Sore itu terik matahari masih begitu menyengat. Jalanan pantura begitu ramai, orang-orang pekerja saatnya kembali ke rumah masing-masing atau masih saja ada keperluan lain. Jam dinding di warung samping kantor pos menujukkan pukul 4 sore. Time Traffic light di perempatan jalan tersebut memang lama, untuk berganti warna hijau saja semua pengendara harus rela menunggu dengan kesabaran. Namun, tetap saja masih ada pengendara yang tetap 'nyelonong' tidak taat peraturan. Biasanya pengendara seperti ini mereka yang terburu-buru, mereka yang bodoamat terhadap peraturan, mereka yang ingin terlihat keren dengan gaya mengendarai bak pemain sinetron anak jalanan.Â
Deretan pengendara berhenti dengan tertib saat traffic light berwarna merah. Ini saat-saat yang ditunggu oleh orang-orang yang mencari rezeki di jalanan.Â
"Lihatlah pedagang asongan itu!" Ucapku kepada semesta
Semesta seakan-akan mendengar perkataanku, mataku kala itu terus menatap si pedagang asongan. Sembari menunggu bus yang aku tumpangi kembali jalan menuju tujuan para penumpang. Usia yang semakin tua, mengenakan kaos biru, topi hitam, dan bersandal jepit begitu percaya diri bertemu orang-orang di jalanan.Â
"Pepayanya pak bu,kacang, permen, melon, tahuuuu"
Mungkin itu suara yang keluar dari mulut si pedagang asongan saat mendekati para pengendara. Aku melihat jelas ia apa yang ia jual waktu itu. Traffic light berganti hijau, pengasong kembali menepi. Sayang, tidak ada satupun yang membeli barang dagangannya. Entah ini si pengendara memang sudah kenyang, atau tidak suka membeli jajanan di jalanan, atau tidak memedulikan si pedagang asongan.Â
Traffic light kembali merah. Seorang pedagang asongan harapannya ia taruhkan pada traffic light. Ia kembali berjalan dari sisi depan hingga ke belakang. Namun hasilnya selalu saja ia dengan cepat kembali ke sisi depan.Â
"Suwi nemen ora jalan-jalan" (lama sekali tidak jalan-jalan) seketika pandanganku terhadap si pedagang asongan buyar karena kekesalan salah satu penumpang.Â
Sang sopir nampaknya sedang mencari penumpang lain sehingga kami dipaksa untuk menunggu. Padahal sudah 30 menit kami setia kepada sang sopir.Â
Pandanganku kembali ke arah pedagang asongan. Melalui jendela bus yang ku buka sedikit celahnya, berharap ada orang yang membeli dagangannya. Namun sayang, ditengah wabah covid-19 yang masih ada hingga saat ini aku harap si pedagang asongan juga menerapkan penggunaan masker. Bukannya menghakimi si pedagang asongan, hanya saja agar ia selalu sehat dalam menjalani kehidupan yang mungkin menurutnya keras.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H