Mohon tunggu...
Agita Bakti Wardhana
Agita Bakti Wardhana Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa kelontong bodoh, pemalas, tukang modus.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Rumah Bilik Triplek dan Sebuah Pelajaran Kehidupan

18 Oktober 2016   22:24 Diperbarui: 19 Oktober 2016   00:53 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore tadi. Langit mendung menggulung angkasa. Angin bertiup kencang berlalu-lalang bebas di udara. Gemuruh suara daun-daun berterbangan dengan bebas meninggalkan asalnya. Jauh pergi tak kembali entah kemana. Mungkin akan pergi selamanya meninggalkan asal muasalnya.

Kilat nampak terus memotret langit. Dengan garis zigzagnya memberikan potret indah di angkasa. Petir sesekali menggelegar keras . Dengan suara dentuman yang cukup memekakakkan telinga. Sungguh hebat keajaiban semesta dengan segala bentukan formasi yang ada menghiasi. Seketika Hujan deras turun.

Aku berteduh pada sebuah rumah bilik yang ada di tepi jalan. Ketika angin bertiup dengan kencangnya bilik ini terasa seperti terbawa melayang bebas mengikuti dedaunan yang terbang. Dan ini menjadi sebuah pengalaman terindah yang pernah kudapatkan sepanjang kehidupan.

Di depanku seorang nenek tua seorang diri tanpa ada yang menemani. Entah gerangan ada apa sebelumnya hingga dia tidak memiliki siapapun. Merasa iba dan kasihan sekali ketika melihatnya, di usianya yang sudah tua ia hidup sendirian dengan pakaian seadanya dan mungkin tidak pernah tergantikan.

“Maaf ya nek aku numpang berteduh.” Aku berseru santun padanya yang terlihat sedang menikmati hujan yang turun.

Obrolan selanjutnya aku mulai dan bertanya sedikit banyak tentang kehidupannya. Dia selalu menjawab dan bertanya balik padaku tentang pendidikan dan asal.

“Aku ini cukup bahagia nak.” Serunya santun, bibirnya bergetar mengunyah selembar daun sirih.

Sungguh hebat seorang wanita perkasa di depanku. Tidak ada sanak saudara yang menemani, hidup dalam garis kemiskinan namun sangat merasa bahagia. Pekerjaannya terbilang mudah dengan hanya bermodalkan semangat untuk membuat anyaman dari bambu ia menghasilkan uang, walaupun tidak seberapa.

Angin semakin kencang berhembus membuat rumah ini terasa sedikit bergerak. Cahaya penerangan sangat minim sekali di tempat ini. Hanya beberapa obor yang di tempelkan pada sudut ruangan.

“Huhhhh.” Aku menghela napas panjang tidak percaya dengan keadaan seperti ini.

Di zaman yang modern seperti sekarang ini sangat mustahil menemukan keadaan demikian. Ya sungguh mustahil, dengan cepatnya teknologi informasi dan komunikasi berkembang. Juga beberapa fasilitas penunjang kehidupan yang lebih layak tersedia. Akan tetapi masih ada orang yang mampu bertahan dengan keadaan yang demikian sulit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun