Malam gelap tersaput awan. Hawa dingin menyelimuti titik pusat kota. Kelap-kelip lampu menghiasi sepanjang jalan kota. Para wisatawan mulai datang memadati lokasi ini. Toko-toko cendera mata terlihat ramai dikunjungi.
Kendaraan-kendaraan tradisional seperti becak, andong dan sebagainya berjajar parkir di jalan. Beberapa pertunjukan keroncong jalan juga ada. Membawakan lagu dengan alat musik yang sederhana. Banyak orang yang melihatnya dengan seksama menonton pertunjukan demikian.
Sederetan warung makan juga nampak ramai sekali. Beberapa menu khas seperti gudeg, pecel dan sebagainya menjadi incaran para wisatawan untuk mencoba mencicipinya. Semunya terlihat ramai dan penuh oleh pengunjung.
"Eh mau makan dimana nih?" Anto bertanya santai, "di gudek mbok min aja gimana?"
"Gudek mbok min dimana?" Aku membalas pelan.
"Bentar, tadi gue browsing disitu katanya rekomend." Jawabnya cepat sembari mengeluarkan gadget dari saku celananya.
Kami berdua berjalan di sepanjang jalan kota. Menikmati angin malam bersama sembari melihat-lihat warung kuliner yang ada. Semakin padatnya titik kota membuat kami sedikit menyingkir dari trotoar dan berjalan di jalan raya.
"Eh di deket sini kok" Anto membuka suara sembari berjalan menghadap layar ponselnya. "Disitu kayaknya" menunjuk salah satu tempat makan di seberang jalan.
"Yaudah gas." Balasku cepat.
Aku hanya mengikuti dan berjalan menyeberang bersama. Rumah makan mbok min yang direkomendasikan Anto sangat ramai. Terlihat semua meja makan yang ada terisi penuh. Rumah makannya terbilang tradisional namun memiliki arsitektur yang khas akan budaya kota yang kental. Anyaman bergambar batik menghiasi seluruh dinding ruangan. Lampu tempel dari minyak tanahpun tersebar diseluruh meja makan yang ada ada diruangan. Semuanya nampak elegan dan mewah.
"Wah lo nyiksa kantong namanya nih." Aku menatap Anto yang terlihat fokus mengamati ruangan.