[caption id="attachment_290698" align="aligncenter" width="498" caption="© istimewa"][/caption]
Pakis tumbuh di luar jendela
Daunnya seperti belati
Merambat hingga muka kaca
Dan seekor laba-laba membuat sarang
Tepat dipertemuannya
Antara pakis dan kaca jendela
Sementara hujan belum lagi reda
Sudah sejak pagi hingga sore
Tak kunjung memelankan suara
Persis tangis bayi yang menjadi
Kala tak dapat apa yang diingini
Hujan boleh bikin dingin
Tapi matahari masih menguat
Kuasanya mendatangkan cahaya
Rona remangnya memantul di halaman
Diantara rerumputan basah dan hujan
Maka, pesona pakis terpancar lewat pantulannya
Bila pakis ini sudah besar
Apa jadinya sejarah kita?
Dia tumbuhan tua, lebih tua dari para samudera,
Binatang melata yang ada di ensiklopedia,
Atau pulau-pulau yang penuh mineral harta
Dia almanak bagi kalutnya jiwa
Sebuah capaian terhadap pandangan zaman
Tak mau digerus, ingin tetap abadi
Menyimpan kisahnya lewat bibit-bibit baru
Pakis juga mengingatkan aku
Pada gulai aroma syahdu buatan ibu
Tiada duanya
Bumbu berlimpah tanah andalas
Racikan dari padatnya irisan cabai
Serta gelembung mendidih uap santan
Dimasukkanlah pakis dalam belanga
Dan buah! Acara makan senikmat pesta
Pikgondang, awal 2014
Pikgondang, awal 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H