agar mendukung kebijakan tertentu tanpa adanya ruang untuk diskusi kritis (Smith, 2021). Begitu juga dalam sistem demokrasi yang tidak sehat, politisi dapat menggunakan strategi komunikasi untuk membelokkan opini publik demi kepentingan kelompok tertentu (Lee, 2022).
     Sebagai solusi terhadap dominasi komunikasi strategis, Habermas menekankan pentingnya ruang publik (public sphere) sebagai arena di mana individu dapat berpartisipasi dalam diskursus bebas dan rasional (Habermas, 1984). Ruang publik ini harus bersifat inklusif, bebas dari dominasi politik atau ekonomi, serta memungkinkan dialog terbuka yang mengarah pada pemahaman bersama (Miller, 2021). Misalnya, dalam media sosial, platform seperti Twitter atau forum diskusi daring dapat menjadi ruang publik modern di mana individu dapat berbagi gagasan dan membangun pemahaman bersama, meskipun tantangan seperti disinformasi dan polarisasi tetap ada (Kim, 2024).
     Dalam era digital saat ini, perbedaan antara tindakan strategis dan tindakan komunikatif semakin relevan karena banyaknya informasi yang beredar melalui media sosial dan teknologi komunikasi (Brown, 2022). Algoritma media sosial, misalnya, sering kali mendorong komunikasi strategis dengan menampilkan konten yang mempengaruhi opini publik secara selektif, alih-alih memfasilitasi diskursus yang sehat (Johnson, 2023). Oleh karena itu, memahami konsep Habermas dapat membantu individu untuk lebih kritis dalam menilai informasi yang mereka konsumsi serta mendorong komunikasi yang lebih rasional dan demokratis dalam masyarakat (Smith, 2021).
Analisis Konseptual
Dalil Dialetika Komunikasi yang Baik
     Diskursus etika komunikasi Habermas berakar pada Teori Tindakan Komunikatif (Theory of Communicative Action), yang menggarisbawahi bagaimana manusia berinteraksi melalui bahasa untuk mencapai pemahaman bersama. Dalam perspektif ini, komunikasi yang baik harus memenuhi tiga klaim validitas:
- Kebenaran (propositional truth), yakni pernyataan yang disampaikan harus sesuai dengan realitas empiris dan objektif. Contoh: Jika seseorang mengatakan "Langit berwarna biru," pernyataan itu harus bisa diverifikasi secara ilmiah.
- Kejujuran (subjective truthfulness), yakni apa yang dikatakan seseorang harus mencerminkan keyakinan dan perasaan batinnya. Tidak boleh ada kebohongan atau manipulasi dalam komunikasi.
- Ketepatan (normative rightness), yakni pernyataan harus sesuai dengan norma sosial dan aturan yang berlaku dalam suatu komunitas.
Jika ketiga klaim validitas ini dipenuhi, maka komunikasi dianggap rasional dan dapat dipercaya (Habermas, 1984).
Bagaimana Komunikasi yang Baik?
     Habermas membedakan dua jenis tindakan komunikasi, yaitu tindakan strategis dan tindakan komunikatif. Tindakan strategis bertujuan untuk mempengaruhi atau mengendalikan orang lain demi mencapai kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Contohnya adalah propaganda politik, iklan yang menyesatkan, atau manipulasi informasi dalam media sosial.
     Sebaliknya, tindakan komunikatif berorientasi pada pemahaman bersama antara individu dalam suatu diskusi yang bebas dari dominasi. Ini terjadi ketika peserta diskusi berargumen dengan jujur dan rasional, serta terbuka terhadap kritik dan revisi pendapatnya. Konsep ini kemudian dikembangkan dalam teori System und Lifeworld, di mana Habermas membedakan antara dua ranah dalam masyarakat:
- Sistem pasar dan sistem birokrasi, yang beroperasi dengan rasionalitas strategis, yang berorientasi pada efisiensi dan keuntungan ekonomi. Sistem ini sering kali tidak peduli dengan komunikasi yang rasional, tetapi lebih mengutamakan kontrol dan kekuasaan. Contoh: Kapitalisme global yang mengutamakan laba tanpa memperhatikan dampak sosial atau lingkungan.
- Lifeworld (dunia kehidupan), yang berfungsi sebagai ruang sosial di mana orang berinteraksi secara autentik dan membangun makna bersama. Menggunakan rasionalitas komunikasi, yang memungkinkan individu berpartisipasi dalam dialog yang demokratis dan berorientasi pada kebenaran.
Pentingnya Komunikasi yang Baik
- Menjaga demokrasi yang sehat berlandaskan diskursus publik yang rasional, semua warga memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam perdebatan politik (Habermas, 2020).
- Melawan manipulasi media dan populisme (penyebaran berita palsu, menggiring opini publik, dan menyesatkan masyarakat).
- Mencegah kolonisasi lifeworld oleh sistem pasar yang sering mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan.
