Mohon tunggu...
Agita Bakti Wardhana
Agita Bakti Wardhana Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa kelontong bodoh, pemalas, tukang modus.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mengejar Fatamorgana

26 Juli 2016   11:09 Diperbarui: 26 Juli 2016   11:15 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : pixabay.com

"Kegelapan telah datang. Cahaya penerangan jiwa telah menghilang. Penderitaan ini tak kunjung pulang. Menghambat perjalanan mencapai kebahagiaan." Sembari mengusap menancapkan jarum sol Niko bersyair. Seorang anak yang baru memasuki usia remaja tersebut harus berusaha keras mencari uang bersama ayahnya semenjak rumahnya terbakar dan ibunyapun meninggal.

"Syairmu bagus nak." Ujar kliennya yang sedang disolkan sepatunya oleh Niko. Orangnya terbilang rapi dengan menggunakan kemeja yang dibalut jas hitam. Usianya belum tua mungkin sekitar 30 tahunan.

"Alah pak cuma bentuk curhatan semu kepada semesta yang tega mengambil semua dari kehidupanku." Serunya pelan sembari menekan jarum sol masuk dan menjahitnya.

"Kamu berbakat menjadi penyair terkenal nak?" Serunya halus. Niko langsung spontan kaget dan menatapnya. Matanya membeliak tidak percaya ada orang yang memujinya demikian.

"Dulu aku sempat berfikir demikian,tetapi" Niko kembali menundukkan kepalanya "aku tidak memiliki apapun untuk mencoba. Jadi semua itu aku anggap sebagai sebuah fatamorgana."

"Tidak nak." Ia mencoba mengambil sesuatu dari dalam tasnya ini ada sebuah acara festival lomba yang aku dapat tadi dijalan. "Semua orang bisa mengikutinya nak." Sembari menyodorkan pamflet bergambar tokoh penyair terkenal.

Niko tidak menjawab sama sekali apa yang dikatakannya. Ia terus berusaha cepat menyelesaikan pekerjannya. Tidak lama sepatu yanh dikerjakanya akhirnya selesai dan iapun menyerahkannya.

"Hmmm." Bagus sekali dan terlihat bersih. "Oh ya jangan lupa ikuti perlombaan ini ya. Kamu pasti bisa".

Setelah memberi upah lelaki itupun pergi. Niko terdiam sejenak membaca kembali selembar pamflet yang diberikan. Masih ada banyak waktu untuk berlatih mempersiapkan segalanya.

Langit elok dengan sedikit awan. Matahari bersinar terang siang itu. Sinarnya terasa menyengat dan membakar lapisan kulit paling dalam. Nikopun menemui ayahnya di sebuah warung tempatnya makan. Di depan warung terlihat terparkir berbaris beberapa angkutan umum. Mungkin pengendaranya sedang beristirahat di tempat yang sama ini.

Ayahnya terlihat duduk seorang diri di pojok warung. Belum makan masih menunggu Niko datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun