Sekitar awal tahun 2016, Saya mengajukan diri pada sebuah rumah belajar di kota. Saya cantumkan ketertarikan pada bidang akuntansi dan bahasa Inggris yang sesuai dengan bidang dan kemampuan Saya. Â Tidak ada ekspektasi yang terlalu tinggi untuk honor ataupun sejenisnya. Saat itu, Saya hanya merasa rindu dan terpanggil.
Latar belakang dari fakultas keguruan tak Saya miliki. Apalagi kemampuan pendagogik dari serangkaian pelatihan mumpuni dan bersertifikasi. Namun, Saya menyakini bahwa setiap kita memiliki tanggung jawab sebagai pendidik, setidaknya untuk diri sendiri dan keluarga.Â
Maka, kurang bijak jika orang tua menyerahkan 100% pendidikan anaknya kepada pendidik di sekolah, karena tempat proses edukasi pertama dan utama ada di rumah. Orang tua adalah aktor utama perancang masterplan pendidikan bagi anak-anaknya.Â
"Guru terbaik adalah sosok  yang tak pernah berusaha menggurui, tetapi menginspirasi dan memotivasi"Â
Satu pekan kemudian, Saya mendapatkan panggilan untuk ujian tulis dan wawancara. Singkat cerita, Saya diterima dan diamanahkan tiga murid yang berbeda latar belakang pendidikan dan keluarga--satu siswi sekolah dasar kelas tiga, satu mahasiswa akuntansi semester awal, dan satu siswi SMP. Cukup beragam karakter setiap anak maka metode pendekatan tentunya berbeda. Â
Si kecil tidak bisa belajar terlalu serius, jika tidak maka ogah-ogahan belajar, dan akhirnya ngambek. Namun, si besar maunya diseriusin. Meskipun demikian, mereka semua adik-adik yang manis dan penurut, menurut saya. Saya sangat menikmati berperan sebagai "kakak" mereka.
Namun, ada perenungan berarti yang Saya sadari kini.Â
"Saya bukan kakak (pendidik) yang baik"Â
Saya merasa bersalah. Saya menemukan kesalahan fatal yang Saya atau bahkan  pembaca pernah lakukan ketika menjalani peran "kakak"
1. Mencecoki secara berlebih
Tanpa sadar, kita terus saja menyuapi peserta didik tanpa pernah menanyakan, "Laparkah, dik? Sudah kenyang, dik?" Kita bahkan tak mengajarkan mereka independen untuk makan sendiri bahkan mengajarkan cara memperoleh makanan yang bernutrisi banyak terlupa. Mereka menjadi tak pernah tahu bahkan paham bagaimana rasa haus dan laparnya pada ilmu. Mereka hanya berdaya mengadahkan tangan.