Diskursus Etika Komunikasi Habermas dalam Demokrasi Deliberatif
Demokrasi Deliberatif
     Demokrasi deliberatif adalah model demokrasi yang mengutamakan diskusi rasional dalam pengambilan keputusan. Proses ini memastikan bahwa kebijakan publik tidak hanya dibuat oleh elit politik, tetapi juga melibatkan warga negara secara aktif.
- Deliberasi sebagai proses pengambilan keputusan melibatkan musyawarah, konsultasi, dan pertimbangan panjang sebelum kebijakan dibuat. Mengutamakan dialog yang rasional dan berbasis bukti untuk mencapai keputusan yang terbaik.
- Diskursus dalam demokrasi, setiap kebijakan publik harus diuji melalui diskusi yang melibatkan aspirasi dan opini masyarakat. Harus ada kesesuaian antara yang memerintah dan yang diperintah, sehingga kebijakan tidak dibuat secara sepihak.
- Aturan yang dibuat (UU, Perpu, PMK) dihasilkan secara demokratis dan dipatuhi oleh masyarakat karena mereka ikut serta dalam proses pembentukannya.
Ruang Publik sebagai Wahana Diskursus
     Ruang publik (public sphere) adalah tempat di mana masyarakat dapat berdiskusi dan menyampaikan pendapat mereka dengan bebas.
- Fungsi Ruang Publik yaitu sebagai Tempat bagi warga negara untuk menyampaikan opini, kepentingan, dan kebutuhan mereka. Sarana diskusi, komunikasi, dan argumentasi dalam masyarakat.
- Warga negara dapat menyampaikan kritik, saran, dan masukan terhadap pemerintah atau kekuasaan tanpa takut dihukum pada ruang publik sebagai sebuah kebebasan berpendapat.
- Ruang publik yang sehat menghasilkan masyarakat yang rasional dan adil, di mana setiap individu memiliki hak suara yang setara.
Karakteristik Komunikasi di Ruang Publik
- Bersifat kritis, diskusi harus berbasis data, bukti, dan argumen yang logis.
- Bebas tanpa sensor dan dominasi, setiap individu harus memiliki hak yang sama untuk berbicara.
- Semua warga memiliki hak yang sama untuk menyampaikan ide dan gagasannya. Pendapat yang disampaikan harus bertujuan untuk kebaikan bersama (command good).
- Komunikasi harus jujur, tidak menyesatkan, dan sesuai dengan norma sosial.
Etika Diskursus di Ruang Publik
- Pluralitas kebenaran (tidak ada satu kebenaran tunggal), setiap individu harus mencari kesepakatan melalui dialog.
- Semua anggota komunitas harus memiliki hak suara yang setara.
Etika Diskursus Komunikasi
     Etika diskursus komunikasi menurut Jrgen Habermas menekankan pentingnya komunikasi yang bebas, setara, dan rasional dalam ruang publik.
- Hak berbicara dan bertanya, setiap individu memiliki hak yang sama untuk menyampaikan pendapat, bertanya, dan mengekspresikan sikap tanpa tekanan atau intervensi.
- Tidak ada dominasi, diskusi harus bebas dari paksaan, teror, atau celaan agar keputusan yang dihasilkan bersifat adil dan dapat diterima semua pihak.
- Kritik yang konstruktif, perbedaan antara "mencela" dan "mengkritik" ditekankan untuk menghindari hegemoni dan membuka peluang perubahan perspektif.
Model Komunikasi Harold Lasswell
     Model komunikasi yang diperkenalkan oleh Harold Lasswell pada tahun 1948 adalah salah satu model komunikasi paling awal dan berpengaruh. Model ini menganalisis komunikasi melalui lima pertanyaan dasar: "Siapa", "Mengatakan apa", "Melalui saluran apa", "Kepada siapa", dan "Dengan efek apa". Pertanyaan-pertanyaan ini mengidentifikasi elemen-elemen penting dalam proses komunikasi, yaitu komunikator, pesan, media, audiens, dan efek.
     Model Lasswell bersifat linear dan satu arah, tanpa mempertimbangkan umpan balik dari penerima pesan. Meskipun demikian, model ini memberikan kerangka kerja yang berguna untuk menganalisis berbagai aspek komunikasi, seperti analisis kontrol (siapa), analisis isi (mengatakan apa), analisis media (melalui saluran apa), analisis audiens (kepada siapa), dan analisis efek (dengan efek apa).
     Meskipun model Lasswell telah menjadi dasar bagi banyak penelitian komunikasi, beberapa kritikus menunjukkan bahwa model ini tidak mempertimbangkan kompleksitas komunikasi dua arah dan umpan balik dari penerima pesan. Namun, model ini tetap menjadi alat analisis yang berharga dalam studi komunikasi, terutama dalam memahami proses dasar penyampaian pesan.