“Saya beberapa kali menjelaskan kepada warga sekitar tentang penularan penyakit hiv/aids, namun mereka tetap tidak bisa mengerti dan terus menolaknya. Juga dari pemkot kala itu mengirimkan para penggiat hiv/aids dan dokter untuk melakukan penyuluhan kesini, namun warga tetap tidak mau tahu dan terus melakukan penolakan.” Kenang puger.
Dengan berbagai penolakan yang diterimanya tidak lantas membuat sosok puger dan rekannya menyerah. Ia tetap pada pendiriannya untuk terus bertahan mengurus anak-anak yang berada rumah singgah tersebut.
“Setiap melihat salah satu anak yang menangis hati saya terasa teriris. Mereka adalah anak-anak yang tidak berdosa, tidak selayaknya mereka menderita penyakit ini.” Tutur Puger.
Ketika mendapati anak yang terlihat mengurung diri puger mendampingi dan terus memberikan motivasi semangat. Bahkan dia menjanjikan sesuatu pada anak-anak ketika mau pergi berobat, misal mengajaknya ke taman bermain ataupun sekedar jalan-jalan ke alun-alun kota. Semua semata-mata dilakukan untuk menyenangkan anak-anak untuk melupakan penyakit yang menyerang dirinya.
Dengan penuh perjuangan puger terus mendorong anak-anak rumah singgah lentera untuk terus bersemangat dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, juga mendapat perlakuan yang sama seperti anak pada umum lainnya.
“Saya hanya ingin anak-anak bisa diterima dan mendapat perlakuan yang sama dari masyarakat. Dengan begitu tentu anak-anak akan makin bersemangat dalam menjalani kehidupan.” Ujar Puger.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H