Mohon tunggu...
Agito Yacobson Sitepu
Agito Yacobson Sitepu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Credo Ut Intelligam

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Kebengisan Umat Beragama di Negeri Paling Religius

15 Januari 2025   21:07 Diperbarui: 15 Januari 2025   22:11 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Religion (Sumber: Pinterest)

Secara umum, agama adalah sebuah keyakinan untuk melakukan kegiatan peribadatan kepada Tuhan guna meningkatkan spiritualitas dan moral dalam diri manusia. Agama mengajarkan manusia untuk berbuat baik kepada sesama dan menghindari perbuatan buruk atau kejahatan, serta menuntun manusia untuk kembali pada hakikatnya. Dengan demikian, agama merupakan dasar keyakinan yang dapat mendorong umatnya untuk hidup secara etis dan bertanggung jawab terhadap sesama. Apakah tujuan agama untuk meningkatkan moral dan etika juga terlihat dalam kehidupan umat beragama di Indonesia? 

Kita sepatutnya bersyukur tinggal di Indonesia, tercatat hingga hari ini sudah ada enam agama yang diakui di Indonesia: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Keenam agama tersebut tentu memiliki tata cara peribadatan yang berbeda, namun tujuan ajarannya tetap sama, yakni untuk meningkatkan taraf jiwa manusia---menghasilkan manusia yang bermoral dan beretika. Keberagaman agama tersebut juga dibarengi dengan peringkat Indonesia sebagai negara paling religius se-Asia Tenggara dengan tingkat religiusitas sebesar 98,7%. Namun, pertanyaannya adalah, apakah gelar negara paling religius se-Asia Tenggara langsung menjamin bahwa kehidupan di negara ini baik-baik saja? Apakah negara yang dianggap religius ini memiliki indeks kriminalitas yang rendah? Bagaimana dengan Korupsi? Kenyataannya, semua berbanding terbalik.

"Hendaknya kita harus jujur atas kepercayaan yang kita anut."  

Gelar negara paling religius se-Asia Tenggara ternyata tidak menjamin bahwa kehidupan di Indonesia luput dari kejahatan seperti korupsi, judi online, perdagangan obat terlarang , pelecehan seksual, hingga pembunuhan. Hal-hal tersebut bahkan sudah menjadi realitas yang ada di Indonesia --- kejahatan sudah menjamur di negara yang dianggap paling religius ini. Kita tidak perlu menyangkal bahwa negara ini sudah darurat korupsi dan praktik kejahatan lainnya. Di balik masyarakatnya yang terlihat religius, ternyata terselip sifat jahat dalam diri mereka. Tampang mereka agamis, tetapi tindakannya begitu bengis. Nilai-nilai dalam agama tidak terpancar dalam tindakan mereka. Mengapa?

Di zaman sekarang, nilai-nilai yang terkandung dalam agama kini sudah hilang. Kemudahan-kemudahan yang disuguhkan oleh zaman membuat manusia terlena hingga hilang arah. Mereka hanya sebatas menganut sebuah agama tanpa mengimani ajaran-ajaran yang tertulis di dalam kitab suci. Mereka berbondong-bondong pergi beribadah hanya untuk terlihat baik di hadapan orang lain. Mereka mendengarkan khotbah, tetapi tidak mengamalkan khotbah tersebut dalam kehidupan mereka sehari-hari. Maka dari itu, tidak heran jikalau agama hanya digunakan sebagai formalitas belaka. Kini, agama sudah bukan sebagai kompas yang mengarahkan hidup manusia. Manusia mencederai kepercayaannya sendiri dengan tidak menaati Tuhan, mereka semena-mena melakukan kejahatan --- menyimpang dari ajaran agama.  

"Jangan berbicara padaku tentang agama, biarkan aku melihat agama dalam tindakanmu." --- Leo Tolstoy

Belakangan ini, kasus kejahatan bukan hanya datang dari masyarakat biasa, melainkan juga datang dari pemuka agama. Berita-berita tentang kekerasan seksual terhadap santri yang dilakukan oleh pengajar pondok pesantren, pemuka agama berlabel "gus" yang menghina seorang pedagang, pendeta yang ketahuan melakukan korupsi uang persembahan gereja, hingga pemuka agama yang menjadi dalang dari aksi terorisme, semua itu terjadi di pusaran pemimpin agama atau orang yang tinggal di lembaga keagamaan. Ini adalah sebuah paradoks. Pemimpin agama adalah orang yang diberi mandat dan kepercayaan untuk menyampaikan firman yang tertulis di dalam kitab suci. Namun, saat ini, banyak pemimpin agama menyampaikan khotbah hanya karena kewajiban dari profesi mereka sebagai pemimpin agama (sebatas menjalankan tugas), tetapi khotbah yang mereka firmankan kepada jemaat berbanding terbalik dengan tindakan mereka --- hanya sebatas kata-kata bukan praktik nyata. Mereka (pemimpin agama) menyuruh kita untuk hidup sederhana, menjauhi maksiat, tetapi mereka sendiri? Hendaklah perkataan sesuai dengan perbuatan. Perkataan yang baik harus dibarengi dengan perbuatan yang baik pula. 

"Sesungguhnya, dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih." (QS Asysyura [42]: 42).

Kasus di atas bukan dimaksudkan untuk menggeneralisasi bahwa semua pemimpin agama adalah orang jahat, melainkan untuk membuka cakrawala pikiran kita dan mengajak kita untuk merefleksikan, bertanya ke dalam diri. Apakah kita sudah mengimani ajaran dari kepercayaan yang kita anut? Seberapa sering kita mengatasnamakan agama untuk melakukan tindak kejahatan? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu kita renungkan, agar kita dapat memperbaiki diri dan memahami makna sejati dari agama yang kita anut.  

"Agama memang menjauhkan kita dari dosa, tetapi berapa banyak dosa yang kita lakukan atas nama agama?" --- Raden Ajeng Kartini

Agama bukanlah sekadar identitas atau formalitas, tetapi pedoman hidup yang harus tercermin dalam setiap tindakan kita. Jika nilai-nilai agama yang kita imani tidak terwujud dalam perbuatan baik, maka agama hanya akan menjadi kata-kata kosong tanpa makna. Marilah kita memperbaiki diri, menjalankan ajaran agama dengan tulus, dan menjadikan agama sebagai kompas moral yang mengarahkan hidup kita menuju kebaikan, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk masyarakat dan dunia yang lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun